Menengok Prospek Penggunaan Dana Desa Pada Belanja Infrastruktur Dengan Skema Ketersediaan Layanan Infrastruktur (Availability Payment)


Pendahuluan

Sejak tahun 2015, pemerintah mempunyai program untuk membantu keuangan desa dengan mengalokasikannya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan bantuan dari APBN ini, maka sumber pendapatan desa bertambah lagi dengan jumlah yang cukup besar. Pemberian bantuan keuangan desa ini sebagaimana dicantumkan pada Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selanjutnya bantuan keuangan bagi desa yang dialokasikan dalam APBN ini disebut dengan Dana Desa.

Bantuan keuangan desa yang bersumber dari APBN ini digulirkan Pemerintah Pusat bertujuan agar program pembangunan berjalan secara secara merata dan adil sampai pada level desa, sehingga pembangunan tidak terpusat pada wilayah-wilayah tertentu saja atau pada level-level tertentu saja. Hal ini sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dimana mengatur Dana Desa ditentukan sebesar 10% dari Dana Transfer Daerah (On Top) yang diperuntukkan bagi seluruh desa di Indonesia, namun pengalokasiannya memperhitungkan jumlah penduduk desa, angka kemiskinan di desa, luas wilayah dan kesulitan geografis desa. Jadi Dana Desa ini akan bermanfaat bagi desa-desa yang memiliki sumber pendapatan yang sangat terbatas yang biasanya bersumber dari alokasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masing-masing dan jumlahnya tidak terlalu besar, serta tidak memiliki Pendapatan Asli Desa yang dapat menopang pembangunan di desa tersebut. Desa-desa seperti ini secara keseluruhan jumlahnya sangat besar di Indonesia, bahkan pada tahun 2016 menyentuh angka 63% dari seluruh desa di Indonesia (Republika, 2016) .

Dana Desa

Pada tahun 2015 jumlah Dana Desa yang dianggarkan pemerintah sebesar 3,23% dari seluruh dana perimbangan atau sebesar Rp20,77 triliun. Sementara itu tahun 2016 pemerintah menganggarkan sebesar Rp46,98 triliun atau 6,5% dari total belanja transfer ke daerah, dan sebesar Rp60 triliun pada tahun 2017 dan 2018. seluruh provinsi di Indonesia, dimana penerima terbesarnya adalah Desa di Provinsi Aceh, Sumut, Jabar, Jateng, Jatim dan Papua (Grafik 2). Kenaikan terbesar Dana Desa untuk Tahun Anggaran 2018, diterima oleh Desa di Provinsi NTB sedangkan yang paling rendah diterima oleh Desa di Provinsi Aceh (Grafik 3).

Dana Desa

Dalam proses pelaksanaanya, program ini bukan tanpa kendala. Beberapa masalah timbul antara lain yang utama adalah penggunaan Dana Desa di luar bidang prioritas (Keuangan, 2017a) sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Harian Terbit, 2017). Selain itu, tercatat permasalahan Program Dana Desa di level teknis seperti hasil pengadaan yang tidak dapat digunakan/dimanfaatkan, dan kelebihan perhitungan volume RAB (Rancangan Anggaran Biaya) (Keuangan, 2017b), penyalahgunaan anggaran (Indonesia, 2016), penggelapan, pemotongan anggaran, hingga pembuatan laporan fiktif program pembangunan Dana Desa (CNN Indonesia, 2017), fenomena elit lokal yang mengkooptasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa (Tirto.id, 2017), transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa yang rendah (News, 2017). Fakta empiris lapangan terhadap permasalahan ini dieksplorasi oleh (RIYANI, 2016) yang mengemukakan bahwa permasalahan Dana Desa disebabkan oleh kurangnya rasa tanggungjawab antara perangkat desa dalam pengelolaan dana desa, masyarakat yang peduli terhadap pembangunan masih sedikit, dan kurangnya rapat untuk menyampaikan informasi alokasi dana desa terhadap masyarakat. Permasalahan ini harus dicari solusinya agar tujuan dari Program Dana Desa dapat tercapai dengan efektif dan efisien.

