Peran APBN sebagai Penggerak Utama dalam Mewujudkan Infrastruktur Hijau (Green) dan Resilient


Oleh: Rahmat Mulyono

Pada pertengahan Agustus 2021, untuk pertama kalinya sejak perekaman data dilakukan mulai tahun 1950, hujan turun di puncak tertinggi Greenland yang berada pada ketinggian sekitar 2.700 m di atas permukaan laut. Bagi kita yang tinggal di negara tropis, turunnya hujan mungkin adalah hal yang biasa, kecuali hujan di bulan Juni. Namun, hujan yang berupa air di Greenland, yang berada di lingkaran kutub utara, adalah hal yang tidak biasa. Hujan di Greenland biasanya adalah hujan salju, bukan hujan air.  Sebagian ahli berpendapat bahwa ini adalah salah satu tanda terjadinya perubahan iklim (climate change).   

Di samping fenomena tak biasa tersebut, tanda terjadinya perubahan iklim berupa naiknya suhu permukaan bumi secara global sudah diidentifikasi sejak lama. Berdasarkan data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dalam satu dekade terakhir (2011-2020), suhu permukaan bumi secara global lebih panas 1,09 derajat celcius daripada periode 1850-1900 (era permulaan revolusi industri). Kenaikan suhu global tersebut terlihat pada semakin banyaknya lapisan es di kutub utara maupun kutub selatan yang mencair dan berkurangnya gletser dan salju abadi di puncak-puncak gunung.

Mungkin kita berpikir, “Ah, itu terjadi nun jauh di sana. Di sini kita akan baik-baik saja”.

Tunggu dulu.

Mencairnya es di kutub dapat menyebabkan kenaikan muka air laut. Bertambah tingginya permukaan laut adalah ancaman bagi bagi negara kepulauan seperti Indonesia dan daerah-daerah pesisirnya. Kota-kota di pesisir terancam tenggelam dengan naiknya permukaan air laut. Perubahan iklim juga ditandai dengan musim kemarau yang lebih panjang atau musim hujan yang lebih basah; yang dapat memengaruhi ketahanan pangan dan terjadinya bencana seperti kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Singkatnya, kita harus menyadari bahwa perubahan iklim pun berdampak pada kehidupan kita di sini, di Indonesia.

Di sisi lain, aktivitas pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur, memerlukan sumber daya yang besar dan tidak jarang berdampak negatif pada lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil akan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim. Kondisi ini diperparah dengan semakin berkurangnya hutan, yang berarti juga berkurangnya kapasitas untuk menyerap emisi karbondioksida–yang merupakan salah satu GRK—melalui fotosintesis. Berkurangnya hutan atau peralihan fungsi lahan pada akhirnya juga mengancam kelestarian ekosistem.

Oleh karena itu, dalam pembangunan infrastruktur, kita perlu membangun infrastruktur yang ramah lingkungan untuk memitigasi dampak negatif terhadap lingkungan dan memiliki kemampuan beradaptasi untuk menghadapi perubahan iklim. Konsep infrastruktur hijau (green infrastructure) muncul seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan dampak perubahan iklim. Untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur hijau, Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal memiliki peran yang sangat penting.

Konsep Infrastruktur Hijau atau Green Infrastructure

Tidak terdapat definisi tunggal mengenai green infrastructure. Pada awalnya, green infrastructure merupakan area hijau yang bersifat multifungsi yang diintegrasikan dengan infrastruktur buatan manusia. Dalam konteks ini, contoh penerapan green infrastructure misalnya sistem resapan air, green roofs, rain harvesting, floodplain, dan riparian buffer.

