Konsekuensi Biaya PDF dalam Penyiapan Proyek KPBU Hijau (Green Infrastructure)


Oleh: Sevi

Di tengah kebutuhan pendanaan infrastruktur yang mencapai Rp6.445 triliun pada RPJMN 2020-2024, Pemerintah dituntut untuk dapat hadir dengan alternatif skema pembiayaan agar dapat menyediakan infrastruktur esensial yang dibutuhkan masyarakat. Salah satu skema yang dihadirkan adalah Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang pada 2024 diharapkan dapat memenuhi sekitar 42% dari total kebutuhan infrastruktur atau sekitar Rp2.707 triliun. Dalam upaya mendukung pengembangan skema KPBU di Indonesia, Pemerintah tidak hanya mendesain dan membangun kerangka regulasi pelaksanaannya. Melalui Kementerian Keuangan, Pemerintah juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung  keberhasilan suatu proyek infrastruktur KPBU, salah satunya fasilitas penyiapan proyek atau project development facility (PDF).

Proyek KPBU Hijau

Instalasi panel surya ramah lingkungan

Tujuan, Ruang Lingkup, dan Keluaran Fasilitas Penyiapan Proyek

Penyediaan fasilitas PDF untuk proyek KPBU saat ini didasarkan secara hukum pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180 Tahun 2020 (PMK 180/2020). Dalam desainnya, fasilitas PDF diharapkan dapat menjadi backbone dalam penyiapan struktur dan kemasan proyek yang tidak hanya menarik minat serta partisipasi badan usaha dan investor, tetapi juga mampu mendukung kepastian penyediaan layanan sesuai dengan tujuan pembangunan infrastruktur. Pendekatan penyiapan proyek KPBU yang holistik diharapkan dapat hadir melalui fasilitas PDF, sehingga tujuan penyediaan PDF mencakup tiga hal yakni, penyelarasan dan pengintegrasian proses penyediaan dukungan fiskal yang diperlukan bagi suatu proyek KPBU, pembuatan standar kajian dan dokumen proyek yang bankable, dan kepastian pencapaian tujuan proyek KPBU.

Guna mencapai tujuan tersebut, PDF setidaknya perlu dimobilisasi setelah kebutuhan infrastruktur telah teridentifikasi. Oleh karenanya, PDF dapat diberikan oleh Kementerian Keuangan kepada kementerian teknis, pemerintah daerah, atau BUMN/BUMD sebagai penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) setelah Studi Pendahuluan disusun. Studi Pendahuluan tersebut disusun dengan merujuk kepada Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Permen Bappenas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Studi Pendahuluan ini akan memuat sekurang-kurangnya need analysis, kepatuhan terhadap regulasi terkait proyek, analisis awal terkait value for money partisipasi badan usaha, analisis potensi pendapatan dan skema pembiayaan proyek, hingga rekomendasi dan rencana tindak lanjut proyek. Selanjutnya, Studi Pendahuluan bersama kelengkapan lain yang dipersyaratkan pada PMK 180/2020 dapat disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan dievaluasi dengan mempertimbangkan kelayakan proyek, kelayakan PJPK untuk melaksanakan proyek, dan manfaat kepada masyarakat.

Setelah persetujuan fasilitas diberikan, PDF kemudian di utilisasi untuk menyiapkan dan mentransaksikan proyek. Di fase penyiapan, PDF melingkupi pembuatan kajian awal proyek, pelaksanaan penjajakan minat pasar (market sounding), penyusunan kajian akhir, pemutakhiran rencana bisnis yang menggambarkan kesinambungan proyek dari hulu sampai hilir, serta dapat mencakup penyusunan kajian tentang potensi pembiayaan infrastruktur hulu hingga hilir dan dokumen pendukung lainnya. PDF dapat dikatakan mampu bergerak cukup ekstensif pada fase ini, ditunjukkan dengan kemampuan fasilitas untuk mengidentifikasi kebutuhan pembiayaan hingga di sisi hilir, yang mana dapat terjadi bagian hilir tersebut berada di luar lingkup KPBU. Seperti yang terjadi pada proyek sistem penyediaan air minum, penyediaan layanan di sisi hilir harus dilakukan oleh PDAM/PDAB sesuai dengan PP 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan PP 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum. Oleh karenanya, meskipun lingkup KPBU tidak mencakup pembangunan saluran rumah tangga, kemampuan penyerapan PDAM, kebutuhan investasi dan rencana bisnisnya dapat dikaji melalui PDF. Hal ini dilakukan sebagai pendekatan penyiapan proyek yang integral dan holistik dengan memperhatikan penyiapan ekosistem proyek dan tidak terbatas pada porsi KPBU saja. Kajian dengan pendekatan semacam ini penting agar dapat memberikan keyakinan atas  kesesuaian skema KPBU untuk proyek tersebut (PPP suitability test) dan menjadi pertimbangan dalam analisis affordability atas proyek.[1]

