Infrastruktur Alat Penerangan Jalan Daerah


Oleh: Arif Arfanda

Alat Penerangan Jalan secara umum

Indonesia, seperti yang telah dimandatkan dalam Paris Agreement Article 4.19, memformulasikan strategi jangka panjang terkait pengelolaan emisi gas rumah kaca rendah hingga tahun 2050. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara sukarela (Unconditional Reduction) dengan target sebesar 26% hingga tahun 2020  kemudian meningkat menjadi 29% dari tahun 2020—2030 dan pengurangan sebesar 41% untuk target Conditional Reduction dalam skenario “Business as Usual” atau skenario normal.

Salah satu infrastruktur yang ditujukan mendukung program pengurangan emisi dan konservasi energi adalah Alat Penerangan Jalan (APJ). Konservasi energi pada infrastruktur APJ dilakukan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, dalam hal ini pemakaian energi listrik yang sejalan dengan pengurangan emisi yang dihasilkan. Efisiensi yang dilakukan berkaitan dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 13 tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air dimana terdapat kebijakan penghematan sebesar 20% terhadap tenaga listrik. Terkait dengan penggunaan KPBU untuk proyek APJ, hal ini diatur pada Permen PPN No. 2 tahun 2020 Pasal 3 ayat K dimana infrastruktur konservasi energi yang dapat dikerjasamakan dengan skema KPBU adalah penerangan jalan umum dan/atau efisiensi energi.

APJ Alat Penerangan Jalan

ilustrasi Alat Penerangan Jalan

Selain menjadi infrastruktur yang berada dalam sektor konservasi energi, APJ juga berperan dalam perkembangan suatu daerah baik dari sisi ekonomi maupun keselamatan publik. Infrastruktur APJ yang baik memungkinkan kegiatan ekonomi berjalan mulai dari waktu yang sedini mungkin dan selesai di waktu yang seakhir mungkin. Penerangan APJ yang baik juga akan berperan dalam penurunan tingkat kejahatan di waktu malam dan menurunkan risiko kecelakaan akibat kurangnya visibilitas jalanan dan lingkungan.

Dalam perencanaan proyek APJ, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi energi/penggunaan listrik antara lain dengan menggunakan lampu hemat energi, melakukan meterisasi APJ (berupa kWh meter), dan penggunaan smart lighting system sebagai pengaturan dan kontrol status Alat Penerangan Jalan secara keseluruhan.

Menurut Permenhub No. 27 tahun 2018 jenis lampu yang digunakan dalam infrastruktur ini paling sedikit menggunakan Light Emitting Diode (LED), High Pressure Discharge Lamp, atau Low-Pressure Discharge. Penggunaan lampu bohlam yang masih banyak dilakukan di beberapa daerah menyebabkan konsumsi listrik menjadi tinggi. Selain itu, lampu LED memiliki kemampuan peredupan (dimming), yakni pengurangan penggunaan daya hingga 50% tanpa mengorbankan terlalu banyak tingkat cahaya yang dihasilkan (bila dibandingkan dengan lampu High Intensity Discharge). Dimming berguna untuk mengurangi konsumsi daya pada waktu-waktu tertentu seperti tengah malam ketika aktivitas warga mulai berkurang.

Meterisasi digunakan untuk mengganti sistem abonemen yang masih digunakan oleh sebagian titik lampu. Meterisasi akan memberikan pengukuran yang lebih tepat terhadap konsumsi listrik tiap unit lampu/tiang. Pengukuran menggunakan meterisasi dapa didukung oleh instalasi smart lighting system. Interkoneksi yang dilakukan oleh sistem ini akan menyediakan dukungan terpusat untuk mengontrol dan mengatur beberapa indikator seperti pengaturan kuat pencahayaan, pencatatan konsumsi daya listrik atau kilo Watt hour (kWh) meter yang (bersinambungan dengan meterisasi), pemantauan kinerja perangkat elektronik; sentralisasi kontrol jarak jauh; sensoring dan pencatatan data kondisi lingkungan; serta monitoring kerusakan atau kegagalan Alat Penerangan Jalan.

Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam Permenhub 27 tahun 2018 disebutkan bahwa penggunaan aplikasi smart lighting system wajib berupa aplikasi open source dan tidak perlu menggunakan software tertentu untuk mengkasesnya sehingga pengintregasian akan mudah dilakukan.

Tentang Proyek Alat Penerangan Jalan

Proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) yang nomenklaturnya berubah menjadi Alat Penerangan Jalan (APJ)  sesuai dengan Permenhub No. 27 tahun 2018 saat ini terbagi menjadi dua terkait skema pengadaannya, yakni skema konvensional (Conventional Government Procurement) atau CGP dan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha.

Terdapat beberapa perbedaan di antara kedua skema tersebut. Dalam skema CGP, PJPK mempunyai tanggung jawab di masa konstruksi, operasi pemeliharaan, dan tata kelola pelayanan public. Hal ini berarti PJPK akan mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan mandiri atas APJ. Skema ini masih banyak digunakan di beberapa daerah. Sementara itu dalam skema KPBU dengan parameter yang diasumsikan, biaya konstruksi dan biaya operasi tidak akan ditanggung oleh PJPK karena biaya tersebut merupakan tanggung jawab Badan Usaha Pelaksana (BUP). Skema KPBU memberikan alternatif bagi PJPK yang mempunyai finansial yang terbatas untuk membangun infrastruktur APJ.

Penggunaan skema KPBU dalam proyek APJ akan memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan skema CGP. Selain memberikan alternatif pengadaan proyek, skema KPBU akan memberikan Nilai Manfaat Uang atau value for money (VfM) yang bernilai positif terhadap skema CGP dengan berkurangnya biaya bagi Pemerintah karena beberapa hal seperti penghematan pemakaian listrik karena proyek selesai lebih cepat serta efisiensi atas biaya operasi dan pemeliharaan. Selain itu, skema KPBU memungkinkan terjadinya transfer risiko kepada pihak swasta (BUP) sehingga risiko dapat dikelola oleh pihak yang tepat.

Alat Penerangan Jalan

Gambar 1. 1  Struktur KPBU proyek Alat Penerangan Jalan

Struktur di atas merupakan struktur umum yang digunakan dalam sebuah proyek KPBU Alat Penerangan Jalan. Penanggung Jawab proyek Kerja sama (PJPK) meruapakan pihak yang berstatus sebagai pemilik proyek. Sebagai pemilik proyek, PJPK tentunya akan  berhubungan dengan berbagai pihak, sehingga diperlukan komitmen yang kuat  agar koordinasi antar Lembaga dan sektor dapat berjalan dengan baik. 

Dalam melakukan perencanaan dan penyiapan proyek, PJPK dapat mengajukan bantuan kepada Kementerian Keuangan. Peran Kementerian Keuangan dalam sebuah proyek KPBU Alat Penerangan Jalan dapat berupa pemberian Project Development Facility, yakni Fasilitas Penyiapan Proyek dan pelaksanaan transaksi proyek kepada PJPK. Fasilitas ini memungkinkan PJPK medapatkan pendampingan dan asistensi dari tahap penyiapan proyek hingga tahap transaksi proyek.

Baca juga: Fasilitas Penyiapan Proyek

Badan Usaha Pelaksana (BUP) merupakan badan usaha yang dibentuk khusus untuk melaksanakan kegiatan proyek dari mulai konstruksi hingga pengembalian aset Alat Penerangan Jalan pada akhir masa konsesi. BUP dibentuk oleh badan usaha pemenang lelang yang diadakan oleh PJPK melalui Panitia Pengadaan dan akan melakukan penandatanganan Perjanjian KPBU dengan PJPK. BUP dapat melakukan hal-hal yang mendukung terlaksananya proyek APJ seperti bekerja sama dengan kontraktor dan penyedia jasa operation & maintenance.

Skema pengembalian investasi proyek KPBU APJ menggunakan skema Availibility Payment (AP) dimana PJPK akan melakukan pembayaran kepada BUP secara berkala. Salah satu sumber pendapatan untuk pengalokasian AP untuk proyek APJ berasal dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ). PPJ akan dikutip oleh PLN dari masyarakat yang kemudian akan dibayarkan kepada PJPK. Pembayaran AP akan disesuaikan dengan kinerja layanan yang diberikan oleh BUP. Perlu digarisbawahi bahwa skema.

