Perekonomian Dunia Diprediksi akan Dihantam Resesi Tahun 2023, Bagaimana dengan Pembangunan Infrastruktur?


Penulis: Alinda Mahdiyan
Pembimbing : Esti Ismayati

Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul “Is a Global Recession Imminent?” memprediksi kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global pada tahun 2023 mendatang. Prediksi tersebut, terasa semakin nyata dengan beberapa indikasi yang sudah mulai terjadi, seperti kenaikan suku bunga acuan secara agresif yang dilakukan bank sentral berbagai negara dalam upaya meredam laju inflasi.

Resesi

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa ketidakpastian global saat ini sangat mengkhawatirkan banyak negara, termasuk Indonesia. Akibat kenaikan harga energi hingga suku bunga acuan di berbagai negara, inflasi menjadi melonjak. Beliau menyebut sudah terdapat 5 negara dengan lonjakan inflasi hingga di atas 80%. Sementara inflasi Indonesia per November 2022 mencapai 5,42% dan diprediksi tembus 6 persen di akhir tahun ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyampaikan bahwa ancaman resesi dan perlambatan ekonomi global pada tahun 2023 bukanlah tantangan yang mudah, terutama akibat ketegangan geopolitik yang berimbas pada disrupsi rantai pasok global berpotensi berimbas pada perekonomian domestik. Disamping tantangan geopolitik dan resesi ekonomi tersebut, beliau mengatakan dunia juga menghadapi tantangan perubahan iklim yang akan sangat mempengaruhi keuangan negara, perekonomian, dan kesejahteraan rakyat.

Berbicara terkait resesi, apa sih yang dimaksud resesi?

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), resesi adalah suatu kondisi di mana perekonomian suatu negara sedang memburuk, yang terlihat dari produk domestik bruto (PDB) negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut. Sedangkan melansir Forbes, resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Apa sih faktor pemicu terjadinya resesi?

Beberapa faktor pemicu resesi ekonomi global yang dikhawatirkan akan terjadi tahun depan, yaitu:

  1. Pandemi Covid-19, walaupun sudah mulai mereda dan banyak negara yang telah membebaskan warganya untuk beraktivitas seperti biasa. Namun pada saat meluasnya wabah Covid-19 pada awal tahun 2020 sampai dengan awal tahun ini, aktivitas ekonomi global menurun drastis. Setiap negara lebih fokus untuk menangani Covid-19 dan menerapkan pembatasan aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi secara global pun mengalami kontraksi. Pada saat yang sama, banyak negara melakukan proteksi atas hasil pangan untuk mengantisipasi wabah Covid-19 yang berkepanjangan dan berakibat pada meningkatnya harga pangan karena kurangnya suplai. Indonesia juga sempat mengalami resesi ekonomi pada akhir tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.
  2. Perang Rusia-Ukraina yang berlangsung sejak bulan Februari lalu, telah menghilangkan PDB global hingga USD2,8 triliun. Perang Rusia- Ukraina mengganggu rantai pasok global sehingga menimbulkan krisis terutama di sektor pangan dan energi, yang pada akhirnya mengakselerasi laju inflasi. Perang Rusia-Ukraina merupakan factor utama penyebab terjadinya resesi ekonomi global yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2023 mendatang.
  3. Tingginya tingkat inflasi. Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2022, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan laju inflasi global mencapai 8,8% pada 2022 dan akan menurun pada tahun 2023 yaitu menjadi 6,5%. Inflasi Indonesia menurut Bank Indonesia diproyeksikan menurun dan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024. Menyikapi hal ini, beberapa negara sudah menarik insentif moneter dan fiskalnya sebagai upaya mengatasi risiko dari inflasi yang terus meningkat.
  4. Kenaikan suku bunga acuan. Bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga acuan sejak semester kedua tahun ini, seperti Bank of England dan the Federal Reserve (The Fed). Tekanan inflasi di negara Barat dan AS membuat bank sentral terus menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi. Demikian halnya kenaikan suku bunga acuan di negara-negara anggota G20 seperti Brasil, India, dan Indonesia. Selama tahun 2022 ini, Bank of England telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin. Sementara The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 basis poin. Merespons hal tersebut, Bank Indonesia ikut menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25% pada bulan November 2022. Kenaikan suku bunga acuan secara bersamaan yang dilakukan oleh bank-bank sentral di seluruh dunia akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan dapat menyebabkan terjadinya resesi ekonomi global.
  5. Penurunan permintaan global. Akhir-akhir ini perusahaan di banyak negara mulai mengurangi hasil produksinya karena permintaan global mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kelesuan ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara global akan berkontraksi.