Pembangunan Desa

Di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014, sebagai peraturan pelaksanaan UU Desa No. 6 Tahun 2014 mengatur bahwa Dana Desa dapat digunakan antara lain untuk membiayai penyelenggaran pemerintah desa, pembangunan infrastruktur desa, pemberdayaan masyarakat desa dan kemasyarakatan, dengan prioritas pada aspek pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Arah kebijakan kegiatan pembangunan desa diarahkan kepada upaya mendorong partisipasi masyarakat di desa itu sendiri, dalam perencanaan dan pembangunan desa yang dilaksanakan secara swakelola. Namun demikian, desa masih dimungkinkan untuk melakukan kegiatan (pengadaan barang/jasa) dengan kontraktual seperti kegiatan konstruksi yang tidak sederhana, membutuhkan tenaga ahli dan atau peralatan berat.

Kegiatan pembangunan saluran irigasi, saluran got pembuangan air, jalan dan gang desa, posyandu, pos keamanan lingkungan (poskamling), pasar desa dan lain-lain, pada praktiknya dominan dilakukan dengan cara swakelola dengan memberdayakan masyarakat desa itu sendiri. Namun terdapat pula kebutuhan pembangunan desa seperti pembangunan infrastruktur jalan, gedung, pariwisata serta kegiatan pemeliharaan aset desa yang membutuhkan kegiatan konstruksi kompleks, membutuhkan keahlian khusus dan peralatan yang tidak sederhana.

Kebijakan untuk memprioritaskan pengelolaan kegiatan dan program Dana Desa dengan swakelola pada prinsipnya dilakukan dengan memaksimalkan seluruh potensi yang ada di desa berupa bahan-bahan material dan tenaga kerja yang berasal dari desa yang bersangkutan. Hal ini mempunyai dampak positif dalam jangka pendek, dimana Dana Desa yang dianggarkan dalam APBN dapat secara cepat dirasakan masyarakat desa ketika direalisasikan. Ketika membangun jalan misalnya, maka selain jalan baru akan terealisasi di desa, masyarakat desa pun juga akan langsung mendapatkan manfaat berupa upah pekerjaan pembangunan jalan. Selain itu Usaha Kecil Menengah di desa juga akan mendapatkan manfaat akibat adanya pekerjaan swakelola tersebut karena bahan-bahan material diprioritaskan dibeli dari toko-toko di desa yang bersangkutan.

Namun dalam skala tertentu, pekerjaan swakelola di desa juga dapat memberikan dampak negatif, dimana hasil atau output dari pembangunan dengan skala tertentu yang dilakukan secara swakelola ternyata tidak sesuai dengan standar/mutu bangunan yang diinginkan. Banyak jalan, gedung, saluran irigasi yang baru dibangun cepat mengalami kerusakan karena tidak direncanakan dan dibangun secara memadai. Hal ini antara lain disebabkan banyak desa yang tidak memiliki sumber daya manusia yang ahli dalam bidang konstruksi. Selain itu, dampak negatif lainnya yang dapat terjadi adalah terdapatnya inefisiensi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan atau pemeliharaan aset desa. Inefisiensi ini dapat terjadi karena pada tahap pengawasan tidak dilakukan dengan baik, sebagai contoh masyarakat desa yang ikut bekerja dalam kegiatan pembangunan sulit untuk diawasi apabila mempunyai kinerja yang buruk. Sehingga pengeluaran besar tidak diikuti dengan hasil yang maksimal. Tidak hanya berhenti disini, pemeliharaan aset desa yang sudah terbangun juga tidak maksimal karena kegiatan swakelola hanya mempunyai perspektif waktu jangka pendek sampai dengan output kegiatan pembangunan selesai. Persoalan pemeliharaan aset yang terbangun belum tercakup dan diatur dengan baik dalam perencanaan penggunaan Dana Desa.

Penggunaan Skema Ketersediaan Layanan Sebagai Solusi Melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)

Dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur, Pemerintah Pusat mengeluarkan regulasi yang memberikan ruang kepada pihak swasta dalam usaha penyediaan infrastruktur yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres tersebut diterbitkan dengan pertimbangan bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan kebutuhan mendesak, untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional, menyejahterakan masyarakat, dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam persaingan global. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) adalah kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah/ Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak.

