Penjaminan Infrastruktur sebagai Instrumen Ring Fencing APBN


Oleh: Anggi Putri, Ega Christy, Herlina Oktavianti

Kebutuhan pembangunan infrastruktur yang tidak hanya sekedar ada secara fisik, namun juga menyediakan kualitas yang efektif dan efisien mendesak pemerintah untuk lebih memanfaatkan skema pembiayaan KPBU. Partisipasi swasta dalam infrastruktur diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik sehingga dapat mewujudkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Untuk dapat mendorong keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur serta menyukseskan skema KPBU, pemerintah hadir dengan menyediakan dukungan pemerintah berupa penjaminan.

Ring Fencing APBN

Ilustrasi Infrastruktur

Pada dasarnya penjaminan pemerintah untuk proyek infrastruktur KPBU diberikan untuk mengurangi risiko-risiko yang dapat menjadi penghambat partisipasi pembiayaan dari swasta sehingga dapat dikatakan bahwa penjaminan infrastruktur disediakan untuk memberikan kenyamanan kepada investor dalam menanamkan modalnya. Di sisi lain, penjaminan pemerintah juga secara hukum mengikat pemerintah untuk melaksanakan kewajiban apabila ketidakpastian yang dijamin terjadi[1]. Kewajiban inilah yang dimaksud dengan kewajiban kontinjensi atau menurut PSAP 09 didefinisikan sebagai kewajiban potensial yang timbul dari kejadian masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa atau lebih pada masa datang. APBN akan menanggung risiko fiskal yang tidak sedikit apabila pemerintah tidak dapat menyediakan provisi untuk memenuhi eksposur dari kewajiban kontinjensi tersebut[2].

Baca juga: Penjaminan Pemerintah sebagai bentuk Credit Enhancing Product untuk Proyek Infrastruktur Skema KPBU

Pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur dengan melibatkan partisipasi sektor swasta, namun di sisi lain juga ingin terus menjaga kesinambungan fiskal. Untuk itu, pemerintah mengembangkan kerangka kerja pengelolaan penjaminan infrastruktur guna menjaga keduanya bisa berjalan beriringan. Salah satu bagian penting dari kerangka tersebut adalah pendirian Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) sesuai Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan BUPI.

Setidaknya terdapat dua fungsi utama dibentuknya BUPI yaitu untuk meningkatkan kelayakan kredit (credit worthiness) proyek infrastruktur sebagai upaya mendorong partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur serta untuk melindungi APBN dari kejutan yang dapat muncul akibat terjadinya pembayaran klaim atas risiko infrastruktur yang terjadi (ring fence). Dengan fungsi ring fence ini, diharapkan APBN dapat fokus menjalankan tugas sesuai dengan rencana kerja dan program yang telah disepakati antara pemerintah dengan legislatif, sementara BUPI fokus pada pengelolaan penjaminan yang terukur dan prudent dengan berorientasi pada keberlanjutan fiskal. Agar semakin mampu memperkuat fungsi ring fence dari APBN, BUPI perlu memperkuat dirinya sendiri melalui upaya peningkatan kemampuan sebagai berikut:

Penerapan prinsip alokasi dan mitigasi risiko

Dalam menjalankan fungsinya sebagai ring fencing APBN, BUPI sendiri pun harus dapat memperkuat keberadaan dan kinerjanya menerapkan prinsip alokasi risiko dan manajemen (mitigasi) risiko. Alokasi risiko harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan pihak-pihak yang paling mampu mengelola risiko infrastruktur yang ada. Seperti yang diamanatkan dalam Perpres 78/2010, BUPI harus memastikan bahwa alokasi risiko dalam rancangan Perjanjian KPBU telah sejalan dengan Prinsip Alokasi Risiko. Penerapan prinsip alokasi risiko juga harus dilaksanakan bersamaan dengan manajemen (mitigasi) risiko. Alokasi risiko harus dibangun dengan mempertimbangkan tiga hal yaitu, monitoring, manajemen risiko, dan penerapan fee penjaminan.

Monitoring, manajemen risiko, dan penerapan fee penjaminan saling berkaitan satu dengan lainnya, oleh karenanya agar ketiga hal tersebut dapat berjalan dengan baik maka terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi BUPI dalam pelaksanaannya. Monitoring dilakukan agar penilaian risiko-risiko yang dijamin dapat dilakukan dengan aktual. BUPI harus menjamin tersedianya prosedur monitoring yang memadai dan sumber daya yang melaksanakan monitoring. Selain itu dalam hal manajemen risiko, BUPI juga harus dapat memastikan tersedianya prosedur manajemen risiko dan terlaksananya prosedur tersebut oleh pihak terjamin (dhi. PJPK). BUPI juga harus memiliki sumber daya yang memadai dalam menjalankan prosedur manajemen risiko tersebut. BUPI dapat menetapkan pembatasan-pembatasan ataupun persyaratan kepada terjamin untuk memastikan bahwa risiko yang dijamin dapat dikendalikan.

