Governance dalam Pelaksanaan Fasilitas PDF


Oleh: Muhammad Bagus Alfian

Pendahuluan

                Sejak berakhirnya Perang Dingin pada kurun awal 90-an, beberapa lembaga internasional yang tergabung dalam komunitas development seperti World Bank dan IMF secara masif mengerahkan sumberdayanya untuk membantu ketertinggalan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Bantuan tersebut biasanya diberikan dalam bentuk hibah maupun pinjaman yang masing-masing memiliki objectives yang beragam tergantung dengan jenis dan kepentingan penyedianya. Untuk meningkatkan kondisi yang memungkinkan tercapainya objectives tersebut, penyedia dana acapkali mensyaratkan kriteria tertentu kepada negara penerima bantuan salah satunya yaitu penerapan ‘good governance’ yang merepresentasikan sebuah konsep pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik seperti transparansi, efisiensi, dan partisipasi. Istilah governance juga seringkali tertukar dan dipersamakan dengan ‘government’ yang diartikan sebagai proses atau tindakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan administratif sehingga kemudian tidak jarang governance diasosiasikan dengan tata kelola di sektor publik. Di sisi lain, pada dua dekade belakangan ini, kasus kebangkrutan salah satu raksasa sektor energi, Enron, juga memicu akselerasi pengembangan konsep governance pada sektor privat yang disebut dengan corporate governance. Secara sederhana, konsep governance mengaspirasikan kebutuhan peningkatan kualitas dari pengelolaan suatu organisasi demi mencapai tujuannya: layanan kepada masyarakat dalam konteks sektor publik dan keberlangsungan usaha (profit) dalam konteks sektor swasta.

Sejarah Singkat Inisiatif Fasilitas PDF

Ketiadaan sebuah kerangka governance yang terstruktur turut menciptakan iklim yang kurang kondusif untuk menarik minat partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur pasca badai krisis keuangan Asia tahun 1997-1998. Isu ini menjadi salah satu fokus agenda reformasi pembangunan yang dicanangkan Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) Presiden Susilo Bambang Yodhoyono. Tahun 2005 menjadi tonggak sejarah penataan governance skema KPBU yang lebih komprehensif, akuntabel dan transparan melalui penerbitan Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Sebagai tindak lanjut atas kebijakan tersebut, Kementerian Keuangan kemudian menyiapkan instrumen penjaminan melalui PMK 38/2006 yang pada saat itu dinilai sebagai dukungan fiskal paling penting untuk menginsentif sektor swasta berinvestasi ke dalam skema KPBU.

Terbangunnya landasan hukum governance KPBU yang dilengkapi dengan dukungan penjaminan menjadi dasar pemerintah untuk mulai menawarkan 111 proyek infrastruktur KPBU ke market yang terdiri dari beragam sektor mulai dari air minum, jalan tol, pelabuhan, kereta api, dsb. Dari sejumlah proyek tersebut, tercatat sampai dengan tahun 2010 hanya satu proyek yang berhasil ditransaksikan, yaitu Central Java Power Plant (CJPP) atau yang sering dikenal dengan PLTU Batang. Kesuksesan CJPP ternyata tidak hanya menorehkan sebuah prestasi belaka, namun juga meninggalkan isu yang yang lebih fundamental dalam implementasi skema KPBU: kebutuhan penyiapan proyek yang berkualitas untuk menciptakan proses lelang yang kompetitif. Perekrutan penasihat transaksi keuangan, teknis, dan legal yang kredibel dalam penyiapan dan transaksi KPBU menjadi salah satu kunci keberhasilan proyek CJPP dapat menarik minat investor asing. Sementara, pemerintah berhadapan dengan budget constraint dan budget inflexibility untuk mereplikasi praktik serupa yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dalam menyiapkan proyek CJPP. Dengan karakteristik demikian, merekrut dan mengelola pekerjaan penasihat transaksi KPBU dinilai hanya mampu dilakukan oleh institusi yang memiliki kemampuan fleksibilitas anggaran. Untuk itu, pemerintah kemudian menginisiasi instrumen Fasilitas Penyiapan Proyek dan Pendampingan Transaksi (Fasilitas PDF) yang dilakukan melalui penugasan kepada BUMN PT Sarana Multi Infrastuktur (Persero) pada Tahun 2011 untuk menyiapkan Proyek KPBU SPAM Umbulan dan Kereta Api Manggarai-Bandara Soekarno Hatta.