Baca juga: Dampak Pandemi Terhadap Pembangunan Infrastruktur

Dampak resesi

Dari beberapa faktor pemicu diatas, resesi ekonomi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Selain karena meningkatnya harga-harga secara tajam sehingga menyebabkan ekonomi menjadi stagnan atau dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi, resesi ekonomi juga bisa terjadi karena turunnya harga-harga atau deflasi. Situasi ini disebut bisa membuat ekonomi tahun depan akan lebih gelap.

  1. Perlambatan ekonomi akan membuat sektor riil menahan kapasitas produksinya sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan sering terjadi bahkan beberapa perusahaan mungkin menutup dan tidak lagi beroperasi.
  2. Kinerja instrumen investasi akan mengalami penurunan sehingga investor cenderung menempatkan dananya pada bentuk investasi yang aman.
  3. Ekonomi yang semakin sulit pasti berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat karena mereka akan lebih selektif menggunakan uangnya dengan fokus pemenuhan kebutuhan terlebih dahulu.

Lalu, bagaimana dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia?

Setelah krisis ekonomi 1997-1998, pembangunan infrastruktur mengalami stagnasi, sehingga defisit infrastruktur melebar. Akselerasi pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir belum mampu menutup celah tersebut. Infrastruktur memegang peranan yang sangat penting sebagai lokomotif pembangunan untuk menggerakan roda pertumbuhan ekonomi.

Keberadaan infrastruktur akan mendorong peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi, memperlancar mobilitas penduduk, barang dan jasa, juga memperlancar perdagangan antar daerah. Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat penyediaan, kualitas pelayanan jasa serta efektivitas pengelolaan infrastruktur. Untuk itu, pembangunan infrastruktur tetap diperlukan.

Dalam situasi resesi di mana konsumsi melemah dan pelaku bisnis terancam bangkrut, belanja pemerintah berperan yang sangat krusial untuk menggerakkan perekonomian. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pembangunan infrastruktur akan sangat berpotensi memberikan kontribusi pada pemulihan ekonomi yang lebih kuat serta sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim. Selain itu, investasi pada infrastruktur yang baik yang dilakukan saat ini dapat membentuk perekonomian nasional, lingkungan, dan sosial dalam beberapa dekade. Menurutnya, pembangunan infrastruktur merupakan prioritas nasional di Indonesia. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan dasar dan untuk meningkatkan produktivitas serta daya saing.

Kesiapan Indonesia dalam menghadapi resesi

Kondisi perekonomian Indonesia dinilai masih kuat menghadapi gejolak ekonomi global yang mengarah pada resesi ekonomi. Potensi untuk bertahan menghadapi risiko terjadinya resesi ekonomi cukup besar karena ditopang oleh PDB yang masih positif serta tingkat inflasi yang relatif lebih rendah dibandingkan banyak negara lain.

Ancaman resesi ekonomi global terhadap Indonesia akan ditandai, antara lain:

  1. Permintaan ekspor produk  jadi  Indonesia seperti  tekstil dan  kerajinan  menurun, terutama dari AS, Eropa, dan Tiongkok;
  2. Penurunan harga beberapa komoditas minyak mentah, minyak sawit mentah (CPO), dan logam dasar;
  3. Kenaikan suku bunga di negara-negara maju yang menyebabkan aliran modal mengalir ke luar negeri;
  4. Pertumbuhan ekonomi melambat;
  5. Meningkatnya beban biaya usaha akibat depresiasi rupiah.

