Lesson Learned Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek KPBU (Sektor Air) di Indonesia


Pendahuluan

Lima tahun telah berlalu sejak berlakunya skema dukungan pemerintah terhadap proyek KPBU yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2012 (PMK 223/2012) tentang Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Saatnya para pemangku kepentingan membuka kembali catatan selama lima tahun terakhir dan merefleksikan diri apakah Dukungan Kelayakan (Viability Gap Fund) yang diatur dalam PMK 223/2012 telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya, perlu dipertimbangkan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam artikel ini, penulis menelaah kembali pelaksanaan pemberian Dukungan Kelayakan (DK) berdasarkan proses bisnis yang selama ini berlangsung di Kementerian Keuangan.

DK adalah salah satu alat fiskal yang dimiliki oleh Pemerintah untuk mendukung penyediaan infrastruktur khususnya yang diselenggarakan dengan cara KPBU. Sebagai alat fiskal, DK berfungsi memberikan kontribusi finansial ketika penyediaan infrastruktur tidak dapat dibiayai sepenuhnya secara komersial. Setiawan, Damayanty & Ircham (2014) menjelaskan empat bentuk alternatif pemberian DK yang dikenal dalam praktik internasional sebagai berikut:

  1. Contribution to construction cost; DK diberikan dalam bentuk tunai sebesar porsi tertentu atas biaya konstruksi.
  2. Contribution to operational cost; DK diberikan dalam bentuk tunai sebesar porsi tertentu atas biaya operasional yang dibayarkan secara periodik.
  3. Annuity/unitary payment; Pemerintah membayarkan sejumlah kompensasi kepada Badan Usaha selama masa operasi proyek yang terdiri dari komponen penggantian atas pengeluaran modal, pengeluaran operasional, biaya pembiayaan (financing costs) dan tingkat pengembalian yang wajar dari penyediaan infrastruktur.
  4. Minimum revenue guarantee; Pemerintah menjamin jumlah minimum pendapatan tertentu yang diperoleh Badan Usaha sebagai upaya mengambil alih risiko permintaan atas penyediaan infrastruktur dimaksud.

Sebagaimana diatur dalam PMK 223/2012, Indonesia mengadopsi kebijakan DK dalam bentuk kontribusi atas sebagian biaya konstruksi. Selain itu, terdapat rincian ketentuan yang mengatur syarat-syarat pemberian DK sebagai berikut:

  1. DK diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, kesinambungan fiskal, dan pengelolaan risiko fiskal (Pasal 3 PMK 223/2012);
  2. DK diberikan kepada proyek KPBU setelah diketahui tidak terdapat lagi alternatif lain untuk membuat proyek tersebut layak secara finansial (Pasal 4 PMK 223/2012);
  3. DK diberikan atas porsi tertentu dari biaya konstruksi proyek termasuk biaya pemasangan dan biaya bunga atas pinjaman yang berlaku selama masa konstruksi namun tidak meliputi biaya pengadaan lahan dan insentif perpajakan (Pasal 5(1) dan 5(2) PMK 223/2012);
  4. DK tidak boleh mendominasi biaya konstruksi dalam proyek KPBU (diterjemahkan sebagai maksimal 49% dari biaya konstruksi) (Pasal 5(3) PMK 223/2012);
  5. Kriteria proyek KPBU yang dapat diberikan DK adalah (Pasal 8 PMK 223/2012):
  • Proyek telah memenuhi kelayakan ekonomi namun belum memenuhi kelayakan finansial;
  • Proyek menerapkan prinsip pengguna membayar;
  • Proyek memiliki total biaya investasi paling kurang senilai Rp 100 miliar.
  • Proyek dilaksanakan oleh Badan Usaha yang ditetapkan oleh PJPK melalui proses lelang yang terbuka dan kompetitif;
  • Terdapat skema pengalihan aset dan/atau pengelolaannya dari Badan Usaha kepada PJPK pada akhir periode kerja sama.

Kebijakan pemberian DK disusun dalam rangka meningkatkan minat dan partisipasi Badan Usaha, meningkatkan kepastian penyediaan infrastruktur melalui pengadaan Badan Usaha, dan mewujudkan layanan publik melalui infrastruktur dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat.

Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek KPBU di Indonesia

Meskipun kebijakan pemberian DK telah berlaku sejak tahun 2012, sampai dengan saat ini baru ada satu proyek KPBU yang telah mendapatkan Surat Dukungan Kelayakan dari Menteri Keuangan dan terdapat beberapa proyek KPBU yang sedang diusulkan untuk memperoleh DK.

Berdasarkan PMK 223/2012, pemberian DK dapat dibagi menjadi empat tahapan utama sebagai berikut.

  1. Persetujuan Prinsip DK; Persetujuan awal yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada PJPK setelah dilakukannya evaluasi oleh Komite DK atas terpenuhinya kriteria proyek dan porsi besaran DK.
  2. Persetujuan Besaran DK; Persetujuan Menteri Keuangan atas batas maksimum besaran DK yang akan digunakan sebagai satu-satunya parameter dalam penetapan Badan Usaha pemenang lelang.
  3. Persetujuan Final DK; Persetujuan Menteri Keuangan atas besaran, waktu dan syarat pencairan DK berdasarkan hasil penetapan Badan Usaha pemenang lelang.
  4. Penerbitan Surat Dukungan Kelayakan; Konfirmasi Menteri Keuangan kepada Badan Usaha pelaksana proyek mengenai berlakunya pemberian DK.

Selanjutnya, Tabel 1 menunjukkan daftar proyek KPBU yang sudah atau sedang diusulkan untuk memperoleh DK. Data pada Tabel 1 menyatakan bahwa pemberian DK dalam proyek KPBU di Indonesia baru ada pada sektor air minum khususnya proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

Dari ketiga proyek dimaksud, baru Proyek SPAM Umbulan yang telah memperoleh DK. Proyek KPBU SPAM Umbulan adalah proyek penyediaan infrastruktur air minum untuk wilayah Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya, dan Kabupaten Gresik yang diharapkan dapat melayani sekitar 1,3 juta jiwa melalui 260 ribu sambungan air. Proyek ini dilaksanakan oleh PT Meta Adhya Tirta Umbulan selaku Badan Usaha dan diperkirakan membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 2,05 triliun hal mana 49% dari total biaya konstruksi ditanggung oleh Pemerintah, melalui Menteri Keuangan, senilai Rp 818 miliar.

Selain proyek SPAM Umbulan, Kementerian Keuangan juga sedang memproses permohonan DK atas proyek SPAM Semarang Barat dan SPAM Bandar Lampung. Berdasarkan evaluasi atas ketiga pengalaman terdahulu dalam pemberian DK, terdapat hal-hal yang dapat dicatat sebagai berikut:

1. Penetapan besaran DK maksimal sebesar 49%

Tujuan dari PMK 223/2012 mengatur maksimal besaran DK sebesar 49% adalah untuk memberikan kepastian atas jumlah kontribusi fiskal yang disediakan Pemerintah. Selain itu, besaran DK yang lebih kecil dari porsi Badan Usaha juga dimaksudkan untuk mengisyaratkan kepada publik bahwa biaya proyek secara dominan tetap ditanggung oleh Badan Usaha. Hal ini diperlukan untuk menunjukkan bahwa proyek KPBU ini bukanlah proyek APBN yang dibiayai sebagian besar atau seluruhnya oleh anggaran Pemerintah.

Secara konseptual, DK hanya dapat dimohonkan ketika sudah tidak ada alternatif lain untuk membuat proyek menjadi layak secara finansial. Namun, pada praktiknya seringkali besaran DK yang diusulkan sudah dipatok sebesar 49% sejak awal penyiapan proyek. Praktik ini menyebabkan evaluasi atas kelayakan finansial proyek menjadi bias. Alih-alih keseluruhan biaya proyek dihitung terlebih dahulu dan disandingkan dengan tarif pengguna untuk mencari tingkat pengembalian investasi (IRR) proyek apa adanya, perhitungan biaya seringkali berangkat dari jumlah maksimal DK yang dapat diperoleh lalu dihitung mundur untuk mendapatkan IRR dan biaya proyek yang mampu ditanggung Badan Usaha.