Penyediaan Fasilitas PDF untuk dua Proyek KPBU masih dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan (BKF-PPRF) secara ad hoc dan belum memiliki landasan hukum yang memungkinkan adanya replikasi ke proyek KPBU lain. Baru setelah BKF-PPRF bergabung dengan DJPU pada tahun 2015 yang kemudian mengubah namanya menjadi Direktorat PDPPI, Kementerian Keuangan menerbitkan PMK 265/2015 yang salah satunya bertujuan untuk melegitimasi kebijakan penyediaan Fasilitas PDF yang dapat membuka akses kesempatan bagi calon PJPK baik dari K/L maupun Pemda yang memiliki rencana Proyek KPBU untuk dapat memanfaatkan Fasilitas PDF.

Seiring waktu, dengan spirit untuk selalu melakukan perbaikan, Kementerian Keuangan beberapa kali merevisi regulasi penyediaan Fasilitas PDF melalui PMK 19/2016, PMK 73/2018 dan yang paling terakhir melalui PMK 180/2020. Revisi tersebut juga salah satunya dilakukan untuk berupaya menjawab beberapa lessons learned implementasi Fasilitas PDF sebelumnya seperti penyiapan proyek yang belum secara komprehensif merancang perwujudan layanan kepada masyarakat, proses transaksi yang belum mengoptimalkan tingkat kompetisi, perubahan komitmen PJPK di tengah proses, kesulitan proyek mendapatkan pinjaman dari lender, dan sebagainya.

Fasilitas PDF Membangun Bankability Proyek KPBU

Dalam revisi terakhir melalui PMK 180/2020, Kementerian Keuangan juga berupaya mewujudkan governance dalam membangun kerangka kerja penyediaan dukungan Fasilitas PDF. Fasilitas PDF yang pada saat ini baru mencakup penyiapan dan transaksi pada dasarnya bertujuan untuk membawa Proyek KPBU yang didampingi berhasil disiapkan dan ditransaksikan sehingga mendapatkan pinjaman dari lembaga perbankan (lender) atau yang sering disebut dengan terminologi ‘financial close’. Kenapa harus demikian? Proyek KPBU pada umumnya akan menggunakan struktur project finance dimana jumlah pinjaman dari lender akan mendominasi kebutuhan proyek yang umumnya berkisar antara 70-80%. Oleh karena itu, pencapaian financial close menjadi milestone krusial yang sangat menentukan apakah sebuah Proyek KPBU akan memiliki sumber daya (keuangan) yang dibutuhkan untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur yang dibutuhkan dalam melaksanakan penyediaan layanan kepada masyarakat. Dengan demikian, financial close menjadi indikator utama keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan penyiapan dan transaksi sebuah Proyek KPBU yang juga dapat dianalogikan sebagai indikator keberhasilan Fasilitas PDF.

Baca juga: Yang Utama, tapi Seringkali Terlupa: Bankability

Untuk berhasil mencapai financial close, sebuah Proyek KPBU seringkali dikatakan harus mempunyai modal bankability. Apa itu? Bankability adalah sebuah kondisi dimana peminjam (dalam hal ini Proyek KPBU) dapat memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan oleh lender yang mana ingin mendapatkan keyakinan bahwa pinjaman yang diberikan mampu dikembalikan oleh Proyek KPBU tersebut. Beberapa kriteria umum yang biasanya menjadi perhatian lender dari sebuah Proyek KPBU meliputi:

  1. Robustness proyeksi pendapatan proyek di masa depan;
  2. Kepastian penyediaan lahan untuk proyek;
  3. Penyelesaian seluruh kebutuhan perizinan untuk proyek; serta
  4. Penentuan spesifikasi layanan dan alokasi risiko yang memadai dalam Perjanjian KPBU.