Pada tahap transaksi, PDF disediakan untuk mendampingi dan mengawal PJPK dalam proses pengadaan badan usaha sesuai dengan Perka LKPP Nomor 29 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Pelaksana Penyediaan Infrastruktur Melalui Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha atas Prakarsa Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah. Selain itu, PDF juga memberikan pendampingan kepada PJPK dalam penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS). Setelah pemenang lelang ditetapkan, pemenuhan syarat pembiayaan dan perolehan pembiayaan (financial close) juga dapat difasilitasi melalui PDF. Menimbang jangka waktu yang dibutuhkan untuk penyiapan proyek hingga financial close, fasilitas PDF setidaknya berjalan selama dua tahun untuk setiap proyek, dan dapat diperpanjang dengan memperhatikan skala proyek dan kebutuhan penyiapan. Selain mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan proyek dan potensinya, efektivitas pelaksanaan fasilitas dan efisiensi penyelesaian fasilitas juga menjadi bahan evaluasi dalam hal fasilitas akan diperpanjang. Dengan demikian, keluaran dari fasilitas PDF yang diberikan pada suatu proyek dapat dikatakan cukup banyak dari sisi dokumen dan dalam dari sisi substansinya.

Ruang lingkup fasilitas dan keluaran-keluaran yang diharapkan untuk dihasilkan dalam PDF kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian penugasan. Perjanjian penugasan ini merupakan suatu dokumen perikatan antara pemberi penugasan, dalam hal ini Kementerian Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan pelaksana penugasan, yang hingga saat ini merupakan BUMN di bawah Kementerian Keuangan, PT Sarana Multi Infrastruktur Persero (PT SMI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero (PT PII). Seluruh hak dan kewajiban para pihak tertuang dalam dokumen tersebut, termasuk rencana kerja dan anggaran biaya yang dibutuhkan.

Dalam pelaksanaan fasilitas, struktur Biaya PDF terdiri dari dua komponen utama, yakni Biaya Penasihat Transaksi dan Biaya Manajemen Proyek. Berdasarkan definisinya, Biaya Penasihat Transaksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh BUMN pelaksana penugasan untuk membiayai penasihat transaksi (konsultan) yang diperlukan untuk menunjang tugas BUMN dalam pelaksanaan PDF. Adapun biaya manajemen proyek adalah biaya-biaya selain biaya penasihat transaksi yang dikeluarkan oleh BUMN pelaksana penugasan untuk pelaksanaan fasilitas PDF. Umumnya biaya manajemen proyek ini meliputi biaya SDM, biaya kehumasan dan koordinasi, dan biaya overhead lainnya. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk pelaksanaan penugasan akan mendapatkan kompensasi dari Kementerian Keuangan ditambah dengan margin yang besarannya ditentukan setiap tahun.

