Pendapatan Proyek sebagai Pemenuhan Availability Payment


Penulis: Ega Christy 
Pembimbing: Dina Irvina 

Infrastruktur merupakan fasilitas yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik (Perpres 38/2015)1. Melihat tujuan infrastruktur adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka pada hakikatnya sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah untuk menyediakan infrastruktur. Lebih lanjut, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Calderón, et al. (2004)2 terhadap lebih dari 100 negara, dalam kurun waktu 5 dekade (1960-2000), pembangunan infrastruktur terbukti memberi dampak kepada peningkatan ekonomi dan juga turut menurunkan ketimpangan pendapatan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur dipandang dapat menjadi salah satu solusi mengatasi kemiskinan dan meningkatan kesejahteraan suatu negara. 

Pendapatan Proyek

Secara historis, infrastruktur juga terbukti menjadi asset class yang paling resilien ketika krisis keuangan melanda, sehingga infrastruktur dipandang sebagai instrumen pembiayaan alternatif yang aman oleh investor (Gatti, 2019)3. Sejalan dengan hal tersebut, kebutuhan terhadap pembangunan infrastruktur juga meningkat. Global Infrastructure Hub (2020)4 memprediksi bahwa sampai dengan tahun 2040, secara global terdapat kebutuhan investasi infrastruktur sebsesar 94 triliun USD. Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan saat ini menjadi kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Tingginya kebutuhan infrastruktur di Indonesia tercermin dalam RPJMN 2020-2024 yang merencanakan kebutuhan investasi sebesar 6.445 triliun rupiah untuk pembangunan infrastruktur. 

Melihat kebutuhan investasi infrastruktur yang tinggi, Pemerintah menyadari pentingnya mengambil langkah-langkah yang komprehensif dalam rangka membentuk iklim investasi guna menghimpun keikutsertaan investor dalam penyediaan infrastruktur. Pemerintah, sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan publik melalui infrastruktur, membutuhkan pembiayaan investor untuk keberlangsungan pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, investor melihat bahwa infrastruktur merupakan instrumen investasi yang menguntungkan dan aman.  Keterkaitan yang telah terbentuk tersebut perlu dijaga agar di masa mendatang, investasi infrastruktur tetap dapat menjawab kebutuhan dari sisi investor maupun dari sisi Pemerintah.  

Perspektif investor menjadi hal yang penting untuk dipahami untuk membentuk iklim investasi yang mampu memberikan kenyamanan berinvestasi kepada investor. Menurut APMG Guidance (2016)5, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian investor ketika memutuskan untuk berinvestasi pada proyek infrastruktur, yaitu terpenuhinya seluruh aspek kelayakan proyek, termasuk pertimbangan mengenai aspek ekonomi-sosial, dan affordability proyek. Investor juga menjadikan komitmen Pemerintah sebagai dasar pertimbangan berinvestasi untuk menghindari risiko pelanggaran kontrak oleh Pemerintah. 

Upaya yang dapat dilakukan untuk menyakinkan investor mengenai komitmen Pemerintah, salah satunya dengan menerapkan skema pengembalian investasi government pay. Melalui government pay, Pemerintah dapat memberikan kepastian pengembalian investasi kepada investor, hal mana investor tidak perlu mengkhawatirkan risiko demand proyek, karena risiko tersebut akan menjadi risiko Pemerintah. Pada skema government pay, investor memperoleh aliran pendapatan dari pembayaran reguler yang dilakukan Pemerintah. Pembayaran oleh Pemerintah dilakukan berdasarkan terpenuhinya layanan yang diberikan oleh investor sebagaimana diatur dalam kontrak. Kepastian pengembalian investasi dengan government pay dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa elemen penting sebagai berikut (APMG, 2016): 

  1. Tidak adanya pembayaran yang dilakukan sampai dengan layanan dimulai, dan tidak ada pembayaran yang dilakukan sebelum layanan diserahkan. 
  2. Pembayaran yang dilakukan dalam satu kesatuan mencakup seluruh biaya investasi, tidak dipecah menjadi beberapa kategori sebagaimana yang diterapkan oleh investor. 
  3. Harus ada indeksasi pembayaran, baik pembayaran dilakukan tahunan atau per semester. 
  4. Adanya mekanisme pemberian sanksi atas kegagalan sebagian atau seluruh ketersediaan layanan melalui pemotongan pembayaran. 
  5. Pemerintah tidak dalam posisi untuk membayar layanan-layanan yang memang tidak tersedia. 
  6. Adanya mekanisme untuk menangani perubahan persyaratan layanan yang akan mempengaruhi mekanisme pembayaran. 
  7. Mungkin, diperlukan suatu mekanisme untuk menangani biaya-biaya yang melewati biaya barang, jasa, atau bahan habis pakai ketika Pemerintah mempunyai kendali lebih atas penggunaannya (atau ketika penggunaannya bergantung pada permintaan layanan dan di luar kendali mitra swasta) dan jika tidak tepat untuk menempatkan risiko dan biaya tersebut pada pihak swasta. 
  8. Adanya biaya-biaya lain yang tidak terkait dengan penyediaan dan pemeliharaan aset, namun lebih mengarah kepada penyediaan layanan, yang dikategorikan sebagai soft service, hal mana perlu ditentukan juga mekanisme pembayarannya. 

Pada praktiknya, government pay telah diterapkan di Indonesia, dalam bentuk Pembayaran Ketersediaan Layanan, atau yang dikenal dengan Availability Payment (AP), sebagai salah satu mekanisme pengembalian investasi untuk proyek KPBU. AP merupakan pembayaran secara berkala oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah kepada Badan Usaha Pelaksana (BUP) atas tersedianya layanan Infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian KPBU (PMK 260/2016)6. 

Tata cara AP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260 Tahun 2016. Pengembalian investasi dalam bentuk AP digunakan pada proyek KPBU yang memenuhi kriteria sebagai berikut (PMK 260/2016, Pasal 5): 

  1. Proyek infrastruktur ekonomi maupun sosial yang memiliki manfaat besar bagi masyarakat selaku pengguna layanan; 
  2. Proyek infrastruktur sebagaimana poin 1 yang pengembalian investasinya tidak bersumber dari pembayaran oleh pengguna atas tarif layanan yang besarannya ditetapkan oleh Pemerintah; 
  3. Dalam hal proyek KPBU mendapatkan pemasukan dari pembayaran oleh pengguna atas tarif layanan sebagaimana dimaksud poin 2, maka Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK) tidak dapat memperhitungkan jumlah pemasukan dari pembayaran pengguna layanan tersebut untuk melaksanakan pembayaran AP kepada BUP; 
  4. Proyek yang pengadaan BUPnya dilakukan melalui tahapan pemilihan yang adil, terbuka, dan transparan, serta memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. 

Lantas, apakah pada akhirnya, AP membebani APBN? Perlu diingat kembali, bahwa penyediaan infrastruktur merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah. Dengan menggunakan skema AP, Pemerintah sebenarnya diuntungkan dengan penjelasan sebagai berikut: 

  1. Pemerintah tidak menggunakan dananya terlebih dahulu untuk membangun infrastruktur tetapi menggunakan dana BUP. 
  2. Setelah infrastruktur tersedia, lalu beroperasi memberikan layanan, baru ada kewajiban pemerintah membayar.  
  3. Dengan beroperasinya infrastruktur, Pemerintah telah dapat melayani masyarakat, sehingga diharapkan bisa menjadi pengungkit bagi kegiatan ekonomi dan pembangunan di daerah tersebut. 
  4. Dari proses di atas, dapat kita simpulkan, walaupun AP berasal dari dana Pemerintah, tetapi Pemerintah diuntungkan dengan: 
  • Adanya dana pihak ketiga yang bisa terlebih dahulu dimanfaatkan sehingga pemerintah bisa mentransfer risiko bahwa proyek tidak jadi terbangun atau salah terbangun. 
  • Pemerintah mendapatkan manfaat tersedianya infrastruktur lebih dahulu dari pada kewajiban membayar. 
  • Dengan adanya infrastruktur lebih dahulu, pemerintah mengambil keuntungan dari meningkatnya kegiatan ekonomi di daerah tersebut yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kapasitas pemerintah dalam membayar AP. 