Dukungan Pemerintah dalam proyek APJ juga dapat diberikan dalam bentuk penjaminan terhadap proyek. Pemerintah melalui PT. PII (IIGF) berperan sebagai entitas yang menyediakan penjaminan dan juga berperan untuk meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness), khususnya bankability proyek APJ bagi investor/kreditur. PT. PII akan melakukan penjaminan pemenuhan kewajiban finansial PJPK melalui Perjanjian Penjaminan dengan BUP dan perjanjian Regres dengan PJPK.

Keberjalanan suatu proyek APJ tentunya akan dihadapkan pada beberapa tantangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan proyek KPBU APJ:

  1. Skema pengembalian investasi yang menggunakan skema AP membutuhkan dukungan dari DPRD sehingga koordinasi antara PJPK dan tim dengan DPRD perlu dikuatkan. Dukungan DPRD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah mengatur perihal pembayaran AP yang mencakup besaran alokasi dana yang dianggarkan untuk proyek APJ, perizinan dan pemanfaatan asset daerah, dan pembayaran regres.
  2. Ketepatan jumlah tiang/lampu yang menjadi ruang lingkup KPBU menjadi suatu hal yang krusial karena berhubungan dengan besaran alokasi AP yang diperlukan. Alokasi  dana untuk skema AP membutuhkan persetujuan DPRD sehingga ketidakpastian perhitungan titik lampu akan menyebabkan perubahan besaran AP dan akan memakan banyak waktu untuk berkoordinasi kembali dengan DPRD terkait persetujuan alokasi anggaran AP.
  3. Perhitungan titik lampu terkait poin nomor 2 sebaiknya dilakukan oleh PJPK. Dalam hal PJPK mendapat fasilitas PDF, konsultan PDF hanya akan melakukan verifikasi dan inventarisasi titik lampunya.
  4. Dalam hal proyek APJ di dalam lingkup kota atau kabupaten, persetujuan Gubernur diperlukan terkait pertimbangan Gubernur terhadap skema AP dan pemanfaaran asset di jalan provinsi (jika asset di jalan Provinsi masuk ke dalam lingkup proyek).
  5. PJPK perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk mendapatkan dukungan dan persertujuan jika ruang lingkup proyek mencakup pembangunan tiang APJ di atas jalan Nasional. 
  6. Koordinasi dengan PLN perlu dilakukan terkait dengan dukungan terhadap proyek. Dukungan yang diberikan dapat berupa penyediaan dan pemsangan kWh meter (meterisasi), persetujuan pemanfaatn tiang milik PLN  sebagai penempatan titik APJ selama periode kerjasama, dan asistensi/bantuan terkait forecasting penerimaan PPJ daerah. 
  7. Forecasting penerimaan PPJ dapat digunakan oleh PJPK sebagai acuan untuk menetapkan prioritas ruang lingkup proyek APJ sesuai dengan pendapatan daerah. Prioritasi ruang lingkup proyek dilakukan untuk menentukan titik APJ yang paling berdampak, memenuhi asas kemeretaan, dan mencegah beban yang berlebihan pada keuangan daerah.
  8. Kualitas penerangan dari lampu perlu memerhatikan standar dari SNI dan Permenhub 27 tahun 2018. Penggunaan lampu yang tidak sesuai standar akan mengurangi area cakupan lampu (penerangan tidak maksimal) sehingga asas kemerataan tidak terpenuhi dengan baik.

Penutup

Infrastruktur APJ merupakan salah satu infrastruktur penting untuk perkembangan suatu daerah, Penerangan yang baik oleh APJ tentunya akan meningkatkan arus ekonomi pada daerah tersebut karena kegiatan ekonomi hampir tidak dibatasi oleh waktu yang dimungkinkan karena jalan dapat diterangi dengan baik. Visibilitas yang baik pada lingkungan dan jalan mengurangi risiko terjadinya tindak kejahatan dan kecelakaan. Dengan penjelasan di atas, kiranya tantangan-tantangan yang dapat timbul dalam proyek infrastruktur APJ dapat dikelola dengan baik sehingga proyek dapat berjalan efisien, baik dari waktu dan sumber daya yang dibutuhkan.