BUPI juga harus mempertimbangkan penerapan fee penjaminan dengan seksama. Adanya fee penjaminan bertujuan untuk menunjukan bahwa penjaminan diberikan dengan sumber daya yang terbatas sehingga pada pelaksanaannya akan memprioritaskan pihak yang paling menghargai penjaminan. Dengan begitu diharapkan pihak terjamin dapat meningkatkan kualitas manajemen risikonya. Besarnya fee penjaminan bergantung pada nilai risiko dan ketersediaan manajemen risiko. Risiko yang tinggi dapat menjadi risiko yang sedang bahkan kecil apabila kualitas manajemen risikonya tinggi. Manajemen risiko yang baik berpengaruh terhadap penurunan risiko sehingga eksposur risiko bagi penjamin menjadi lebih rendah dan expected loss bagi penjamin menjadi lebih kecil, dengan begitu fee penjaminan yang wajar juga menjadi lebih kecil.

Fee penjaminan yang wajar merupakan besaran fee penjaminan yang apabila dihitung dengan present value hasilnya akan sama dengan besarnya expected loss saat ini. Pada saat fee yang ditetapkan lebih tinggi dari present valuenya, maka terdapat subsidi yang akan diterima oleh pihak yang membayar fee penjaminan. Tapi apabila present value fee penjaminan lebih besar dari fee penjaminan maka fee tersebut dapat dikatakan overpriced. Penetapan fee penjaminan kepada PJPK tidak harus berdasarkan besarnya fee penjaminan yang wajar tersebut. BUPI dapat menetapkan fee yang seragam bagi setiap PJPK. Namun penetapan fee penjaminan yang seragam tidak menimbulkan insentif bagi PJPK untuk meningkatkan kualitas pengelolaan risikonya.

Pelaksanaan manajemen risiko yang baik dibarengi dengan monitoring risiko yang terjamin akan berpengaruh terhadap penurunan risiko sehingga semakin kecil pula eksposur risiko bagi BUPI. Oleh karena itu, penting bagi BUPI untuk dapat menerapkan prinsip alokasi risiko dan menjalankan manajemen risiko dengan tepat agar fungsi BUPI ring fencing APBN dapat terlaksana.

Provisi kewajiban kontinjen

Kewajiban kontinjensi dapat dikatakan sebagai suatu konsekuensi dari pemberian penjaminan infrastruktur yang perlu untuk dikelola oleh pemerintah dhi. melalui BUPI sebagai pelaksana single window policy. BUPI dengan fleksibilitasnya dalam mengelola anggaran diharapkan mampu mencadangkan kewajiban kontinjensi yang lebih baik daripada pemerintah dengan menerapkan pengelolaan kewajiban kontinjensi berbasis dinamika risiko. Besaran cadangan kewajiban kontinjensi yang diperlukan tergantung pada besaran kerugian (loss) akibat kejadian risiko tertentu atau biasa disebut eksposur risiko. Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah analisis yang perlu untuk dijadikan acuan baik oleh pemerintah maupun BUPI dalam penilaian eksposur dan kewajiban kontinjensi dari penjaminan infrastruktur sebagai berikut[3]:

1. Identifikasi risiko infrastruktur yang dijamin

Tahap pertama ini meliputi pemeriksaan atas perjanjian penjaminan untuk mengidentifikasi risiko infrastruktur yang mendapat penjaminan.

2. Identifikasi definisi risiko infrastruktur dan peristiwa kompensasi oleh PJPK

Tahap kedua adalah mengidentifikasi definisi risiko infrastruktur dalam perjanjian KPBU termasuk pengaturan kompensasi finansial yang harus dibayarkan oleh PJPK kepada BUP (Badan Usaha Pelaksana) apabila risiko infrastruktur benar terjadi. Pengaturan kompensasi finansial ini mencakup formula kompensasi finansial dan mekanisme pembayaran kompensasi tersebut.

3. Menyiapkan model keuangan badan usaha

Model keuangan badan usaha disiapkan sebagai tool untuk menghitung dampak terjadinya risiko infrastruktur yang dijamin pada kinerja badan usaha dengan menghubungkan input dan output dalam model dimaksud.

4. Membuat model risiko

Berdasarkan hasil identifikasi definisi risiko infrastruktur yang dijamin, dibuatlah model risiko yang dikaitkan dengan perilaku faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya risiko dimaksud. Untuk memperoleh data perilaku faktor risiko, dapat menggunakan pendekatan empiris maupun expert judgement.

