Feasibility Study Atau Prafeasibility Study Bukan Business Case


Oleh: Seta Alfakih

Pembimbing : Hasrul

Dalam setiap diskusi proyek KPBU, baik itu dalam kegiatan rapat, capacity building, atau pun sosialisasi, kita sering sekali mendengar terminologi kajian prastudi kelayakan, feasibility study atau FS, outline business case atau OBC, dan final business case atau FBC. Terminologi tersebut biasanya sering dibahas pada topik penyiapan proyek KPBU, baik yang sifatnya solicited maupun unsolicited, dimana di tahap penyiapan proyek KPBU solicited, kajian awal prastudi kelayakan disamakan dengan OBC, sementara kajian akhir prastudi kelayakan disamakan dengan FBC. Dengan banyaknya terminologi tersebut, mungkin pernah terbesit pertanyaan dalam benak kita mengenai apa yang dimaksud dengan dokumen-dokumen tersebut? Dan apakah dokumen Pra FS/FS dan OBC/FBC merupakan dokumen yang sama?

Terminologi FS sudah sangat lazim digunakan dalam proses perencanaan proyek pemerintah, khususnya yang dibiayai oleh APBN. Penyebutan FS juga banyak ditemukan di beberapa regulasi kementerian atau lembaga, seperti Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (“Bappenas”). Salah satu definisi yang ada di Peraturan Menteri (“Permen”) Bappenas nomor 1 tahun 2009 tentang Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan, dan Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dengan Pinjaman Dalam Negeri menyatakan bahwa studi kelayakan atau FS merupakan hasil penelitian yang dibuat oleh tenaga ahli Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN, maupun tenaga ahli yang dikontrak oleh Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN yang bersangkutan, yang memberi gambaran secara Iengkap tentang layak tidaknya suatu kegiatan berdasarkan aspek-aspek yang dianggap perlu, sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dilaksanakannya suatu kegiatan yang bersangkutan.

Sementara terminologi Pra FS dapat kita lihat dalam Peraturan Presiden (“Perpres”) nomor 75 tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas dan Permen Bappenas nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam Perpres tersebut, disebutkan bahwa Kajian Prastudi Kelayakan adalah studi untuk menganalisa kelayakan kegiatan infrastruktur yang terdiri dari kajian awal (outline business case) dan kajian akhir (final business case). Sementara, dalam Permen Bappenas di atas, Prastudi Kelayakan adalah kajian yang dilakukan untuk menilai kelayakan KPBU dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya aspek hukum, teknis, ekonomi, keuangan, pengelolaan risiko, lingkungan, dan sosial.

Dari definisi dalam regulasi tersebut di atas, secara umum dapat dilihat bahwa FS dan Pra FS sama-sama merupakan suatu dokumen kajian yang digunakan untuk menilai kelayakan suatu kegiatan atau proyek. Selain itu, kita juga melihat bahwa Pra FS dan business case merupakan dokumen yang sama, yang terdiri dari tahap awal dan akhir.

Business Case

Business Case

Ilustrasi Business Case

Namun demikian, apabila kita lihat definsi business case yang berlaku secara umum, business case mempunyai makna lebih luas dari sekedar studi kelayakan atau prastudi kelayakan. Business case pada prinsipnya menyajikan informasi berupa proposal bisnis yang disusun untuk pengambilan keputusan investasi. Definisi spesifik business case sendiri memang bervariasi di berbagai negara yang melaksanakan skema KPBU dan institusi di bidang KPBU. Sebagai contoh, dalam The APMG Public-Private Partnership (PPP) Certification Guide-Preparation disebutkan bahwa “The business case is a planning and development tool for projects and an aid to effective decision-making. The purpose of business cases is defined by the UK’s HM Treasury as: “a management tool developed over time as a living document as the project develops. [It] keeps together and summarises the results of all the necessary research and analysis needed to support decision-making in a transparent way.” Selain itu business case juga perlu menunjukkan aspek-aspek proyek berikut:

  1. Kelayakan komersial
  2. Kelayakan teknisnya (rincian solusi yang direkomendasikan)
  3. Kelayakan finansial, termasuk bankability
  4. Kepentingan pasar melalui market sounding
  5. Keterjangkauan atau identifikasi sumber pendanaan yang memadai.

Selain itu dalam PPP Canada P3 Business Case Development Guide, disebutkan bahwa business case adalah alat penting bagi investor atau kreditur untuk digunakan dalam:

  1. Memastikan perencanaan proyek dan penilaian risiko yang tepat
  2. Mengelola kerangka waktu proyek
  3. Mengelola pemangku kepentingan dan sentimen pasar
  4. Berfokus pada value drivers

Dari kedua contoh definisi di atas, dapat kita lihat bahwa business case sebagai suatu proposal bisnis, tidak hanya menyajikan informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan dan pengembangan proyek dalam rangka pengambilan keputusan oleh pemerintah (PJPK), tetapi juga perlu menghasilkan informasi yang dibutuhkan oleh investor dan kreditur untuk mengambil keputusan investasi.