Biaya PDF dalam Penyiapan Infrastruktur KPBU Hijau

Melihat lingkup fasilitas, struktur biaya dan skema pembayaran kompensasi biaya pelaksanaan fasilitas, desain penyiapan suatu proyek akan sangat mempengaruhi besaran biaya penugasan, termasuk dalam penyiapan proyek dengan konsep hijau (green infrastructure). Green infrastructure dapat didefinisikan sebagai infrastruktur yang mendukung penurunan tingkat emisi karbon, mendorong energi terbarukan dan ramah lingkungan.[2] Pendekatan pembangunan infrastruktur hijau ini tidak hanya menjadi instrumen untuk mengatasi isu perubahan iklim, tetapi juga sejalan dengan tujuan pembangunan infrastruktur suatu negara, yakni menciptakan wealth (kemakmuran rakyat).[3] Terlepas dari visi yang jelas, perkembangan infrastruktur hijau dapat dikatakan belum masif. Salah satu barrier utama dalam lambatnya perkembangan ini adalah biaya investasi yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur konvensional.[4] 

Dalam kacamata penyiapan proyek, peningkatan biaya investasi dalam proyek infrastruktur hijau tersebut memiliki korelasi dengan kebutuhan biaya investasi proyek. Hal ini terjadi karena proses dalam perencanaan dan penyiapan infrastruktur hijau lebih kompleks dalam beberapa aspek. Pertama, infrastruktur hijau perlu penyiapan yang memperhatikan aspek alam, lingkungan dan sosial proyek yang terintegrasi. Kedua, perencanaan proyek hijau membutuhkan lebih banyak izin dan proses administratif. Ketiga, proyek hijau perlu didesain secara inklusif karena sangat terkait dengan kualitas hidup dan keseimbangan alam sementara dalam hal ini seringkali terdapat conflicting interest di antara para stakeholder. Terakhir, banyak aspek dalam proyek hijau mengandung penilaian kualitatif yang rigid seperti tingkat ketersediaan dan kualitas lahan, kualitas air, tingkat emisi, efisiensi energi, dan lain-lain.[5] Umumnya, peningkatan biaya yang cukup tinggi muncul pada pos biaya desain proyek infrastruktur hijau yang dapat mencapai 5% lebih tinggi dari desain proyek konvensional[6]. Selain biaya desain, biaya terkait penyiapan termasuk biaya manajemen, SDM, rating, dan bahkan biaya pemenuhan syarat untuk commissioning seperti green rating juga berpotensi muncul. Biaya-biaya tersebut setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, regulasi sektor, lender requirements (termasuk pemenuhan aspek environmental & social management framework/ ESMF), dan ketersediaan tenaga ahli.

Jika suatu proyek KPBU didesain sebagai green infrastructure dan mendapatkan PDF, biaya penyiapan berpotensi meningkat, sesuai dengan tingkat implementasinya. Saat ini, pengaturan terkait kriteria pemenuhan agar suatu infrastruktur dapat digolongkan sebagai green infrastructure di Indonesia masih tersebar di berbagai instrumen regulasi, mulai dari undang-undang dan peraturan sektor hingga perda yang kemudian dituangkan dalam dokumen AMDAL. Selain itu, dalam berbagai praktik internasional, kriteria kehijauan suatu infrastruktur lebih banyak didorong melalui persyaratan dalam ESMF dan safeguards yang dimiliki oleh lender dan kriteria compliance yang didasarkan pada rating, sertifikasi, guideline atau taksonomi tertentu pada tiap sektor infrastruktur.[7] Dengan demikian, parameter tingkat implementasi dan level playing field investor akan mempengaruhi alokasi biaya PDF-nya.

Jika ditempatkan pada struktur biaya PDF saat ini, konsekuensi biaya penyiapan tersebut dapat muncul dalam bentuk kenaikan biaya penasihat transaksi maupun biaya manajemen proyek. Item-item pengeluaran yang berpotensi mempengaruhi kenaikan biaya PDF antara lain diidentifikasi pada tabel 1.

 

Tabel 1 Item-Item Pengeluaran yang Berpotensi Meningkat dalam Biaya PDF Proyek KPBU Hijau

Biaya Penasehat Transaksi Biaya Manajemen Proyek
Desktop Study untuk penentuan lingkup green infrastructure Peningkatan biaya SDM karena penambahan durasi penyiapan atau ruang lingkup fasilitas
Konsultan/Tenaga Ahli ESMF Biaya pendampingan dalam pemenuhan syarat pembiayaan sebagai green infrastructure
Konsultan/tenaga ahli teknis yang menguasai desain infrastruktur hijau Peningkatan biaya koordinasi dan public consultation
Kenaikan biaya konsultan legal karena peningkatan kebutuhan compliance Biaya publikasi dan humas untuk branding sebagai green infrastructure. 
Biaya Rating/Sertifikasi desain jika diperlukan -