Ancaman akan terjadinya resesi ekonomi global ini perlu disikapi oleh pemerintah dengan melakukan langkah antisipatif untuk terus mendorong kinerja perekonomian nasional. Walaupun kinerja perekonomian nasional saat ini cukup positif, namun jika resesi ekonomi global benar-benar terjadi maka Indonesia diyakini akan terkena dampaknya dan dapat menyeret Indonesia ke dalam “jurang” resesi ekonomi tersebut.

Melihat kemungkinan tersebut, Pemerintah memerlukan perumusan kebijakan yang tepat terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Melihat segala keterbatasan yang dimiliki oleh kemampuan ekonomi nasional saat ini maka pembiayaan infrastruktur memerlukan terobosan inovasi investasi infrastruktur untuk memenuhi pendanaan infrastruktur supaya pengembangan infrastruktur dapat dilakukan percepatan.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan infrastruktur juga dibahas dalam agenda utama G20 investasi infrastruktur berkelanjutan (sustainable infrastructure investment). Agenda tersebut sejalan dengan prioritas Indonesia dalam G20 2022 menuju sustainable, inclusive, dan resilient recovery untuk mewujudkan “Recover Together, Recover Stronger”. Investasi infrastruktur berkelanjutan menjadi kunci utama dalam mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan berkelanjutan pascapandemi COVID-19. Kemampuan fiskal yang terbatas terutama pada negara berkembang menjadi tantangan utama dalam memenuhi gap kebutuhan infrastruktur berkelanjutan. Investasi pembangunan berkelanjutan memiliki masalah kesenjangan pembiayaan yang serius. Oleh karena itu dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta dan Bank Pembangunan Nasional dan Internasional. Beberapa masukan penting dalam dialog disorot oleh Menteri Keuangan diantaranya peningkatan kapasitas dalam Project Preparation, perlunya memastikan kualitas infrastruktur tersebut sejalan dengan prinsip Enviroment, Social Governance (ESG), serta pentingnya peningkatan kapasitas manajemen proyek infrastruktur.

Komitmen G20 di bawah Presidensi Indonesia tahun 2022 dalam investasi infrastruktur berkelanjutan adalah sebagai upaya G20 untuk menindaklanjuti 2021 Sustainable Finance Roadmap serta mengembangkan infrastruktur sebagai salah satu kelompok aset yang memiliki karakteristik investasi sehingga menarik bagi para investor. Hasil dari dialog ini diharapkan dapat menjadi input dalam penyelesaian deliverable pada agenda investasi infrastruktur berkelanjutan serta mampu memberikan sinyal positif kepada investor, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dan memobilisasi investasi sektor swasta ke dalam infrastruktur berkelanjutan.

 Ref:

  • Agus Rodani, “Kiat Mengatasi Laju Inflasi dan Ancaman Resesi Tahun 2023”, Kementerian Keuangan, 15 November 2022.
  • Brinkman Marcel, Sarma Vijay, “Infrastructure investing will never be the same”, McKinsey & Company, 1 Agustus 2022.
  • Guénette, Justin Damien, M. Ayhan Kose, and Naotaka Sugawara (2022). “Is a Global Recession Imminent?” Equitable Growth, Finance, and Institutions Policy Note No. 4, World Bank, Washington, DC.
  • McNeely Allison, “A Mild Recession Is Coming in 2023”, Bloomberg, 23 September 2022
  • “Risk of Global Recession in 2023 Rises Amid Simultaneous Rate Hikes”, World Bank Press Release No: 2022/015/EFI, Washington, 15 September 2022.
  • Rodeck David, “What Is A Recession”, Forbes, 4 Nov 2022.
  • Surya Ade, “Mewaspadai Ancaman Resesi Ekonomi Global”, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Oktober 2022, Vol. XIV.
  • Bi.go.id
  • Dpr.go.id
  • Ekonomibisnis.com
  • Setkab.go.id
  • Sikapiuangmu.ojk.go.id