Dalam konteks KPBU, peran business case dalam menyajikan informasi untuk investor dan kreditur adalah sangat krusial. Hal ini karena proyek KPBU pada umumnya menggunakan struktur pembiayaan project financing, dimana dalam struktur project financing, pengembalian investasi kepada investor dan kreditur sepenuhnya bergantung kepada pendapatan yang dihasilkan oleh proyek dan dalam hal terjadi likuidasi, klaim yang dapat diperoleh oleh kreditur hanya terbatas sebesar penyertaan yang dilakukan oleh sponsor (non/limited recourse). Dengan kondisi tersebut, tentu keputusan investasi oleh investor dan kreditur akan sangat dipengaruhi oleh informasi kesiapan proyek yang disajikan oleh business case, khususnya informasi mengenai bankability proyek. Proyek yang bankable, pada prinsipnya, adalah proyek yang tidak hanya memberikan tingkat pengembalian yang wajar (financiallly feasible), tapi juga mempunyai profil risiko (alokasi risiko) yang dapat diterima (managable) oleh investor dan kreditur.

Adapun informasi yang dapat mengindikasikan bankability suatu proyek antara lain latar belakang proyek, ringkasan struktur proyek yang terdiri dari skema proyek dan para pemangku kepentingan terkait pada proyek, ringkasan spesifikasi output layanan seperti spesifikasi/standar minimum layanan dan standar tambahannya serta dukungan pemerintah, kerangka hukum (legal framework) yang mendasari proyek, status kesiapan lahan, status penyelesaian perizinan dan persetujuan yang diperlukan, struktur (sumber-sumber) pendapatan proyek, mekanisme pembayaran (bagaimana swasta akan dibayar), dan alokasi risikonya (termasuk alokasi risiko yang terkait dengan lahan).

Baca juga: Yang Utama, tapi Seringkali Terlupa: Bankability

Dari informasi yang menunjukkan bankability proyek ini, kita dapat melihat bahwa business case tidak hanya sekedar suatu kajian yang menilai layak atau tidak layaknya suatu proyek untuk dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi juga menyajikan informasi yang diperlukan agar investor atau kreditur dapat menilai layak atau tidak untuk berinvestasi pada proyek ini. Selain itu, agar investor dan kreditur dapat melakukan penilaiannya, tentu informasi terkait bankability proyek dalam business case perlu disampaikan kepada investor yang menjadi peserta lelang. Informasi tersebut perlu menjadi bagian dari dokumen lelang (request for proposal) dan disajikan secara komprehensif agar investor dapat melakukan penilaian risiko dan menyusun proposal penawaran yang kompetitif. Apabila dokumen lelang gagal menyajikan informasi tersebut dengan memadai, akibatnya tidak hanya proses lelang atau proposal penawarannya menjadi tidak kompetitif (karena kurangnya partisipasi peserta lelang atau proposal yang tidak responsif), tetapi juga bisa berpotensi menimbulkan sanggahan (isu hukum) karena informasi yang tidak lengkap atau proses perolehan financial close yang lama.

Dengan penjelasan di atas, tentu tindak lanjut yang perlu menjadi perhatian bukan dalam bentuk mengganti judul kajian prastudi kelayakan atau studi kelayakan menjadi business case, tetapi dengan mengubah mindset atau pemahaman kita terhadap kajian tersebut. PJPK perlu memahami bahwa penyusunan informasi pada kajian dalam penyiapan proyek KPBU tidak hanya berorientasi pada kebutuhan pengambilan keputusan oleh pemerintah, tetapi juga harus berorientasi pada kebutuhan investor atau kreditur dan mengupayakan bankability proyek telah paripurna pada saat proses lelang dimulai sehingga investor dan kreditur dapat lebih yakin untuk berinvestasi. Mindset untuk memahami kebutuhan atau pertimbangan (concerns) investor dan kreditur dalam penyusunan business case merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan proyek KPBU dalam rangka penyediaan layanan ke masyarakat, karena hal tersebut menjadi spirit dari kata “Partnership” dalam “Public Private Partnership”. Dengan demikian, PJPK wajib menyiapkan business case (bukan FS) untuk mendapatkan investor dan kreditur guna terselenggaranya layanan infrastruktur yg dibutuhkan masyarakat.