 

Walaupun demikian, potensi kenaikan biaya PDF untuk proyek KPBU hijau bukan berarti unreasonable. Peningkatan biaya tersebut berpotensi meningkatkan value for money proyek karena beberapa alasan. Pertama dan paling utama, economic viability proyek hijau dapat diprediksi lebih tinggi daripada proyek konvensional karena memiliki manfaat lingkungan dan kesehatan yang lebih tinggi.[8] Kedua hal tersebut dapat juga memberikan outcome berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagai penerima manfaat proyek[9]. Selain itu, desain proyek KPBU yang ramah lingkungan dapat mengurangi resistensi terhadap proyek, khususnya dari masyarakat terdampak dan pemerhati lingkungan. Terlebih lagi, penerapan konsep hijau juga dapat membantu mengembangkan pasar investor dalam KPBU, membuka peluang industri dan menciptakan lapangan kerja baru.[10] Hal tersebut dipengaruhi dengan adanya global demand terhadap infrastruktur yang ramah lingkungan seiring meningkatnya kesadaran berbagai negara untuk turut aktif menangani masalah perubahan iklim global.[11]

Guna mendapatkan keyakinan bahwa konsekuensi biaya yang ditanggung dalam penyiapan proyek KPBU hijau dapat mencapai visi dan tujuannya, langkah preventif perlu ditetapkan. Penting untuk mengimplementasikan manajemen risiko yang optimal sedini mungkin, termasuk dalam proses pengelolaan PDF. Risiko pasar, risiko industri, bahkan risiko performa proyek perlu diidentifikasi dan dalam beberapa hal dijadikan sebagai bagian dari critical path dalam pelaksanaan fasilitas. Misalnya, kepastian akan tingkat implementasi green dalam desain infrastruktur yang perlu didefinisikan dengan jelas saat penyusunan kajian awal dan kepastian pemenuhan sertifikasi (bila diperlukan), termasuk mitigasi untuk mempertahankan status green. Lebih jauh lagi, dapat disusun suatu kerangka nasional terkait kriteria green PPP project sehingga tidak hanya memberikan kepastian dari sisi proyek, tetapi juga bagi investor. Desain pelaporan dan monitoring juga dapat disertakan dalam kerangka tersebut untuk mendukung governance dan compliance selama siklus hidup proyek. Dengan demikian, konsekuensi biaya PDF yang ditanggung di masa penyiapan dapat memberikan manfaat efisiensi sepanjang siklus hidup proyek KPBU.

 

 


[1] APMG PPP Certification Guideline

[2] Zimmerman, R.; Brenner, R.; Llopis Abella, J. Green Infrastructure Financing as an Imperative to Achieve Green Goals. Climate 2019, 7, 39. https://doi.org/10.3390/cli7030039

[3] J. M. Koh, Green Infrastructure Financing, https://doi.org/10.1007/978-3-319-71770-8_3, chapter 3.

[4] https://stormwater.wef.org/2015/12/real-cost-green-infrastructure/

[5] Carol Kambites & Stephen Owen (2006) Renewed prospects for green infrastructure planning in the UK,Planning Practice & Research, 21:4, 483-496, DOI:10.1080/02697450601173413

[6] Abidin, N. Z., & Azizi, N. Z. M. (2016). Identification of factors influencing costs in green projects. Int J Civil Environ Eng, 10(9), 1160-1165.

[7] Climate Bonds Initiative Taxonomy, Januari 2021, dapat diakses melalui tautan  www.climatebonds.net

[8] https://ec.europa.eu/environment/enveco/biodiversity/pdf/GI_DICE_FinalReport.pdf

[9] Robert F. Young (2011) Planting the Living City, Journal of the American Planning Association, 77:4, 368-381, DOI: 10.1080/01944363.2011.616996

[10] Ashuri, B., & Durmus-Pedini, A. (2010). An overview of the benefits and risk factors of going green in existing buildings. International Journal of Facility Management, 1(1).

[11] J. M. Koh, Green Infrastructure Financing, https://doi.org/10.1007/978-3-319-71770-8_3