Perhitungan besaran DK seperti dicontohkan di atas tidak bertentangan dengan PMK 223/2012. Akan tetapi, metode yang digunakan membuatnya kurang selaras dengan semangat penggunaan DK sebagai instrumen fiskal. Dalam menggunakan DK sebagai instrumen fiskal, pemerintah perlu mengetahui dengan seksama apa dampak dari diberikan atau tidak diberikannya DK terhadap suatu proyek. Oleh karena itu, PJPK dan pihak yang ditunjuk untuk menyiapkan proyek hendaknya dapat bekerja sama dalam melakukan analisis kebutuhan DK dengan menyiapkan analisis sensitivitas besaran DK yang mencerminkan kelayakan finansial proyek sesungguhnya berdasarkan data yang ada.

2. Pengaruh ruang lingkup KPBU terhadap pemberian DK

Sehubungan dengan besaran DK yang merupakan porsi tertentu dari biaya konstruksi, maka ruang lingkup KPBU berpengaruh signifikan terhadap besarnya DK yang dapat diusulkan. Dalam sebuah proyek, misalnya proyek SPAM, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 122/2015 yang mengatur apa saja ruang lingkup proyek yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha, misalnya, pekerjaan konstruksi dari hulu ke hilir. Kegiatan konstruksi dapat terjadi dalam rangka pengambilan air, pengolahan air, hingga distribusi air melalui sambungan rumah. Regulasi di sektor air minum tidak memperbolehkan Badan Usaha untuk mengoperasikan infrastruktur air minum di tingkat hilir (dalam hal ini distribusi air melalui sambungan rumah). Dengan demikian, ruang lingkup KPBU dan porsi biaya konstruksi yang dapat dimohonkan DK hanya terbatas pada pengambilan hingga pengolahan air. Meskipun demikian, Pemerintah Daerah dan/atau Kementerian sektor terkait dapat memberikan dukungan kelayakan lainnya pada kegiatan distribusi air tersebut.

Karakteristik proyek di sektor air dan sektor-sektor tertentu lainnya yang cenderung highly regulated khususnya terkait ruang lingkup kerja sama, seringkali menimbulkan problematika tersendiri dari sisi pemberian DK. Sebuah proyek KPBU bisa saja sangat tidak layak secara finansial, misalnya dengan IRR proyek di bawah 7%, sehingga untuk membuatnya layak dan menarik bagi Badan Usaha harus diberikan berbagai bentuk dukungan kelayakan (kontribusi fiskal) baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. Akibatnya, total dukungan kelayakan dari Pemerintah Pusat dan Daerah akan sangat mendominasi keseluruhan sumber pembiayaan proyek dan prinsip dukungan kelayakan sebagai kontributor minoritas dari pembiayaan proyek menjadi tidak tercapai.

Oleh karena itu, Pemerintah dan para PJPK harus memiliki pendekatan yang sistematis untuk terlebih dahulu menentukan apakah KPBU adalah moda yang paling tepat dalam penyediaan sebuah proyek infrastruktur yang diinginkan. Berdasarkan praktik yang berkembang di beberapa negara yang telah menerapkan KPBU dengan baik, terdapat analisis nilai uang (value for money) yang dilakukan untuk menghasilkan kesimpulan apakah suatu proyek menghasilkan nilai uang tertinggi apabila dilaksanakan dengan cara KPBU. Dengan kata lain, proyek yang sangat jauh dari layak secara finansial hendaknya tidak dilaksanakan dengan cara KPBU. Apabila proyek tersebut tetap harus dilaksanakan, maka pembiayaannya hendaknya dapat dilakukan melalui APBN atau penugasan BUMN. Dalam hal ini, perencanaan infrastruktur memegang peranan penting. Dengan demikian, lembaga yang bertanggung jawab atas perencanaan dan prioritisasi pembangunan infrastruktur hendaknya memiliki tolok ukur yang jelas atas kelayakan sebuah proyek agar dapat memutuskan moda penyediaan infrastruktur apa yang tepat untuk diambil. Salah satu kriteria yang dapat digunakan adalah adanya nilai minimum IRR proyek untuk proyek KPBU.

