SDGs, ESG dan Infrastruktur


Ketidakpastian kondisi dunia sejak awal tahun 2020 akibat penyebaran virus Covid-19 telah menyadarkan semua pihak mengenai pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) disetiap aspek kehidupan manusia. Pandemi yang tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, tetapi juga sudah menjalar ke krisis sosial, ekonomi dan keuangan. Pembangunan yang dilakukan secara masif setidaknya dalam dua dekade terakhir disinyalir telah mengabaikan prinsip-prinsip yang mengedepankan kelestarian lingkungan, hingga berdampak pada terjadinya pandemi global. Atas situasi ini, recampaign atas pemenuhan komitmen dan upaya negara-negara dunia untuk mencapai target sustainable development goals (SDGs) menjadi hal yang sangat relevan dan layak diperjuangkan. SDGs merupakan kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.

SDG

Logo SDG

Baca juga: Dampak Pandemi Terhadap Pembangunan Infrastruktur

Dalam mencapai SDGs, salah satu standar yang sering digunakan sebagai parameter dalam pelaksanaan pembangunan adalah standar Environmental, Social and Governance (ESG). Dalam tulisan Alijoyo, A. (2019, Juli 25) standar ESG didefinisikan sebagai konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan/investasi/bisnis yang berkelanjutan dengan tiga faktor utama, yaitu lingkungan, sosial dan tata kelola. Segala bentuk aktivitas maupun pengambilan keputusan hendaknya dapat menerapkan secara penuh prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial dan tata kelola yang baik. Unsur ESG setidaknya meliputi unsur berikut:

1. Faktor lingkungan

  • Penggunaan energi ramah lingkungan;
  • Pengelolaan limbah agar tidak menjadi polutan;
  • Partisipasi dalam konservasi sumber daya alam tak tergantikan;
  • Perlakuan wajar terhadap binatang yang tidak semena-mena; dan
  • Penerapan sistem manajemen risiko yang efektif dalam pengelolaan risiko lingkungan.

2. Faktor sosial

  • Pemilihan pemasok yang juga memiliki kebijakan dan praktik ESG;
  • Keterlibatan organisasi dalam pembangunan komunitas baik dalam bentuk persentase laba dan/atau kerja sukarela para karyawan bagi komunitas;
  • Kepastian lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi karyawan;
  • Kepastian untuk mempertimbangan masukan dan harapan pemangku kepentingan terhadap organisasi.

3. Faktor tata kelola

  • Penggunaan metode akuntansi yang sesuai dengan standar yang diharuskan;
  • Kepastian bahwa semua pihak terkait diberikan kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan suara untuk keputusan mengenai isu yang penting bagi negara;
  • Kepastian tidak adanya kontribusi politik untuk memperoleh perlakuan istimewa dari penerima kontribusi;
  • Kepastian tidak terlibat dalam kegiatan ilegal.

Mengutip artikel dalam halaman investor.id[1], Prof. Roy Sembel – Guru Besar IPMI International Business School menyatakan bahwa penerapan ESG dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja bisnis dan keberlanjutan suatu perusahaan bahkan hasil penelitian Oxford membuktikan bahwa implementasi ESG mampu meningkatkan kinerja bisnis perusahaan hingga 88% dan membuat harga saham emiten perusahaan bertumbuh sebesar 80%. Selanjutnya, Prof Roy juga mengutip riset Nasdaq yang menunjukkan bahwa program ESG akan membuka akses modal yang besar bagi perusahaan dan memberikan dampak terhadap brand perusahaan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Implementasi standar ESG di Indonesia ternyata cukup memprihatinkan. Berdasarkan pemeringkatan Corporate Knights, Indonesia menempati peringkat ke-36 di dunia. Posisi ini berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina di posisi ke-30, Malaysia ke-22, dan bahkan Thailand sudah menduduki peringkat ke-9. Masih dikutip dari laman investor.id*), Deni Daruri, Founder Bumi Global Karbon Foundation menyatakan bahwa pelaksanaan ESG di negara-negara lain lebih baik karena adanya dukungan yang konkret dari regulator serta tersedianya berbagai insentif, termasuk insentif pajak.

Indonesia, sebagai negara berkembang yang mencoba keluar dari middle income trap, dapat memanfaatkan situasi pandemi sebagai momentum untuk mengakselerasi penerapan ESG dalam berbagai aspek pembangunan, salah satunya pembangunan infrastruktur. Dorongan untuk mengimplementasikan ESG dalam proyek infrastruktur bukan semata sebagai upaya global untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), namun juga karena adanya potensi untuk menarik lebih banyak socially responsible investor (SRI) untuk menutup gap kebutuhan financing pembangunan infrastruktur nasional sebesar Rp.2,7 triliun. Di sisi lain, hasil study World Bank dalam beberapa proyek infrastruktur menunjukkan bahwa penerapan standar ESG pada tahapan perencanaan proyek dapat mempercepat proses pelaksanaan/konstruksi proyek, mengingat unsur ESG merupakan risk mitigation tools proyek itu sendiri.

Dalam proyek infrastruktur Kementerian Keuangan yang menggunakan skema KPBU, unsur ESG sendiri secara prinsip sudah terimplementasi melalui kajian-kajian dalam dokumen Prastudi Kelayakan Proyek, seperti unsur lingkungan dan sosial melalui pemenuhan AMDAL proyek dan unsur tata kelola melalui kajian legal. Lebih lanjut, pelaksanaan penyiapan proyek KPBU di tahun 2021 ini juga sudah memasukkan unsur-unsur Quality Infrastructure Investment (QII) yang dipromosikan dalam forum G20. Keberadaaan lembaga pembiayaan multilateral dalam proyek KPBU dapat menjadi cerminan bahwa proyek KPBU dimaksud telah comply dengan prinsip ESG melalui kontribusi pembiayaan lembaga tersebut.

Meskipun ESG sudah terimplementas secara implisit dalam proyek KPBU, Menteri Keuangan tetap mendorong agar standar ESG ini dapat diterapkan secara lebih luas dalam produk-produk layanan yang dihasilkan/disediakan oleh Kementerian Keuangan. Dalam rangka menghindari penerapan ESG dalam proyek infrastruktur Pemerintah sebagai mengikuti ‘trend’ semata, perlu didefinisikan secara jelas kebutuhan dan cara penerapan yang applicable pada konteks dan kondisi Indonesia. Beberapa kekhawatiran yang perlu menjadi catatan dalam penerapan ESG antara lain adalah adanya potensi menambah waktu penyiapan proyek, menambah biaya penyiapan proyek, serta menambah permintaan kontribusi/dukungan Pemerintah Pusat dalam proyek, terutama dalam pemenuhan standar internasional.

Ke depannya, Kementerian Keuangan c.q. DJPPR akan berupaya untuk menyusun kerangka implementasi ESG khususnya produk dukungan pemerintah untuk proyek infrastruktur melalui kolaborasi dengan Special Mission Vehicle (SMV) Kemenkeu maupun dengan pihak eksternal seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pihak-pihak terkait lainnya. Saat ini, DJPPR sendiri telah memiliki pengalaman mengimplementasikan standar ESG dalam proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Negara.


[1] (Alfaruq, Nabil (2021, March 30) Accessed from https://investor.id/market-and-corporate/indonesia-tertinggal-di-bidang-esg