Dalam praktik yang terjadi selama ini, pemenuhan keempat kriteria di atas memiliki beragam dinamika yang sulit diprediksi dan juga melibatkan serangkaian pengambilan keputusan oleh berbagai stakeholder yang perlu diidentifikasi sejak dini. Sebagai ilustrasi konkrit, kita bisa mengambil contoh aspek penyediaan lahan di Proyek KPBU sektor layanan persampahan. Lingkup layanan yang lazim dilakukan pemerintah dengan menggandeng partisipasi swasta/Proyek KPBU adalah pengolahan (treatment) sampah di lokasi TPA/landfill. Aktivitas pengolahan ini tentu akan mensyaratkan kebutuhan lahan untuk membangun fasilitas pengolahan sampah beserta penyediaan landfill untuk residu. Namun, TPA/landfill eksisting seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan lahan tersebut baik dari sisi luas, status hukum, maupun kondisi teknisnya sehingga PJPK perlu mengadakan tambahan lahan baru. Sementara, jika PJPK tidak menyiapkan sebuah perencanaan komunikasi yang baik dan intens dengan masyarakat sekitar, pengadaan lahan baru (apalagi) untuk kegiatan persampahan biasanya cukup sensitif bagi masyarakat sehingga rentan mendapatkan penolakan dari komunitas dan LSM pemerhati lingkungan. Apabila PJPK ‘memaksakan’ diri agar proyeknya segera ditransaksikan dengan kondisi lahan demikian, maka muncul peluang terjadi situasi dimana PJPK mungkin berhasil mendapatkan pemenang lelang dan menandatangani Perjanjian KPBU, namun proyek mengalami kesulitan untuk mencapai financial close. Ketidakpastian mengenai aspek lahan akan meningkatkan risiko konstruksi dengan akibat berupa kebutuhan untuk penambahan waktu (delay) dan biaya (cost overrun). Dari sudut pandang lender, delay dan cost overrun akan menciptakan ketidakpastian terkait operasionalisasi penyediaan layanan Proyek KPBU (yang menghasilkan revenue stream) sehingga dapat menurunkan tingkat kepercayaan lender terhadap kemampuan sponsor ekuitas Proyek KPBU tersebut untuk mengembalikan pinjamannya. Untuk tiga kriteria lainnya, adanya faktor ketidakpastian juga sangat mungkin dapat menghadirkan situasi serupa dengan isu ketersediaan lahan.

Fasilitas PDF sebagai ‘Proyek’

Ilustrasi di atas dapat memberikan gambaran sederhana bahwa tujuan utama Fasilitas PDF bukanlah menyusun kajian atau dokumen, namun membantu PJPK mengambil berbagai keputusan yang diperlukan agar dapat menstrukturkan sebuah Proyek KPBU yang bankable untuk kemudian didokumentasikan melalui dokumen/kajian pada setiap fase penyiapan dan transaksi proyek. Untuk mencapai tujuan tersebut, penerapan disiplin project management dalam pelaksanaan Fasilitas PDF menjadi salah satu hal yang berupaya terus dikembangkan Kementerian Keuangan hingga saat ini. Pendekatan Fasilitas PDF sebagai sebuah ‘proyek’ akan memberikan pemahaman kepada seluruh pihak bahwa Fasilitas PDF memerlukan rencana kerja di setiap aspek perencanaan, eksekusi, monitoring, dan manajemen risikonya. Lebih jauh lagi, dengan merujuk salah satu panduan yang diterima secara global terkait disiplin ilmu project management, PMBOK-Sixth Edition (2017) mengidentifikasi secara detil setiap area yang perlu dirancang rencana kerjanya untuk meningkatkan probabilitas tercapainya tujuan dari sebuah proyek, antara lain: integration, scope, schedule, cost, quality, resources, communications, risk, procurement, dan stakeholders. Dalam konteks Fasilitas PDF sebagai sebuah proyek, PMK 180/2020 telah secara normatif merangkum kesepuluh area tersebut untuk menjadi panduan dalam implementasinya.

Governance Fasilitas PDF

PMK 180/2020 menyediakan empat opsi mekanisme pelaksanaan Fasilitas PDF berdasarkan siapa pelaksana Fasilitas PDF yang ditentukan melalui proses evaluasi atas permohonan Fasilitas PDF. Dalam hal permohonan Fasilitas PDF disetujui, pemilihan atas keempat opsi tersebut akan ditetapkan secara langsung oleh Menteri Keuangan melalui surat persetujuan penyediaan Fasilitas PDF berdasarkan pertimbangan potensi efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya. Empat opsi tersebut antara lain DJPPR c.q. Direktorat PDPPI secara langsung, DJPPR c.q. Direktorat PDPPI bekerjasama dengan Lembaga Internasional, Penugasan BUMN dan terakhir Kerjasama Lembaga Internasional untuk Proyek KPBU Kilang Minyak Dalam Negeri sebagaimana diilustrasikan pada bagan berikut.