KPBU bertujuan mencukupi kebutuhan penyediaan infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu melalui pengerahan dana dan keahlian swasta. Investasi dana dan keahlian swasta tersebut dikembalikan dengan pilihan skema pengembalian yang berasal dari tarif layanan yang dibayar oleh pengguna atau berasal dari pembayaran dari pemerintah apabila layanan infrastruktur dapat disediakan oleh swasta dengan spesifikasi dan IKU layanan sesuai kontrak (belanja ketersediaan layanan/availability payment).

Dalam konteks pembangunan desa, KPBU dengan Ketersediaan Layanan merupakan sebuah alternatif solusi yang dapat ditawarkan terutama agar penyediaan infrastruktur desa berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu, terutama untuk pembangunan infrastruktur dalam skala tertentu yang sulit dikerjakan dengan swakelola. Dalam skema ini, pemerintah desa sebagai pemilik proyek, dapat melelang proyek infrastruktur desa dengan menetapkan layanan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat desa. Proses penentuan layanan infrastruktur desa ini dilakukan dengan musyawarah desa dengan seluruh komponen masyarakat desa. Hal ini lebih sederhana untuk dilakukan oleh masyarakat desa, karena mereka hanya perlu mengidentifikasi kebutuhan mereka saja tanpa perlu berpikir rumit tentang bagaimana membangun dan memelihara infrastruktur desa yang nantinya terbangun.

Setelah layanan infrastruktur desa teridentifikasi, pemerintah desa akan melelang infrastruktur tersebut kepada swasta. Di dalam lelang ini akan ada kompetisi yang akan membuat layanan infrastruktur yang akan didapatkan paling optimal dengan harga layanan yang paling efisien. Setelah didapatkan pemenang lelang, Kepala Desa kemudian dapat mewakili warga desa untuk membuat kontrak ketersediaan layanan infrastruktur dengan pemenang lelang. Di dalam pelaksanaannya nanti, dapat diatur unsur pengawas layanan dari masyarakat desa, sehingga monitoring dan evaluasi proyeknya dapat terus terjaga untuk memberikan layanan yang optimal pada warga desa. Swasta akan dibayar secara berkala apabila ada konfirmasi penerimaan layanan sesuai kontrak dari unsur wakil masyarakat desa, dan apabila tidak terpenuhi, maka swasta akan diberikan penalti sebagian pembayarannya. Pada sektor infrastruktur tertentu yang mempunyai nilai komersial, seperti pengembangan infrastruktur pariwisata, pemerintahan desa bisa diwakili oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang akan berkontrak dengan swasta untuk membangun dan mengelola infrastruktur komersial pariwisata tersebut. Penggunaan skema KPBU dengan ketersediaan layanan ini dapat dilakukan per desa, ataupun kelompok desa yang mempunyai kepentingan atas layanan infrastruktur yang sama.

Melalui Kontrak Ketersediaan Layanan Mandiri Dengan Warga Desa

Pada beberapa kasus, pembangunan Dana Desa berhenti manfaatnya dalam jangka pendek, sebatas pada penerimaan cash untuk warga desa, belum sampai ke pencapaian outcome berupa pemanfaatan yang optimal dari infrastruktur yang terbangun. Hal ini umumnya disebabkan perencanaan yang juga berdimensi jangka pendek, serta sense of belonging dari masyarakat desa itu sendiri, yang menganggap bahwa prioritas manfaat Dana Desa yang bisa diperoleh oleh masyarakat adalah adanya cash yang diterima, didukung dengan arah kebijakan dari pemerintah yang juga membuat prioritisasi pada program cash for work untuk Dana Desa. Akibatnya hasil pembangunan Dana Desa berupa infrastruktur ada yang tidak termanfaatkan, kelebihan anggaran pembangunannya, atau pemeliharaannya tidak berjalan sehingga cepat rusak. Hal ini tentunya dalam jangka panjang justru akan membuat program Dana Desa akan kontra produktif.