Infrastruktur Hijau

Ilustrasi Infrastruktur Hijau

Seiring dengan perkembangan konsep green economy, green infrastructure tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan manfaat tak berwujud dari area hijau yang terintegrasi dengan infrastruktur (misalnya berupa udara segar dan keindahan lingkungan), tetapi juga infrastruktur yang mendukung pelestarian atau peningkatan produktivitas sumber daya alam, termasuk mengurangi emisi GRK. European Energy Agency mendefinisikan green infrastructure sebagai “a concept addressing the connectivity of ecosystems, their protection and the provision of ecosystem services, while also addressing mitigation and adaptation to climate change.” Green infrastructure tidak hanya berfungsi dalam perlindungan dan pelestarian ekosistem, namun juga untuk mendukung mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Definisi green infrastruktur menjadi semakin luas, melingkupi infrastruktur yang memiliki mitigasi atau menghindari dampak negatif terhadap lingkungan. Definisi yang lebih luas ini juga digunakan oleh lembaga keuangan multilateral dalam melakukan penilaian atas perlindungan lingkungan (environmental safeguards) dalam pengambilan keputusan untuk memberikan pembiayaan pada suatu proyek infrastruktur. Dalam Green Bond Principles 2021, investasi pada green infrastructure (green projects) meliputi investasi pada sektor energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan sumber daya hayati yang berkelanjutan, transportasi ramah lingkungan, pengelolaan air minum dan limbah yang berkelanjutan, adaptasi perubahan iklim, circular economy, dan green buildings.

Dalam definisi infrastruktur hijau, terdapat aspek resiliensi yang merujuk pada kemampuan infrastruktur untuk menghadapi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Dalam konteks yang lebih luas, infrastruktur perlu dibangun dengan kemampuan beradaptasi pada lingkungan sekitarnya. Mengingat Indonesia berada pada posisi geografis dengan risiko bencana alam yang tinggi, maka infrastruktur yang dibangun harus memiliki kemampuan untuk menghadapi bencana alam, misalnya gempa bumi dan banjir.

Pembangunan infrastruktur hijau dan resilient semakin menjadi perhatian dunia internasional, termasuk dalam forum G20 di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Dalam presidensi Jepang pada tahun 2019, pembangunan infrastruktur hijau dan resilien menjadi bagian dari prinsip-prinsip investasi infrastruktur berkualitas (Quality Infrastructure Investments). Demikian halnya dalam presidensi Arab Saudi pada tahun 2020 yang mengusung tema InfraTech, pengembangan infrastruktur hijau dan resilien dipadukan dengan penggunaan teknologi yang menciptakan inovasi dan efisiensi. Sementara itu, pada presidensi Italia pada tahun 2021; infrastruktur hijau dan resilient menjadi bagian tak terpisahkan dari tema yang diusung, yaitu People, Planet, and Prosperity (3Ps). Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan (sustainable infrastructure) menjadi salah satu pilar untuk mewujudkan dunia yang berkelanjutan dengan menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara G20 dan menjalankan presidensi G20 untuk tahun 2022 dengan tema recover together, recover stronger. Pembangunan infrastruktur hijau dan resilien akan menjadi salah satu agenda yang akan diusung oleh Indonesia sebagai presidensi.

Motivasi Pembangunan Infrastruktur Hijau dan Resilient

Sebagaimana diilustrasikan di awal artikel, tanda-tanda perubahan iklim kian nyata dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh penduduk dunia. Motivasi utama pembangunan infrastruktur hijau dan resilient adalah sebagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim yaitu upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari kegiatan manusia, sedangkan adaptasi terhadap perubahan iklim yaitu tindakan menyesuaikan diri untuk mengantisipasi dampak buruk perubahan iklim.

Pembangunan infrastruktur hijau bertujuan untuk mengurangi emisi GRK sehingga berkontribusi untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan menekan kenaikan suhu rata-rata global pada 1,5 derajat celcius di atas tingkat di masa pra-industrialisasi, yang menjadi tujuan dari Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Paris Agreement) tahun 2015. Pembangunan infrastruktur energi terbarukan, efisiensi energi, dan transportasi massal ramah lingkungan akan mengurangi emisi GRK dalam jumlah besar mengingat sektor energi dan transportasi merupakan penyumbang emisi terbesar. Selain itu, pembangunan infrastruktur hijau, yang memiliki aspek resiliensi, juga bertujuan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, misalnya pembangunan bendungan yang diintegrasikan dengan irigasi dan sistem penyediaan air minum, pengendalian banjir dan antisipasi kekeringan, serta peningkatan ketahanan pangan. Contoh lainnya adalah pembangunan jalan tol yang terintegrasi dengan tanggul laut yang dapat melindungi daratan dari kenaikan permukaan laut seperti dijalan tol Semarang-Demak.

Di samping sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, infrastruktur hijau bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam, dengan meminimalkan dampak terhadap kerusakan lingkungan dan menggunakan sumber daya seefisien mungkin. Pembangunan infrastruktur hijau, seperti pembuatan area hijau, sistem resapan, taman, dan penataan bantaran sungai, pada mulanya berkaitan erat dengan konservasi air dan ekosistem sehingga mampu memberikan daya dukung bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya, infrastruktur hijau mencakup pelestarian sumber daya alam lainnya, misalnya melalui pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan transportasi massal ramah lingkungan yang selain mengurangi emisi GRK, juga sebagai mitigasi atas semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil. Selain itu, pembangunan infrastruktur dengan mitigasi atau meminimalkan dampak lingkungan juga bertujuan sebagai upaya konservasi ekosistem untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.

Dari sisi pembiayaan, infrastruktur hijau lebih menarik minat investor atau lender yang memiliki perhatian pada isu lingkungan dan keberlanjutan (sustainability). Mereka biasanya telah memiliki environmental and social framework (ESF) yang mengharuskan mereka untuk melakukan asesmen dan pemantauan atas pemenuhan standar yang berkaitan dengan aspek lingkungan dan sosial.

Baca juga: Konsekuensi Biaya PDF dalam Penyiapan Proyek KPBU Hijau (Green Infrastructure)

Peran APBN dalam Mewujudkan Infrastruktur Hijau dan Resilient

Indonesia terus berkomitmen dan berpartisipasi aktif dalam penanganan perubahan iklim yang dibuktikan dengan pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 dan Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Indonesia juga turut menandatangani Paris Agreement dan mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Sebagai pelaksanaan atas Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi pada tahun 2030.

Membicarakan pembangunan infrastruktur hijau dan resilient tidak lepas dari pembiayaan perubahan iklim dan Kementerian Keuangan memiliki peran penting di dalamnya. Dari sisi kerangka kebijakan, Kementerian Keuangan telah menyusun Green Planning and Budgeting Strategy for Indonesia’s Sustainable Development (GPB Strategy), yang merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). GPB Strategy berisi kebijakan-kebijakan pembangunan yang direncanakan oleh Pemerintah yang terfokus pada mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, lingkungan, dan pertumbuhan jangka panjang; yang diintegrasikan dalam RPJMN. Instrumen-instrumen kebijakan untuk melaksanakan program-program GPB antara lain melalui belanja pemerintah, insentif fiskal, pelibatan sektor keuangan, dan peraturan perundang-undangan.

Instrumen fiskal, dalam hal ini APBN, memiliki peran yang penting dalam pembangunan infrastruktur hijau dan resilient yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penurunan emisi GRK. Dari sisi kebijakan pendapatan, Pemerintah telah memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di bidang infrastruktur hijau, misalnya dengan pemberian tax allowance untuk pengembangan energi terbarukan. Dengan beban pajak yang lebih ringan, pembangunan infrastruktur hijau diharapkan lebih menarik minat badan usaha untuk berinvestasi.

Selain pemberian insentif fiskal, Pemerintah berencana mengenakan pajak karbon terhadap penghasil emisi GRK. Pajak karbon telah diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam konsep pajak karbon, pihak yang menghasilkan emisi lebih banyak akan membayar pajak yang lebih besar karena tarif pajak karbon ditetapkan per jumlah emisi yang dihasilkan. Pengenaan pajak karbon akan menjadi disinsentif bagi kegiatan ekonomi yang tidak ramah lingkungan karena beban pajak yang lebih besar, dan sebaliknya, akan menjadi insentif yang mendorong kegiatan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Di samping sebagai sumber pendapatan negara, pajak karbon juga dapat digunakan sebagai sumber pendanaan perubahan iklim melalui earmarking, termasuk pembangunan infrastruktur hijau dan resilien.

Dari sisi belanja, Kementerian Keuangan telah menerapkan penandaan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate budget tagging) yang telah terintegrasi dengan sistem penganggaran sejak tahun 2016. Dengan penerapan climate budget tagging, alokasi anggaran perubahan iklim dapat dilacak sampai pada kegiatan, output, dan besarannya sehingga pengelolaan anggaran perubahan iklim menjadi lebih terukur. Dari tahun 2018 hingga 2020, 88% belanja perubahan iklim dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur hijau.

Climate budget tagging hanya mengidentifikasi alokasi anggaran untuk perubahan iklim. Kementerian Keuangan dapat berperan lebih aktif dalam mendukung pembangunan infrastruktur hijau dan resilient dengan cara melakukan penilaian aspek lingkungan dan sosial atas usulan belanja infrastruktur. Untuk itu, Kementerian Keuangan perlu memiliki dan menerapkan environmental and social framework (ESF), sebagaimana yang digunakan oleh lembaga multilateral dalam pemberian pinjaman atau bantuan teknis.  ESF dapat digunakan dalam penelaahan usulan belanja infrastruktur, terutama apabila anggaran yang digunakan merupakan hasil earmarking dari pajak karbon. ESF juga perlu diterapkan pada belanja negara dalam rangka pemberian dukungan pemerintah untuk proyek infrastruktur. Untuk mendapatkan dukungan pemerintah, pembangunan infrastruktur harus memenuhi kriteria sebagai infrastruktur hijau dan resilien sesuai dengan ESF. Di samping untuk mewujudkan infrastruktur hijau dan resilien, penerapan ESF dapat lebih meningkatkan bankability pada proyek kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), terutama jika lender juga menerapkan pedoman environmental, social, and governance (ESG).

Sementara itu, dari sisi pembiayaan, sumber dana untuk membangun infrastruktur hijau dan resilient dapat bersumber dari green bonds/sukuk dan pinjaman dari lembaga multilateral yang menerapkan ESF. Indonesia menerbitkan sovereign green sukuk pertama kali pada tahun 2018. Hasil penerbitan green sukuk digunakan untuk membiayai kegiatan/proyek yang eligible sesuai Green Bonds Principles. Pinjaman dari lembaga multilateral umumnya juga telah melalui asesmen ESF oleh lembaga pemberi pinjaman, sehingga dapat lebih diarahkan untuk pembiayaan infrastruktur hijau maupun pengembangan kebijakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur hijau.

Investasi pemerintah berupa pendirian dan penyertaan modal negara pada institusi yang menjadi special mission vehicle (SMV) yang dikelola Kementerian Keuangan, seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)/PT SMI, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), PT Geo Dipa Energi (Persero), dan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) juga dapat meningkatkan leverage penggunaan dana APBN untuk membangun infrastruktur hijau dan resilient dengan lingkup yang lebih luas. SMV dapat didorong untuk menerapkan pedoman ESG dan memprioritaskan kegiatan bisnisnya untuk mendukung pembangunan infrastruktur hijau dan resilient.

Penutup

Sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, pembangunan infrastruktur hijau dan resilient di Indonesia tidak sekedar menjadi tren kekinian semata, namun merupakan kebutuhan yang nyata. Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan negara memiliki peran yang penting untuk mendorong dan mengarusutamakan pembangunan infrastruktur hijau dan resilien. Dalam melaksanakan peran tersebut, Kementerian Keuangan dapat berinovasi untuk menerapkan ESF untuk setiap fasilitas yang disediakan oleh Kementerian Keuangan untuk pembangunan infrastruktur, baik langsung maupun secara tidak langsung melalui SMV.

Daftar Pustaka