Governance PDF

Gambar 1 Mekanisme Pelaksanaan Fasilitas PDF

Dari keempat opsi di atas, Kementerian Keuangan lebih banyak menggunakan mekanisme melalui Penugasan kepada BUMN Kementerian Keuangan yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). Untuk melaksanakan Fasilitas PDF melalui skema ini, terdapat serangkaian proses persiapan Fasilitas PDF yang perlu ditempuh oleh PJPK sebelum Fasilitas PDF dapat disediakan, yaitu penandatanganan Kesepakatan Induk, KMK Penugasan BUMN, Perjanjian Penugasan BUMN, dan Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas. Keempat proses tersebut akan membentuk sebuah tripartite agreement antara Kementerian Keuangan, PJPK, dan BUMN Pelaksana Fasilitas dengan visualisasi pada bagan sebagai berikut:

Gambar 2 Governance Pelaksanaan Fasilitas PDF melalui Penugasan BUMN

Keempat prosedur di atas dinamakan dengan Masa Persiapan Fasilitas PDF yang dilaksanakan setelah permohonan Fasilitas PDF dari PJPK mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. Penandatanganan Kesepakatan Induk akan menjadi langkah pertama dimana Kementerian Keuangan dan PJPK menyepakati beberapa aspek strategis Fasilitas PDF, kemudian dilanjutkan dengan penerbitan KMK Penugasan BUMN sebagai wujud governance penugasan BUMN yang ditunjuk dan terakhir penandatanganan Perjanjian Penugasan BUMN dan Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas. Gambar 3 menunjukkan letak Masa Persiapan Fasilitas PDF dalam proses bisnis Fasilitas PDF secara keseluruhan.

Gambar 3 Proses Bisnis Fasilitas PDF

1. Kesepakatan Induk

Berangkat dari lessons learned salah satu Fasilitas PDF pada periode implementasi secara ad hoc dimana PJPK mengubah komitmennya di tengah proses, Kementerian Keuangan menyadari bahwa keberlangsungan komitmen PJPK sepanjang pelaksanaan PDF perlu dituangkan ke dalam sebuah perikatan hukum/perjanjian antara Kementerian Keuangan dan PJPK. Perjanjian tersebut diperkenalkan pertama kali pada saat penerbitan regulasi pertama PDF (PMK 265/2015) yang dinamakan dengan Kesepakatan Induk.

Pada dasarnya, Kesepakatan Induk mempunyai tujuan utama sebagai berikut:

  1. memastikan kegiatan penyediaan Fasilitas PDF dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku;
  2. memastikan proses pemberian dukungan pemerintah dapat berlangsung secara integratif; serta
  3. membangun pemahaman PJPK terhadap analisis dan rekomendasi yang dihasilkan dari Fasilitas PDF sehingga PJPK mampu mengambil berbagai keputusan yang tepat berdasarkan kewenangannya dan sesuai dengan kebutuhan proyek.

Kesepakatan Induk ditandatangani oleh Menteri Keuangan (diwakili Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko) dalam kapasitasnya sebagai Pihak Kesatu sekaligus Penyedia Fasilitas dan PJPK yang berposisi sebagai Pihak Kedua dan Penerima Fasilitas. Kesepakatan Induk menjadi landasan hukum yang memayungi penyediaan Fasilitas PDF untuk setiap proyek. Oleh karena itu, Kesepakatan Induk akan memuat pengaturan beberapa aspek strategis dalam penyediaan Fasilitas PDF seperti tujuan, ruang lingkup, hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab, komitmen Penerima Fasilitas, indikator keberhasilan, jangka waktu pelaksanaan, manajemen risiko (ketercapaian Fasilitas PDF), dan penyelesaian sengketa. Beberapa aspek tersebut sedikit banyak merepresentasikan area yang perlu menjadi perhatian dalam disiplin project management untuk memastikan bahwa Fasilitas PDF dapat berhasil mencapai tujuannya, yaitu Proyek KPBU yang didampingi memperoleh financial close. Penandatanganan Kesepakatan Induk antara Kementerian Keuangan dan PJPK menandai awal perjalanan Fasilitas PDF dimana Kementerian Keuangan dan PJPK secara bersama-sama berkomitmen untuk melaksanakan segala upaya yang diperlukan dalam menyukseskan Fasilitas PDF.