Di luar keuntungan tersebut, perlu diakui, bahwa pelaksanaan AP baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mendapat tantangan dari internal Pemerintah sendiri. Salah satunya adalah kekhawatiran bahwa komitmen pembayaran AP akan menggerus anggaran Pemerintah sehingga mengalami defisit untuk membiayai kegiatan operasional lainnya. Di sisi lain, ditemukan banyak potensi pendapatan (misalnya pengenaan tarif atau harga jual) dari layanan infrastruktur yang disediakan kepada masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk membayar AP, namun terkendala interpretasi dari peraturan PMK 260/2016 pasal 5 ayat 3 yang berbunyi “Dalam hal proyek KPBU mendapatkan pemasukan dari pembayaran oleh pengguna atas tarif layanan sebagaimana dimaksud poin 2, maka PJPK tidak dapat memperhitungkan jumlah pemasukan dari pembayaran pengguna layanan tersebut untuk melaksanakan pembayaran AP kepada Badan Usaha”.  

Sejatinya pengaturan tersebut, tidak dimaksudkan bahwa pemerintah tidak bisa memanfaatkan pendapatan proyek untuk membayar AP, tetapi yang dicegah adalah agar Pemerintah, dalam hal ini PJPK, tidak membatasi kemampuan bayar AP hanya berasal dari pendapatan proyek tersebut. Lebih lanjut, dipahami bahwa pendapatan proyek sudah diatur penerimaannya dan penggunaannya selama ini, misalnya diperlakukan sebagai PNBP. 

Untuk menjawab kebutuhan penggunaan pendapatan proyek tersebut, saat ini Kementerian Keuangan tengah mengkaji mengenai penggunaan rekening yang dapat menampung dana pembayaran AP hal mana peruntukkannya sudah lebih dulu di-earmark yaitu untuk keberlangsungan proyek. Sehingga ketersediaan dana dan keyakinan BUP atas pengembalian investasinya tetap terjaga. Rekening tersebut akan menampung dana yang diperoleh dari pendapatan proyek dan yang bersumber dari DIPA PJPK untuk memenuhi pembayaran AP kepada BUP. Dana yang telah terkumpul dalam rekening tersebut akan ditransfer kepada BUP senilai besaran AP yang telah disepakati dalam Perjanjian KPBU berdasarkan ketersediaan layanan proyek. 

Berdasarkan kajian dan simulasi yang telah dilakukan, kebijakan memanfaatkan pendapatan proyek untuk membayar AP, dapat memberi dampak pada posisi defisit APBN. Pendapatan proyek yang dapat digunakan untuk memenuhi pembayaran AP akan mengurangi belanja wajib AP yang berasal dari DIPA PJPK. Berkurangnya belanja wajib akan meminimalkan defisit APBN, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pembiayaan yang lebih kecil. Pemenuhan pembayaran AP yang bersumber dari pendapatan proyek tidak berarti bahwa demand risk proyek beralih dari PJPK ke BUP. Adapun simulasi dampak kebijakan tersebut terhadap APBN digambarkan melalui tabel berikut: 

 

Kebijakan mengenai mekanisme pemanfaatan pendapatan proyek untuk pembayaran AP akan dituangkan dalam regulasi, yang saat ini sedang dalam proses penyusunan. Regulasi tersebut nantinya akan mengatur pembayaran AP yang tidak hanya bersumber dari DIPA PJPK namun dapat bersumber dari pendapatan proyek itu sendiri. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fiskal PJPK dan juga menjaga kesinambungan fiskal APBN. Di tengah tingginya dan mendesaknya kebutuhan penyediaan infrastruktur, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung terpenuhinya kebutuhan infrastruktur yang memadai di Indonesia dalam memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat. 

 

Referensi: 

  1. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. 
  2. Calderón, César & Servén, Luis. (2004). The Effects of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution 
  3. Gatti, Stefano. (2019). The Future of Infrastructure Investment. 
  4. Global Infrastructure Hub. (2017). Global Infrastructure Outlook: Infrastructure Investment Needs.  
  5. APMG International. (2016). The APMG Public-Private Partnership (PPP) Certification Guide. 
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pembayaran Ketersediaan Layanan pada Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur. 

Diterbitkan pada 8 November 2023

Tags