3. Analisis manfaat sosial-ekonomi dalam pengajuan DK

Sehubungan dengan pentingnya evaluasi atas kelayakan finansial sebuah proyek, maka analisis kelayakan ekonomi atas sebuah proyek juga menjadi tidak kalah penting. Proyek yang dapat diusulkan untuk memperoleh DK dikenal memiliki kelayakan ekonomi, namun hanya memiliki kelayakan finansial yang marginal. Hal ini berarti bahwa proyek tersebut membawa manfaat terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan umum namun hanya sedikit saja (atau bahkan tidak) dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan infrastruktur dimaksud. Contoh atas infrastruktur ini adalah instalasi air minum, layanan kesehatan dan rumah sakit, layanan pendidikan, kesenian, olahraga, dan sebagainya.

Proyek-proyek infrastruktur sosial seperti dicontohkan di atas berpotensi diusulkan untuk memperoleh DK karena biaya yang dibutuhkan untuk menyediakan infrastruktur tersebut pada umumnya tidak sepadan dengan tarif pendapatan yang mampu atau mau dibayar oleh pengguna. Oleh karena itu, perlu disusun analisis manfaat sosial-ekonomi (social cost and benefit analysis) atas proyek infrastruktur dimaksud agar diperoleh landasan pemberian DK yang dapat dipertanggungjawabkan. Analisis tersebut juga merupakan komponen penting dalam merencanakan dan memprioritaskan proyek infrastruktur mana yang akan diberikan DK dan berapa nilai DK yang sanggup diberikan untuk mendukung tujuan strategis pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dengan demikian, pemberian DK dapat bersifat lebih strategis dan menjadi sebuah portofolio fiskal Pemerintah dalam menyediakan infrastruktur.

4. Pilihan waktu pembayaran DK selama masa konstruksi atau setelah masa konstruksi

Sesuai dengan Pasal 20(1) PMK 223/2012, DK dapat dibayarkan secara langsung kepada Badan Usaha pada periode tertentu selama masa konstruksi atau pada saat layanan infrastruktur sudah dapat digunakan secara operasional (tercapainya commercial operation date). Pilihan waktu pembayaran DK tersebut diputuskan oleh Komite Dukungan Kelayakan pada saat mengevaluasi permohonan DK yang disampaikan oleh PJPK. Perbedaan antara kedua alternatif tersebut pada dasarnya terletak pada (1) risiko dan (2) nilai DK yang dibayarkan.

Pada umumnya, apabila DK dibayarkan selama masa konstruksi maka nilai DK lebih kecil dibandingkan dengan nilai DK yang dibayarkan setelah masa konstruksi. Hal ini dikarenakan adanya biaya bunga selama masa konstruksi yang harus ditanggung oleh Badan Usaha yang merupakan komponen yang dapat diperhitungkan dalam DK. Sebaliknya, risiko konstruksi bagi Pemerintah akan lebih besar jika DK dibayarkan selama masa konstruksi. Jika DK dibayarkan setelah konstruksi selesai dan infrastruktur dapat digunakan secara operasional, maka Pemerintah mengalihkan risiko kegagalan konstruksi kepada Badan Usaha.

Pilihan waktu pembayaran DK pada dasarnya adalah upaya pengelolaan risiko konstruksi yang terkait langsung dengan harga (pricing) atas risiko tersebut. Oleh karena itu, evaluasi atas permohonan DK harus mampu menyediakan kuantifikasi atas risiko tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan dalam memilih opsi waktu pembayaran DK yang tepat. Misalnya, apabila Pemerintah menyetujui membayarkan DK setelah masa konstruksi dengan konsekuensi nilai DK yang lebih besar senilai Rp50 miliar dalam rangka mengalihkan risiko konstruksi, maka Pemerintah harus mempunyai informasi kuantitatif yang memadai atas besarnya manfaat pengalihan risiko konstruksi yang akan diperoleh. Dengan demikian, dapat diketahui apakah tambahan Rp50 miliar akibat pemilihan opsi waktu pembayaran DK setelah masa konstruksi telah memberikan nilai (value) yang maksimal bagi Pemerintah selaku pemberi DK.