Untuk mengatasi hal ini, peran serta masyarakat desa perlu dipikirkan agar terlibat dalam semua tahap secara berkesinambungan. Di dalam tahap perencanaan, masyarakat desa perlu dilibatkan dalam musyawarah desa guna menentukan prioritas pembangunan desa. Hasil dari proses ini adalah RPJM Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa). Setelah masuk dalam dokumen perencanaan, dalam tahap pelaksanaan pembangunan desa, masyarakat desa dilibatkan sebagai aktor pembangunan. Namun tentunya yang krusial di dalam tahapan ini yang membedakan dengan skema eksisting adalah dibuatnya kontrak ketersediaan layanan antara Kepala Desa dan Masyarakat Desa yang terlibat dalam pembangunan. Di dalam kontrak tersebut diatur bahwa masyarakat desa yang terlibat dalam pembangunan desa akan dibayar apabila layanan infrastruktur desa yang dibangun dapat dinikmati oleh masyarakat desa, bukan sekaligus pada saat pembangunan infrastruktur selesai. Sebagai contoh pembangunan saluran irigasi, dibuat kontrak layanan di mana diatur bahwa saluran irigasi tidak boleh terhambat dalam jangka waktu 1x24 Jam dalam 1 bulan. Maka, apabila saluran irigasi tersebut selalu lancar atau ada hambatan tetapi dapat diselesaikan dalam jangka waktu kurang dari 1 hari (1x24 jam), kelompok masyarakat desa yang terlibat dalam pembangunan saluran irigasi tersebut akan mendapatkan pembayaran penuh sesuai kontrak dengan Kepala Desa. Sebaliknya, apabila saluran irigasi terhambat lebih dari 1x24 jam, maka masyarakat desa yang terlibat dalam pembangunan saluran irigasi tersebut akan mendapatkan pengurangan dari pembayaran yang seharusnya. Sebagai pengawas dan pengukur kinerja layanan dari infrastruktur saluran irigasi tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat desa yang lain yang berperan sebagai supervisor.

Dengan skema ini, masyarakat desa akan terlibat secara keseluruhan dan berkesinambungan. Akan terbentuk sistem pengendalian internal di kalangan masyarakat desa sendiri untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur yang berasal dari Dana Desa itu memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat desa, dan kemudian digunakan dan dipelihara bersamasama oleh segenap komponen masyarakat desa. Diharapkan dengan penerapan skema tersebut dapat meningkatkan kualitas infrastruktur, efektivitas, serta efisensi dalam pekerjaan penyediaan infrastruktur desa. Bukan hanya dalam jangka pendek, di mana masyarakat desa akan memperoleh uang tunai dari program Dana Desa, tetapi juga jangka panjang dengan kualitas infrastruktur yang baik sehingga dapat meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan kualitas hidup, serta menyejahterakan masyarakat desa.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. CNN Indonesia. (2017). Polri Temukan 214 Kasus Penyalah gunaan Dana Desa. Retrieved April 20, 2018, from https:// www.cnnindonesia.com/ nasional/20171020112724-12-2497 04/polri-temukan-214-kasuspenyalahgunaan-dana-desa
  2. Harian Terbit. (2017). Sri Mulyani Beberkan Tiga Masalah Utama Dana Desa. Retrieved April 25, 2018, from http://www.harianterbit. com/hanterekonomi/ read/2017/10/31/88959/0/21/ Sri-Mulyani-Beberkan-TigaMasalah-Utama-Dana-Desa
  3. Indonesia, M. (2016). Temuan Permasalahan Dana Desa. Retrieved April 22, 2018, from http://www. mediaindo nesia.com/galleries/ detail_galleries/5460-temuanpermasalahan-dana-desa
  4. Keuangan, K. (2017a). Buku Saku Dana Desa.
  5. Keuangan, K. (2017b). Kebijakan pengalokasian dan penyaluran dana desa tahun 2017.
  6. News, A. (2017). KPK : ada 14 potensi permasalahan dana desa. Retrieved April 25, 2108, from https://www.antaranews. com/berita/501199/kpk-ada-14- potensi-permasalahan-danadesa
  7. Republika. (2016). 63 Persen Desa di Indonesia Masuk Kategori Tertinggal_Republika Online. Retrieved from http://nasional. republika.co.id/berita/nasional/ daerah/16/09/27/oe4e7p383-63- persen-desa-di-indonesia-masukkategori-tertinggal
  8. RIYANI, N. (2016). ANALISIS PENGELOLAAN DANA DESA (Studi Kasus di Desa Singopuran Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo Tahun 2016). Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  9. Tirto.id. (2017). Mengurai Benang Kusut Pengelolaan Dana Desa - Tirto. Retrieved April 28, 2018, from https://tirto.id/menguraibenang-kusut-pengelolaandana-desa-cunY