5. Membuat transmisi risiko dalam model keuangan

Setelah disusun model keuangan badan usaha dan model risiko, langkah selanjutnya adalah membuat transmisi dengan menghubungkan peristiwa risiko dengan variabel-variabel antara dalam model keuangan sehingga perubahan pada model risiko dapat dilihat pengaruhnya dalam output model keuangan.

6. Menghitung eksposur risiko infrastruktur

Menghitung eksposur risiko pada kelayakan finansial dan/atau kelayakan kredit bahan usaha dilakukan dengan menilai pengaruh model risiko terhadap output yang dihasilkan pada model keuangan. Sebagai contoh, eksposur risiko keterlambatan pengadaan tanah oleh pemerintah dapat dinilai dari perubahan besaran NPV. Dari penghitungan ini, dapat diperoleh expected and unexpected loss bagi badan usaha.

7. Menghitung pengaruh kompensasi finansial pada pengurangan eksposur risiko

Kompensasi finansial oleh PJPK selaku primary obligor bertujuan untuk menghilangkan/menetralkan eksposur risiko sehingga output dari model keuangan (seperti NPV) dapat kembali pada posisi semula apabila tidak terjadi peristiwa risiko dimaksud.

8. Mengestimasi probabilitas PJPK membayar kompensasi finansial

Keterbatasan dalam alokasi anggaran dapat mengakibatkan PJPK tidak mampu membayar kompensasi finansial sehingga kewajiban kontinjensi PJPK beralih pada secondary obligor atau BUPI.

9. Menghitung kewajiban kontinjensi

Kewajiban kontinjensi yang diukur berdasarkan nilai eksposur risiko setelah mempertimbangkan pengaruh kompensasi finansial dan probabilitas PJPK membayar finansial merupakan besaran yang dinamis seiring perubahan pada dinamika perilaku faktor-faktor risiko sehingga fungsi pemantauan dan ketersediaan manajemen risiko menjadi hal yang krusial dalam penghitungan kewajiban kontinjensi. Kewajiban kontinjen dari tiap-tiap risiko infrastruktur akan menghasilkan kewajiban kontinjensi total bagi penjamin setelah mempertimbangkan korelasi antar risiko-risiko tersebut.

10. Menghitung pencadangan

Besarnya cadangan untuk menghadapi kewajiban kontinjensi tergantung pada risk aversion dari penjamin. Penjamin dapat mencadangkan sesuai dengan expected loss atau ditambah dengan unexpected loss hingga tingkat kepercayaan tertentu.

Pencadangan terhadap kewajiban kontijensi memastikan kesiapan penjamin untuk membayar kompensasi apabila terjadi klaim penjaminan. Sebagai bentuk ring fencing APBN dari penjaminan infrastruktur, pengukuran dan pencadangan terhadap kewajiban kontinjensi ini perlu dicatat dan dilaporkan oleh BUPI dalam operasi akuntansinya. Metode pencatatan off-balance sheet dapat digunakan untuk mencatat penghitungan dan pencadangan kewajiban kontinjensi sehingga dapat ditentukan kapasitas penjaminan dari penjamin. Opsi kedua adalah on balance sheet dengan menyamakan penjaminan infrastruktur dengan produk asuransi atau produk derivatif berupa put option guna mengakomodir batasan ketentuan akuntansi untuk keterjadian risiko yang kecil. Penerapan salah satu metode tersebut dapat memperbaiki cara pandang terhadap kapasitas penjaminan BUPI yang lebih didasarkan pada dinamika risiko dibandingkan penentuan dengan gearing ratio seperti yang saat ini berlaku.

Akses likuiditas pasar dan kerjasama penjaminan

Meskipun BUPI dapat melaksanakan Penjaminan Infrastruktur secara bersama-sama dengan Menteri Keuangan, namun merujuk pada Pasal 4 PMK 260/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha disebutkan bahwa pelaksanaan penjaminan infrastruktur diutamakan seoptimal mungkin dengan cara Penjaminan BUPI. Bahkan terdapat ruang bagi BUPI untuk mengoptimalkan penjaminan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan multilateral atau pihak lain yang memiliki maksud dan tujuan yang sejenis. Kerjasama ini diharapkan dapat berbentuk risk sharing sehingga total risiko yang dialokasikan kepada BUPI dan/atau Kementerian Keuangan dapat berkurang. Total risiko tersebut baik terkait besaran maupun waktu pembayaran kompensasi.