2. KMK Penugasan BUMN

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Kesepakatan Induk, Kementerian Keuangan selaku Penyedia Fasilitas PDF akan memberikan instruksi penugasan kepada BUMN yang ditunjuk Menteri Keuangan dalam Surat Persetujuan Prinsip Fasilitas PDF. Pemberian penugasan kepada BUMN dituangkan ke dalam sebuah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang penetapannya diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Proses ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan governance Penugasan BUMN yang secara umum diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. KMK Penugasan akan memuat instruksi umum kepada BUMN Pelaksana Fasilitas terkait dengan lingkup pekerjaan, standar kualitas hasil keluaran, jangka waktu penugasan, serta hak dan kewajiban dalam pemberian kompensasi keuangan kepada BUMN Pelaksana Fasilitas.

3. Perjanjian Penugasan BUMN

Perjanjian Penugasan akan ditandatangani oleh Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam kapasitasnya sebagai Pihak Kesatu sekaligus Penyedia Fasilitas dan BUMN yang berposisi sebagai Pihak Kedua dan Pelaksana Fasilitas. Pada dasarnya, Perjanjian Penugasan akan mendetilkan seluruh instruksi yang tercantum dalam KMK Penugasan, rencana kerja BUMN, dan metodologi pelaksanaan Fasilitas PDF. Perjanjian Penugasan akan menjadi instrumen manajemen risiko ketercapaian tujuan Fasilitas PDF.

4. Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas

Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas merupakan perjanjian yang harus ditandatangani oleh PJPK dalam kapasitasnya sebagai Penerima Fasilitas dan BUMN sebagai Pelaksana Fasilitas. Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas akan merefleksikan seluruh muatan yang tercantum dalam Perjanjian Penugasan ditambah dengan beberapa rencana kerja dan komitmen PJPK sepanjang proses pelaksanaan Fasilitas PDF.

Governance Fasilitas PDF sedemikian rupa hanya merupakan upaya untuk meningkatkan probabilitas kesuksesan penyiapan dan transaksi sebuah proyek KPBU. Dinamika dan karakteristik Proyek KPBU mensyaratkan Kementerian Keuangan, PJPK, BUMN Pelaksana Fasilitas dan seluruh pemangku kepentingan terkait untuk menjalankan tugas dan perannya masing-masing dalam mengusahakan keberhasilan Fasilitas PDF. Oleh sebab itu, Kementerian Keuangan kini terus menerus memetik berbagai pelajaran dari pelaksanaan Fasilitas PDF yang telah lalu dengan tujuan untuk selalu melakukan perbaikan (continuous improvement), sebagaimana dengan cukup eksplisit diamanatkan dalam salah satu nilai yang dipegang teguh Kementerian Keuangan: ‘Kesempurnaan’.

Referensi:

Zanotti, Laura. (2005). Governmentalizing the Post–Cold War International Regime: The UN Debate on Democratization and Good Governance. Alternatives: Global, Local, Political. 30. 10.1177/030437540503000404.

Privantu, Dorin Marian. (2018). "Conceptual Approaches to Public Governance. Corporate Governance vs. Public Governance,". MPRA Paper 92322. University Library of Munich.

Ihsanin, Aulia. (2021). Yang Utama tapi Seringkali Terlupa: Bankability. https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/1111-1272/umum/kajian-opini-publik/yang-utama-tapi-seringkali-terlupa-bankability

Fasenfest, David. (2010). “Government, Governing, and Governance.” Critical Sociology 36, no. 6 (November 2010): 771–74. https://doi.org/10.1177/0896920510378192

Surachman, Eko N; Suhendra, Maman; Prabowo, Sakti; Handayani, Dian. (2020). Dinamika Penyiapan Proyek Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha di Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Project Management Institute. (2017). A guide to the Project Management Body of Knowledge (PMBOK guide) (6th ed.). Project Management Institute.