5. Prinsip pengguna membayar dalam proyek yang diajukan untuk mendapatkan DK

Sesuai dengan Pasal 8 PMK 223/2012, DK hanya dapat diajukan untuk proyek yang di dalamnya memiliki prinsip pengguna membayar. Namun, tidak terdapat penjelasan lebih rinci tentang batasan dan interpretasi atas prinsip tersebut. Secara filosofis, terdapat dua prinsip pembayaran atas layanan infrastruktur: (1) pengguna membayar (user pay) dan (2) Pemerintah membayar (government pay). Pemberian DK dimaksudkan untuk meringankan tarif yang dibayar pengguna agar tarif tersebut tetap terjangkau. Namun demikian, seringkali terdapat beberapa kerancuan dalam memahami prinsip pengguna membayar yang dapat mengganggu pemahaman atas kebijakan pemberian DK.

Sebagai contoh, proyek SPAM (dan juga proyek penyediaan listrik) mengenal skema offtake dalam struktur KPBU. Badan Usaha akan memroduksi air minum atau energi sesuai dengan kapasitas dan kualitas yang disyaratkan. Selanjutnya, BUMN/BUMD yang berwenang (yang disebut sebagai offtaker) akan membeli air atau energi tersebut sesuai dengan harga yang diperjanjikan. BUMN/D tersebut kemudian akan menjual air atau listrik tersebut kepada pengguna sesuai dengan tarif yang ditetapkan. Skema ini menunjukkan adanya variasi dari prinsip pengguna membayar halmana transaksi pembayaran tersebut dilakukan tidak secara langsung kepada Badan Usaha, namun melalui perantara dalam hal ini BUMN/D yang berwenang.

Selain itu, pembatasan pengajuan permohonan DK hanya untuk proyek yang menggunakan prinsip pengguna membayar berpotensi menimbulkan kerancuan dengan kebijakan dukungan kelayakan lainnya yang dikenal dengan Pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment). Kebijakan Pembayaran Ketersediaan Layanan (PKL) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.08/2016 (PMK 260/2016). Dalam Pasal 5 PMK 260/2016 disebutkan bahwa PKL hanya diperuntukkan bagi proyek yang pengembalian investasinya tidak berdasarkan tarif yang dibayar oleh pengguna. Merujuk pada Setiawan, Damayanty, dan Ircham (2014), baik DK maupun PKL sesungguhnya adalah bentuk dukungan kelayakan dari Pemerintah yang tidak ditentukan oleh siapa yang membayar kepada Badan Usaha. Menurut penulis, interpretasi yang penting untuk dikomunikasikan kepada publik dan para PJPK terkait kebijakan dukungan kelayakan terletak pada siapa pihak yang akan mengembalikan investasi Badan Usaha, dan bukan siapa yang membayar atas layanan infrastruktur yang diberikan. Oleh karena itu, perlu disusun sistematika kebijakan dukungan kelayakan yang komprehensif dan tidak bersilangan antara satu sama lain.

Penutup

Kebijakan pemberian DK dalam rangka mendukung penyediaan infrastruktur adalah sebuah torehan kemajuan dalam sejarah KPBU di Indonesia. Pemerintah Indonesia beserta para PJPK selama lima tahun terakhir telah menunjukkan komitmen yang tinggi dalam menerapkan KPBU di Indonesia, salah satunya melalui kesediaan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan tata kelola pemberian DK yang baik. Beberapa hasil evaluasi yang disajikan dalam artikel ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menjadi pembelajaran (lessons learned) bagi para pemangku kepentingan proyek KPBU di Indonesia. Akhirnya, perjalanan menuju tata kelola KPBU dan pemberian DK yang efektif akan terus bergulir dan dibutuhkan upaya bersama dari segenap pemangku kepentingan untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut.