Rerangka Umum Pengembangan Struktur Finansial (khususnya Model Keuangan) Proyek KPBU Sektor Perumahan melalui Optimalisasi Manfaat Barang Milik Negara


Oleh: David Rizkiawan

Rumah adalah kebutuhan dasar manusia. Rumah yang layak akan meningkatkan kesehatan, produktivitas dan tingkat hidup penghuninya. Data dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020 menunjukkan bahwa dari total 72,79 juta Rumah Tangga di Indonesia terdapat 12,75 juta RT yang belum memiliki rumah yang diistilahkan backlog kepemilikan. Dan jika dirinci lagi, dari total RT yang belum memiliki rumah terdapat 6,88 juta RT tidak memiliki hunian atau biasa disebut backlog kepenghunian. Sebuah angka yang sangat besar dan perlu dipikirkan solusinya.

Di sektor perumahan perumahan, terdapat pembagian kelompok rumah tangga menjadi 10 golongan (decil). Golongan mampu dan bisa membeli rumah (decil 7-10), golongan mampu tetapi memerlukan dukungan (decil 3-6), dan golongan miskin yang tidak mampu memiliki rumah walaupun dengan bantuan (sebagian) dari pemerintah (decil 1-2). Pembagian golongan ini penting untuk mengarahkan dukungan pemerintah agar tepat sasaran. Harapannya, golongan dengan tingkat vulnerability yang paling tinggi, yaitu desil 1 dan 2 seharusnya memperoleh manfaat terbesar dari kehadiran dukungan pemerintah tersebut.

Proyek KPBU Sektor Perumahan

Ilustrasi Rumah

Berbagai bentuk dukungan pemerintah telah dirancang (dalam periode tahun 2015 – 2021) antara lain insentif perpajakan untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dalam bentuk subsidi bunga, Subdisidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp4 – Rp juta yang merupakan pelengkap FLPP, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya untuk perbaikan rumah tidak layak huni, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan, dan dukungan pembangunan rumah susun dan rumah susun khusus. Total seluruh dukungan tersebut diperkirakan telah mencapai Rp141 triliun.

Jumlah dukungan yang tidak sedikit ini menunjukkan bahwa pemerintah sungguh-sungguh dalam upaya menyediakan hunian layak kepada rakyat. Di sisi lain, hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa dari sejumlah dukungan tersebut belum sepenuhnya dapat dinikmati atau tidak dapat diakses oleh golongan masyarakat dengan pendapatan terendah (decil 1-2). Pada hal-hal yang lebih khusus, Bank Dunia juga merekomendasikan agar dukungan pemerintah juga dapat diarahkan pada penyediaan hunian pada daerah-daerah dengan backlog perumahan yang tinggi, yang umumnya di daerah perkotaan.

Menghadirkan pemerintah secara lebih dekat untuk masyarakat berpenghasilan terendah melalui KPBU Availability Payment

Sebagai sebuah skema yang sebagian besar pembiayaannya dilakukan oleh swasta, sangat mungkin banyak orang menilai bahwa penggunaan skema KPBU dalam penyediaan layanan kepada masyarakat manfaatnya tidak dapat dirasakan langsung oleh golongan yang paling tidak beruntung. Oleh karena itu, skema KPBU juga menyediakan alternatif moda dimana pembayaran kepada swasta atas layanan yang disediakan kepada masyarakat dilakukan oleh pemerintah.

Dengan skema KPBU AP, pemerintah tetap memiliki kewenangan penuh dalam menentukan apakah masyarakat atau pengguna akan dikenakan atau dibebaskan atas biaya tertentu (dengan memperhatikan karakteristik pengguna yang hendak dijangkau proyek atau infrastruktur). Di sisi lain, swasta tidak terekspos pada risiko tidak terpenuhinya target pendapatan yang mungkin terjadi karena fluktuasi dan ketidakpastian pembayaran oleh pengguna.

Sebagai contoh sederhana, pemerintah menyediakan hunian berupa rusunawa. Dalam konteks KPBU pemerintah dapat bertindak sebagai pihak rusunawa yang fokus menyasar pada MBR, sedangkan swasta berperan dalam proses pendesaianan, pembangunan dan perawatan. Selain menentukan penghuni, Pemerintah juga mengatur tarif sewa serta bertanggungjawab memungut biaya sewa kepada penghuni. Konsep ini hanya sekadar contoh, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dan minat swasta.

Baca juga: Pembayaran Ketersediaan Layanan

Keterbatasan keterjangkauan anggaran (affordability) pemerintah dan konsekuensinya pada struktur finansial proyek perumahan

Dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil, kemampuan pemerintah untuk memenuhi kewajiban pembayaran AP lebih dapat dijaga. Sayangnya, jika memperhatikan kondisi perekonomian dalam dua dekade terakhir, kondisi perekonomian sangat dinamis, cepat berubah dan tidak dapat diprediksi dengan tepat. Demikian halnya affordability pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur, menyesuaikan kemampuan fiskal APBN yang dinamis. Oleh karena itu, perlu disiapkan struktur proyek (termasuk struktur finansial) yang mampu mengantisipasi keterbatasan affordability pemerintah dan tetap menjaga kelayakan (feasibility) proyek.

Secara ringkas, kerangka utama yang perlu diperhatikan dalam membangun struktur proyek dan struktur finansial proyek KPBU (khususnya input model keuangan proyek) sektor perumahan adalah sebagai berikut

1. Pentingnya memastikan ketersediaan layanan, tidak hanya hunian tapi juga layanan dari fasilitas penunjang perumahan/hunian

Struktur finansial yang akan dijabarkan dalam model keuangan proyek, perlu secara detil mengakomodir input biaya proyek yang telah mencakup biaya-biaya yang diperlukan sampai dengan layanan dapat dinikmati oleh masyarakat. Sebagai contoh, input model keuangan harus sudah memperhitungkan biaya penyambungan jaringan air dan/atau air minum, jaringan gas (jika ada), fasilitas pengelolaan sampah, dan biaya-biaya relevan lainnya yang diperlukan agar hunian layak dapat terwujud. Hunian layak hanya dapat tercapai jika fasilitas penunjang utama hunian tersedia dan berfungsi dengan semestinya.

2. Memperhitungkan life cycle cost

Berbeda dengan moda penyediaan infrastruktur melalui pengadaan barang dan jasa, KPBU pada prinsipnya mengedepankan prinsip delivery layanan selama masa kontrak. Layanan infrastruktur akan dapat dinikmati dengan kualitas baik secara ajeg, apabila infrastruktur itu sendiri dipelihara dan dirawat pada tingkat biaya yang memunkinkan infrastruktur berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, keajegan pemeliharaan dan perawatan perlu dipastikan sejak proses penyiapan dan diperhitungkan dalam struktur finansial.

3. Mengupayakan potensi pendapatan selain yang bersumber dari pembayaran oleh pemerintah

Agar proyek lebih menarik, pemerintah perlu memberi ruang kepada swasta untuk menciptakan sumber-sumber pendapatan lain (selain yang bersumber dari pembayaran langsung pemerintah) yang dapat dikendalikan secara penuh.  Misalnya, memberikan kesempatan kepada swasta untuk menciptakan areal komersial di lingkungan hunian atau potensi value capture yang lain dari penggunaan aset pemerintah. Jika dapat dilakukan, hal tersebut akan dapat menciptakan insentif dan minat investor kepada proyek.

4. Mempertimbangkan potensi subsidi silang diantara pengguna hunian

Hal lain yang juga dapat dipertimbangkan adalah memberi kesempatan untuk mengkombinasikan hunian untuk masyarakat berpenghasilan terendah sampai rendah dengan hunian yang bersifat komersial. Praktik semacam ini bermanfaat untuk menjaga kelayakan proyek dan menarik minat swasta (karena adanya potensi pendapatan tambahan). Bagi pemerintah, potensi pendapatan dari hunian komersial dapat membantu mengurangi beban pembayaran pemerintah atas layanan hunian kepada masyarakat berpenghasilan rendah melalui mekanisme subsidi silang

5. Memperhitungkan dampak penerapan prinsip-prinsip quality infrastructure investment

Saat ini, menerapkan prinsip QII sudah bukan lagi hal yang “nice to have” tetapi sesuatu yang “must to do”. Walaupun dalam tulisan ini diletakkan di urut terakhir, sejatinya implementasi QII dalam infrastruktur akan sangat berpengaruh pada struktur biaya, struktur modal, atau bahkan struktur pembiayaan. Hal ini karena, implementasi QII sendiri mengharuskan pemerintah untuk mengikuti standar tertentu yang umumnya berdampak pada kebutuhan biaya

Tantangan dalam skema KPBU AP di sektor perumahan khususnya dalam upaya mewujudkan struktur finansial yang mengadopsi lima kerangka utama yang diharapkan

Untuk dapat diterapkan, kerangka umum pembangunan model finansial proyek KPBU sektor perumahan memerlukan lingkungan yang mendukung (enabling environment).

Pertama, dimungkinkannya pengelolaan pendapatan penyediaan hunian dan fasilitas komersial langsung oleh swasta dari infrastruktur yang notabene berada di atas aset pemerintah. Sejauh ini, pengaturan yang ada menyebutkan, bahwa apabila skema pengembalian investasi yang dipilih adalah KPBU AP, maka seluruh pendapatan yang berasal dari proyek akan menjadi bagian dari pendapatan pemerintah dan diterima oleh pemerintah

Kedua, penggunaan konsep mixed-used. Konsep ini dinilai sebagai sebuah konsep yang dapat menjadi win-win solution bagi pemerintah dan swasta. Bagi pemerintah, konsep mixed-used menawarkan potensi penurunan beban APBN atas kewajiban pembayaran kepada Badan Usaha, sedangkan bagi swasta, konsep ini menawarkan potensi pendapatan lain yang dapat mendukung kelayakan proyek.

Namun penerapan konsep ini membutuhkan upaya yang tidak sedikit. Untuk menerapkannya dan agar mekanisme subsidi silang dari pengguna hunian komersial ke pengguna penghasilan berpenghasilan terendah dan rendah (mixed-used) dapat berjalan, dibutuhkan daya tarik berupa pengakuan kepemilikan (setidaknya untuk bangunan) oleh pengguna komersial (meskipun dibatasi jangka waktunya). Selain itu, diperlukan jalan keluar mengenai sertifikat kepemilikan bangunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan bank, untuk mendukung skema KPR untuk hunian komersial.

Ketiga, kesadaran bersama seluruh pihak bahwa penerapan QII ini dalam banyak hal membawa konsekuensi pada peningkatan biaya, dan oleh karenanya berpotensi meningkatkan kewajiban pemerintah. Di sisi lain, para stakeholders perlu diyakinkan, bahwa QII akan membawa manfaat baik dan menjamin kesinambungan manfaat lingkungan dan sumber daya bagi generasi mendatang.

Dukungan Pemerintah pada sektor perumahan perlu juga untuk berfokus pada masyarakat di kategori desil 1-2 dimana salah satu rekomendasi adalah pembangunan hunian rumah susun sewa (Public Rental Housing) dengan skema KPBU AP. Pembangunan Public Rental Housing ini sangat dimungkinkan mengingat masih tingginya angka backlog kepenghunian dan banyaknya aset Pemerintah yang belum termanfaatkan, apalagi jika penerapan subsidi silang dan land value capture dapat direalisasikan yang tentunya akan sangat membantu APBN dalam pembayaran AP.