KPBU-Availability Payment: Salah Satu Opsi Penyediaan dan Pembiayaan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) di Kawasan Perkotaan?


Latar belakang : Tempat Tinggal Merupakan Hak Warga Negara

Rumah, merupakan kebutuhan dasar setiap orang, sehingga banyak cara dilakukan orang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai bentuk tanggung jawab negara akan kebutuhan tersebut, negara juga telah mengambil porsi yang besar dalam membantu warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan rumah. Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pada UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan/atau Pemda harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Selain kedua UU tersebut, tanggung jawab negara atas kebutuhan tempat tinggal bagi warganya juga termuat dalam UU 20/2011 tentang Rumah Susun dan UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Pemerintah telah membuat kebijakan pembangunan yang salah satunya tercantum dalam RPJM 2015-2019. Adapun terkait dengan perumahan, kebijakan Pemerintah adalah meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung penyediaan prasarana, sarana dan utilitas yang memadai. Berdasarkan RPJM 2015-2019, kebutuhan pendanaan infrastruktur diperkirakan sebesar Rp4.796 triliun, sedangkan kebutuhan sektor perumahan sebesar Rp328 triliun atau sekitar 7% dari seluruh kebutuhan pendanaan infrastruktur nasional). Kebutuhan dana tersebut ditujukan untuk penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau untuk 2,2 juta rumah tangga dan peningkatan kualitas rumah tidak layak huni untuk 1,5 juta rumah tangga, di mana sebagian dana tersebut harus disediakan melalui APBN/APBD. Jumlah kebutuhan dana tersebut dapat juga bertambah apabila pemenuhan target pada tahun yang bersangkutan tidak tercapai atau adanya peningkatan kebutuhan karena pertumbuhan jumlah penduduk.

Dalam memenuhi kebutuhan rumah tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemda mengambil porsi yang cukup besar dalam pembiayaan perumahan, yaitu sekitar Rp228 triliun atau 69% dari seluruh kebutuhan pembiayaan perumahan.

Mengingat masih besarnya financing gap di luar porsi Pemerintah tersebut, perlu strategi agar pembiayaan tersebut dapat menghasilkan lebih banyak rumah dalam mengatasi kebutuhan rumah baru, baik yang disebabkan pertumbuhan populasi, mengatasi backlog tahun-tahun sebelumnya, dan menjawab tantangan kebutuhan perumahan/kawasan permukiman untuk kalangan milenial serta dalam rangka penataan kawasan kumuh di wilayah perkotaan.

KPBU-AP

Backlog Penyediaan Perumahan

Berdasarkan bahan paparan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)/PT SMF – merupakan BUMN pembiayaan sekunder perumahan, kebutuhan perumahan baru adalah sebesar 1,46 juta unit rumah per tahun. Adapun rincian angka tersebut adalah yang pertama berasal dari backlog perumahan tahun sebelunya sekitar 580 ribu unit dan kebutuhan perumahan baru (sebagai dampak kenaikan populasi penduduk) sebesar 880 ribu unit. Dari jumlah 1,46 juta unit, kemampuan pengembang dalam menyediakan rumah sekitar 440 ribu unit, sehingga masih terdapat kekurangan sekitar 1 juta unit rumah. Banyak pertimbangan mengapa pengembang hanya mampu memenuhi hanya sekitar 30% kebutuhan, seperti kekurangan modal, administrasi perijinan yang memakan waktu lama, mahalnya biaya pengadaan tanah dan lain sebagainya.

KPBU-AP

Jika dilihat dari jenis pembiayaan untuk membangun 400 ribu unit rumah, mayoritas melibatkan lembaga keuangan (khususnya bank) dengan menggunakan fasilitas kredit (KPR) yaitu sebesar 77%, selanjutnya hard cash sebesar 7% dan sumber pembiayaan lainnya sebesar 16%. Dapat dikatakan bahwa KPR masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam membiayai kepemilikan rumahnya.

Berdasarkan jenis rumah, terdapat dua jenis yaitu rumah tapak (landed house) dan rumah vertikal (rumah susun). Pengembang/ Pemerintah telah membagi target pembangunan rumah menjadi dua jenis tersebut di beberapa masterplan pembangunan perumahan/kawasan pemukiman, meskipun target pembangunan masih didominasi rumah tapak.

Pertumbuhan Populasi pada Daerah Urban (Perkotaan) di Indonesia

Merujuk data yang dipublikasikan oleh United Nations pada tahun 2016, selama periode 20 tahun terakhir (1995-2015) populasi penduduk di daerah urban di Indonesia tumbuh sekitar 3,37% per tahun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan populasi daerah urban dunia (2,16%), Asia (2,78%) bahkan di Asia Tenggara (2,92%). Pertumbuhan ini juga lebih besar dari Thailand (3,20%), Myanmar (2,34%), Filipina (1,48%). Adapun di Amerika Serikat sebesar 1,24%, Tiongkok sebesar 3,55%, dan India sebesar 2,51%.

KPBU-AP

Dengan tingkat pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi diharapkan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena terjadi perkembangan di perkotaan. Namun, dalam kenyataanya tidak demikian, karena untuk kasus di Indonesia, setiap 1% pertumbuhan urbanisasi hanya memperoleh 4% peningkatan PDB per kapita, bandingkan saja dengan yang terjadi di India yang mencapai 13%, China sebesar 10%, dan Thailand sebesar 7%. Kontribusi urbanisasi yang kecil terhadap kenaikan PDB ini dikarenakan maraknya kemacetan, polusi, dan risiko bencana akibat investasi infrastruktur yang kurang memadai.

Dengan peningkatan populasi di daerah perkotaan maka pemerintah harus mempunyai strategi/kebijakan agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Adapun strategi yang perlu mendapat perhatian adalah terkait dengan perumahan. Hal ini tentunya dilandasi ketika mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah atau menempati rumah yang layak maka akan menimbulkan daerah kumuh (slum area) di perkotaan. Tantangan pembangunan perumahan akan semakin besar mengingat ketersediaan lahan yang semakin sedikit, sehingga opsi-opsi untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul juga semakin terbatas.

Strategi Pemenuhan Penyediaan dan Pembiayaan Perumahan Rakyat

Untuk memenuhi target pemenuhan penyediaan perumahan tersebut, Kementerian PUPR telah mempunyai berbagai strategi dan kebijakan, antara lain melalui kebijakan seperti pembangunan fisik perumahan oleh Kementerian PUPR, pembangunan perumahan oleh pengembang dengan subsidi pemerintah dan pembangunan perumahan oleh pengembang tanpa subsidi pemerintah dengan berbagai bentuk bantuan yang disediakan pemerintah. Target penyediaan perumahan terebut selanjutnya didistribusikan kepada Pemerintah Pusat (Kementerian PUPR dan K/L lainnya), Pemerintahan Daerah (PEMDA), Pengembang, Perusahaan (CSR) dan masyarakat itu sendiri (pembangunan rumah swadaya). Berikut ringkasan strategi dan program dalam rangka pemenuhan target penyediaan perumahan.

KPBU-AP

Rusunawa sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Perumahan

Sebagaimana disebut pada tabel di halaman 22, salah satu strategi untuk memenuhi penyediaan perumahan adalah melalui penyediaan rumah susun sewa (rusunawa) yang pembiayaannya dilakukan melalui alokasi anggaran di Kementerian PUPR. Berdasarkan rencana strategis Direktorat Rumah Susun Tahun 2015- 2019, jumlah rusunawa yang akan dibangun sebanyak 550.000 unit dengan kebutuhan dana sekitar Rp129,6 triliun (biaya konstruksi). Strategi rusunawa cocok untuk mengatasi masalah terutama untuk perumahan di perkotaan (urban area) untuk mengatasi tingkat pertumbuhan urbanisasi yang tinggi, disisi lain terkendala pada kesediaan lahan yang terbatas untuk pembangunan rumah tapak. Selain itu, kebutuhan kaum milenial dimana kecenderungan untuk memiliki rumah menjadi berkurang, karena lebih fokus pada menempati rumah dengan fasilitas yang baik dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.

KPBU-AP

Dengan kebutuhan pembiayaan dana yang mencapai Rp129,6 triliun, angka tersebut tergolong angka yang besar apabila harus ditanggung seluruhnya oleh APBN, sehingga apabila kita mulai melakukan shifting pendanaan dan fokus pada ketersediaan layanan perumahan maka hal tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha. Dengan adanya shifting dana dari kebutuhan pembangunan tersebut, maka paling tidak mencapai 2 tujuan penting dapat tercapai yaitu anggaran dapat digunakan untuk pembiayaan yang lain atau dapat dihemat (mengurangi anggaran belanja secara total pada tahun yang bersangkutan) dan yang kedua layanan ketersediaan perumahan menjadi lebih efektif, karena kualitas layanan yang baik/memuaskan pemerintah dan pengguna. Mengapa rumah yang menjadi prioritas untuk dikerjasamakan antara Pemerintah dengan Badan Usaha adalah rusunawa dengan target adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)? Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal ini dilandasi 3 pertimbangan pokok. Pertama, salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lahan di daerah perkotaan dan harga yang semakin mahal. Kedua, kemudahan implementasi dibandingkan dengan rumah tapak (lazim diterapkan di beberapa negara). Terakhir, sesuai kebutuhan dan kemampuan membayar pengguna (baik masyarakat maupun tenant).

KPBU-AP Sebagai Salah Satu Opsi Penyediaan dan Pembiayaan Perumahan Rakyat untuk MBR

Pada dasarnya terdapat dua jenis struktur KPBU, yaitu struktur berbasis-penggunaan layanan (usage-based PPP) dan struktur berbasis ketersediaan layanan (availability-based PPP). Dalam struktur usage-based PPP, lingkup penyediaan yang dikerjasamakan meliputi seluruh peran yang sebelumnya menjadi tanggung jawab sektor publik (Pemerintah). Dalam struktur ini, pemerintah lebih berperan sebagai regulator, sementara Badan Usaha secara langsung menyediakan layanan kepada pengguna retail/ akhir beserta dan menerima pembayaran dari pengguna tersebut. Dari sisi ini, Badan Usaha akan menanggung demand risk ketika layanan sudah dapat dimanfaatkan/ beroperasi.