Selain melakukan manajemen risiko dan pencadangan dana kewajiban kontinjensi, BUPI juga dapat melakukan pengalihan piutang regres kepada pelaku pasar untuk memulihkan kekayaannya kembali. BUP dapat mengajukan klaim kepada PJPK atas keterjadian risiko infrastruktur yang mengganggu kelayakan finansial proyek. Dalam hal PJPK tidak dapat membayar klaim dimaksud, BUPI selaku Penjamin dapat melakukan pembayaran klaim dimaksud. Sebagaimana arrangement pemberian penjaminan hal mana terdapat mekanisme regres kepada PJPK jika BUPI melakukan pembayaran klaim, BUPI selaku Penjamin berhak atas pembayaran regres dari PJPK atau dengan kata lain PJPK harus membayar kembali jumlah uang yang dibayarkan oleh BUPI kepada BUP. Hak ini dinamakan piutang regres.

BUPI yang berbentuk BUMN memiliki fleksibilitas untuk mengatur keuangannya guna mendukung kegiatan operasional perusahaan, termasuk pengelolaan dana cadangan kewajiban kontinjensi. Dalam rangka memperlancar arus kas perusahaan, BUPI dapat memiliki opsi untuk melakukan anjak piutang (factoring) regres ke pelaku pasar dalam keputusan keuangan perusahaannya. Hal ini merupakan praktik yang biasa dilakukan di dunia bisnis dan keuangan. Dengan melakukan factoring piutang regres, BUPI dapat memperoleh kas “tambahan” sehingga mengurangi kebutuhan BUPI untuk segera mendapatkan likuiditas dari Menteri Keuangan.

Simpulan

Penciptaan mekanisme guarantee fund yang dilakukan oleh entitas terpisah dari Kementerian Keuangan memiliki tujuan utama sebagai ring fence yang diharapkan dapat menjadi shock breaker bagi APBN sehingga setiap strategi BUPI harus selalu dilekatkan dengan upaya pencapaian tujuan dimaksud. Peran utama sebagai risk manager pemerintah meliputi bagaimana risiko infrastruktur yang dijamin dapat dikelola dengan memperhatikan teori manajemen risiko yang diterima umum dan bagaimana manajemen risiko dimaksud dapat direfleksikan ke dalam strategi pencadangan kewajiban kontinjensi sebagai langkah antisipasi jika terjadi klaim.

BUPI merupakan ujung tombak dan bertanggung jawab dalam manajemen risiko infrastruktur yang dijamin dan dialokasikan kepada  PJPK. Dengan menyediakan panduan alokasi risiko beserta usulan langkah mitigasinya diharapkan dapat menjadi transfer knowledge bagi PJPK untuk terus memperbaiki mekanisme manajemen risikonya. Oleh karena itu, BUPI tidak bisa hanya berfokus pada pengelolaan risiko gagal bayar PJPK saja karena hal tersebut hanya bentuk tata kelola perusahaan dan tanggung jawab kepada internal perusahaan, sedangkan pembentukkan BUPI sebagai risk manager Pemerintah harus dikembalikan pada harfiahnya, yaitu pengelola risiko infrastruktur yang dijamin.

Terdapat konsekuensi yang harus dijaga dari pemberian penjaminan, yaitu pengelolaan kewajiban kontinjensi. Kewajiban kontinjensi merupakan besaran yang dinamis dan berubah seiring perubahan pada dinamika perilaku faktor-faktor risiko sehingga penilaian eksposur dan kewajiban kontinjensi perlu dilakukan berdasarkan dinamika tersebut termasuk hasil pemantauan dan manajemen risiko PJPK. Dengan pengukuran dan pelaporan cadangan kewajiban kontinjensi yang akuntabel, penjaminan infrastruktur dinilai lebih terpercaya karena mampu menggambarkan kesiapan penjamin.

Lebih lanjut, BUPI perlu meng-exercise kesempatan yang diberikan berdasarkan PMK 260/2010 untuk bekerjasama dengan lembaga keuangan multilateral atau pihak lainnya untuk mengurangi ketergantungan kepada Penyertaan Modal Negara dari Kementerian Keuangan. Kesempatan dan peluang sebagaimana diatur dalam PMK 260/2010 merupakan bentuk harapan Kementerian Keuangan kepada BUPI untuk secara profesional mengelola peran yang disematkan untuk mencapai tujuan ring fence terhadap APBN.

 

Referensi:

  1. [1] Hemming, Richard. (2006). Public-Private Partnerships. Presented at the high-level seminar: Realizing the Potential for Profitable Investment in Africa Organized by the IMF Institute and the Joint Africa Institute.
  2. [2] Castalia. (2007). Guarantee Fund – A Tool for Managing Government Risks in Indonesia’s Infrastructure PPPs. Report to The World Bank.
  3. [3] Utarja, Bely. (2021). Dinamika Eksposur Dari Penjaminan Pemerintah dan Dana Kontinjen. Laporan kepada Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur.