Penjaminan Pemerintah sebagai bentuk Credit Enhancing Product untuk Proyek Infrastruktur Skema KPBU


Oleh: Anggi Putri, Ega Christy, Herlina Oktavianti

Creditworthiness

Tentu pembaca sudah tidak asing dengan pernyataan bahwa penjaminan pemerintah diberikan untuk meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) dari proyek KPBU. Baik itu di forum diskusi atau bahkan konten yang diunggah dalam platform ini, pernyataan tersebut selalu diulang-ulang. Bahkan Peraturan Presiden nomor 78 Tahun 2010 (Perpres 78/2010) yang merupakan payung hukum untuk pengaturan penjaminan infrastruktur proyek KPBU membuka kalimat pertamanya dengan pernyataan “menimbang bahwa dalam rangka meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek infrastruktur sebagai upaya mendorong partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur…”. Begitu masifnya penggunaan terminologi “creditworthiness yang disandingkan dengan “penjaminan pemerintah” bermuara pada pertanyaan sebenarnya apa itu creditworthiness, apa hubungan di antara kedua istilah tersebut, dan bagaimana penjaminan mempengaruhi kelayakan kredit proyek infrastruktur sehingga ujungnya partisipasi swasta diharapkan dapat meningkat.

Creditworthiness

Ilustrasi Creditworthiness

Penjaminan dalam semesta Credit Enhancement

Peningkatan kredit atau biasa disebut credit enhancement dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk meningkatkan tingkat kepercayaan di kalangan investor melalui pengurangan risiko investor atas produk atau transaksi keuangan dan/atau peningkatan profil kredit dari peminjam atau debitur sehingga dapat meningkatkan kemungkinan pembiayaan akan dilunasi. Manfaat utama dari credit enhancement dalam transaksi pembiayaan menurut Bank Dunia [3], yakni:

  1. Pengurangan tingkat bunga;
  2. Perpanjangan jangka waktu utang;
  3. Jadwal amortisasi atau pembayaran utang yang lebih favorable;
  4. Kemudahan dalam debt covenants;
  5. Memperluas daftar lenders yang tersedia;
  6. Memperkenalkan peminjam baru kapada pasar;
  7. Memperkenalkan operasi pinjaman skala besar (yang tidak pernah didukung oleh pasar domestik);
  8. Implementasi proyek yang lebih baik dengan risiko yang lebih rendah.

Dalam konteks KPBU, alokasi risiko merupakan fitur utama dalam implementasi skema KPBU. Namun, tidak dapat dihindari bahwa risiko proyek yang dialokasikan kepada pihak pemerintah dan swasta dapat menimbulkan keraguan dari sisi lender atas penanganan risiko yang efisien. Terlebih dalam skema KPBU, mekanisme due diligence dari lender menjadi proses yang harus dilalui dalam hal pencapaian financial close, hal mana aspek kelayakan dan risiko proyek menjadi salah satu concern lender. Hal ini tentu dapat menghalangi kemampuan proyek untuk mendapat pembiayaan efisien dan efektif sehingga upaya credit enhancement diharapkan mampu meningkatkan akses terhadap pembiayaan lender dan dalam skala makro dapat mendorong minat investor maupun lender untuk menanamkan uangnya ke proyek infrastruktur KPBU. Pertanyaan selanjutnya instrumen apa yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut?

Dapat disampaikan bahwa credit enhancement dalam pembiayaan infrastruktur diperlukan karena terdapat dorongan untuk mengatasi risiko proyek. Dengan demikian, credit enhancement atas proyek infrastruktur diharapkan mampu menjadi payung yang mencakup seluruh risiko, mulai dari risiko finansial yang berupa risiko kredit, mata uang, dan likuiditas; risiko ekonomi yang berasal dari eksternal maupun internal proyek; risiko politik hingga risiko lainnya seperti risiko bencana alam.

Risiko proyek yang terkait dengan konstruksi dan operasi akan mempengaruhi rating dari suatu project finance dengan meningkatkan profil kredit proyek. Namun, rating dari project finance berdasarkan risiko tersebut masih dapat berubah dengan treatment dari modifier, yang dapat berupa parent linkage, structural protection, government support, sovereign rating limits, dan full credit guarantee. Modifier-modifier inilah yang merupakan credit enhancement pada struktur project finance proyek infrastruktur.

Saat ini juga telah tersedia banyak bentuk instrumen Credit Enhancing Products (CEPs) dalam pembiayaan infrastruktur yang dapat dimanfaatkan guna meningkatkan creditworthiness proyek infrastruktur, di antaranya:

  1. Partial credit guarantee: berupa jaminan yang disediakan institusi finansial untuk mengganti kreditur/investor apabila terjadi default dari obligor (seperti pembayaran pokok atau bunga)
  2. First-loss provisions: instrumen yang dirancang untuk melindungi investor dari paparan risiko kehilangan modal terlebih dahulu apabila terdapat cash shortfalls
  3. Cash collateral: jaminan berupa uang atau setara uang yang dapat dimanfaatkan oleh kreditur
  4. Letter of credit: komitmen dari institusi finansial untuk menjamin pemulihan sejumlah uang tertentu apabila terdapat cash shortfalls dalam proyek
  5. Political risk insurance: jaminan atas risiko pembiayaan kepada pemerintah, seperti perang, risiko perubahan regulasi, maupun risiko ketidakmampuan pemerintah memenuhi kewajiban
  6. Loan syndications: penyertaan modal dari beberapa lenders karena kebutuhan modal yang besar yang tidak mampu disediakan oleh single lender atau melebihi tingkat eksposur risiko untuk satu lender
  7. Reinsurance: pengalihan risiko kepada pihak lain
  8. Contingent credit lines: instrumen yang dapat menjadi backstop utama dari utang apabila terjadi peristiwa yang tidak terduga sebelumnya, seperti bencana alam, dll
  9. Viability gap fund (VGF): pendanaan pada masa konstruksi proyek untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek, dapat berupa hibah, subordinated loans, maupun subsidi
  10. Performance bond: instrumen untuk menjamin penyelesaian proyek dan memastikan bahwa proyek memiliki likuiditas yang cukup untuk diselesaikan apabila terjadi peristiwa yang dapat merugikan proyek, seperti pelanggaran kontrak kontraktor, dll.

Dari daftar bentuk instrumen pembiayaan untuk meningkatkan creditworthiness, dapat dilihat bahwa penjaminan pemerintah untuk proyek infrastruktur skema KPBU yang saat ini diatur mekanismenya diatur dalam Perpres 78/2010 hanyalah satu dari sekian banyak Credit Enhancing Products. Telah tersedia instrumen-instrumen lain dalam pasar finansial yang dapat dimanfaatkan untuk mengakomodir risiko-risiko proyek yang tidak dicover oleh penjaminan infrastruktur Perpres 78/2010.

Baca juga: Penjaminan Pemerintah dalam Proyek KPBU: Lessons Learnt, Prinsip, dan Implementasi

Basis Penjaminan Infrastruktur

Dalam pengaturan proyek dengan skema project financing, sebuah entitas baru akan dibentuk dan memiliki tugas khusus untuk menyelenggarakan sebuah proyek. Entitas dimaksud biasa disebut dengan Badan Usaha Pelaksana (BUP). Untuk dapat membiayai proyek umumnya BUP akan mencari pembiayaan modal yang sebagian besar berasal dari porsi pinjaman. Oleh karena itu, penting bagi pemberi pinjaman untuk mengetahui apakah entitas dimaksud memiliki kemampuan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sebagai ilustrasi, ketika seorang nasabah mengajukan pinjaman ke bank untuk membeli sebuah rumah, kira-kira dokumen apa saja yang disyaratkan oleh bank sebelum memberikan pinjaman kepada nasabah? Tentu saja salah satunya slip gaji. Kenapa? Karena bank perlu mendapatkan keyakinan bahwa nasabah tersebut memiliki penghasilan yang cukup sehingga dapat melakukan pembayaran kembali pinjaman serta bunga yang disyaratkan. Dengan analogi ini, posisi BUP sama dengan nasabah yang mengajukan pinjaman dimana BUP harus bisa menunjukkan kepada lender bahwa dirinya mampu mengembalikan pinjaman proyek. Namun, lain halnya dengan slip gaji nasabah sebelumnya, BUP tidak memiliki bukti apapun tentang kemampuannya membayar kembali pinjaman, mengingat BUP ini merupakan entitas yang baru dibentuk dan baru saja akan membangun sebuah proyek. Satu-satunya sumber dana untuk mengembalikan pinjaman BUP adalah hanya jika proyek berhasil dibangun dan menghasilkan pendapatan. Oleh karena itu, sangat berisiko bagi bank untuk memberikan pinjaman pada seseorang yang belum memiliki creditworthiness yang jelas, dalam jumlah besar dan juga dalam jangka waktu yang cukup panjang. Tentu saja, dengan dimensi yang demikian itu, keberhasilan proyek menghasilkan pendapatan menghadapi kondisi yang tidak pasti dan terekspos risiko-risiko.

Potensi risiko selama masa pelaksanaan proyek ini dapat diminimalisir melalui kehadiran sebuah instrumen yang dapat meyakinkan bahwa BUP memiliki kredibilitas membangun sebuah proyek sehingga mampu melakukan pengembalian pinjaman. Instrumen tersebut adalah penjaminan. Sebagaimana telah disebutkan bahwa alokasi risiko merupakan fitur penting dalam proyek KPBU dimana risiko-risiko proyek harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan risiko tersebut. Kembali pada semesta credit enhancement, penjaminan bergerak pada area yang berbeda dari lingkup risiko konstruksi maupun operasi yang pada umumnya dialokasikan kepada BUP. Lantas apakah ada pemicu risiko lain yang dapat mengganggu kinerja BUP? Tentu saja ada yaitu risiko yang sumber pemicunya berada dalam kendali Pemerintah (PJPK). Oleh karena itu, peran penjaminan dirancang untuk fokus pada area ini dimana BUP tidak memiliki kontrol atas risiko dimaksud, namun kinerja BUP dapat terpengaruh jika risiko terjadi.

Risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah (PJPK) perlu dikelola dengan optimal. Pada praktik pengelolaan risiko, perusahaan perlu melakukan penilaian risiko untuk melihat pemetaan risiko mana saja yang dikategorikan sebagai risiko tinggi, medium dan rendah. Umumnya secara sederhana, dilakukan pemetaan risiko menggunakan colour code risk matrix 5 x 5 (mengandung aspek likelihood dan severity) dimana kuadran yang memiliki warna lebih gelap menunjukkan risiko dengan dampak dan/atau tingkat keterjadian yang tinggi. Pada risiko tinggi ini diperlukan strategi mitigasi risiko yang memadai oleh Pemerintah (PJPK) agar tingkat risiko dapat diturunkan pada level yang dapat diterima. Berpedoman pada dua aspek ini, penting bagi Penjamin dalam hal ini Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) untuk menempatkan instrumen Penjaminan hanya untuk risiko dengan kemungkinan keterjadiannya yang rendah, namun memiliki dampak risiko yang tinggi serta risiko yang diyakini memiliki kemampuan mitigasi oleh Pemerintah (PJPK) yang rendah.

Peran Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur dalam Penjaminan Infrastruktur

Berdasarkan Perpres 78/2010, pelaksanaan penjaminan untuk proyek infrastruktur skema KPBU dilakukan melalui PT PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII) selaku BUPI melalui mekanisme single windows policy. Dalam pemberian Penjaminan Infrastruktur, Pemerintah harus bertindak responsif terhadap permintaan klaim penjaminan ketika risiko terjadi. Namun dengan segala keterbatasan, Pemerintah membentuk PT PII dimaksud sebagai perpanjangan tangan Pemerintah melaksanakan mandat pengelolaan Penjaminan Infrastruktur. Bentuk kelembagaan yang terpisah dari Kementerian Keuangan sendiri dipilih karena dapat memberikan beberapa manfaat yang baik seperti tidak terekspose siklus anggaran Pemerintah, suntikan modal dari Pemerintah dapat di-leverage asetnya tanpa harus melibatkan strategi penganggaran jangka panjang, serta lebih fleksibel dan responsif terhadap dinamika kebutuhan pasar.

PT PII dengan fleksibilitasnya sebagai BUMN menjadi garda terdepan dari pemerintah untuk melaksanakan penjaminan mulai dari analisis permohonan dari PJPK, pemantauan, hingga melakukan pengembangan dalam rangka meningkatkan kredibilitas penjaminan. BUPI sebagai risk manager pemerintah atas pelaksanaan dan pengelolaan penjaminan perlu menilai kemampuan PJPK melakukan pengendalian risiko dan proaktif mengusulkan perbaikan manajemen risikonya. Hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman kepada monitoring, accepting, and improving risks matrix di bawah ini. Matriks ini menegaskan bahwa terdapat peran Penjamin yang mengharuskan Penjamin untuk melakukan perbaikan pengelolaan risiko ketika Penjamin menilai kemampuan mitigasi risiko proyek oleh PJPK rendah.

 

Peran Penjaminan, Manajemen Risiko dan Misi Strategis

Lagi dan lagi, fungsi penjaminan sebagai modifier terhadap credit enhancement dalam struktur project finance perlu mengedepankan manajemen atas risiko yang dapat mengganggu kinerja BUP untuk melaksanakan proyek sebagai satu-satunya sumber menghasilkan pendapatan untuk pengembalian pinjaman. Penjaminan diberikan bukan hanya sekedar untuk melindungi BUP dari risiko yang timbul dari PJPK, namun memiliki misi lebih strategis yaitu untuk memperbaiki manajemen risiko PJPK. Pada proyek KPBU sendiri diketahui bahwa terdapat 19 sektor infrastruktur dalam wewenang PJPK yang berbeda-beda. Untuk meningkatkan creditworthiness BUP proyek KPBU di mata lenders, diperlukan perbaikan manajemen risiko sektor yang masif. BUPI diharapkan dapat mengoptimalisasi perannya dalam perbaikan manajemen risiko PJPK melalui kemampuannya berkontrak dan engagement dengan pihak-pihak yang memegang peran penting dalam mitigasi risiko proyek.

Lebih lanjut, pemberian Penjaminan juga selayaknya diarahkan untuk mencapai ultimate objective-nya yaitu menurunkan cost of fund. Dengan portofolio Penjaminan proyek saat ini kiranya penting untuk melakukan pengujian apakah manfaat yang diharapkan tersebut seiring berjalannya waktu telah tercapai. Jika belum, maka hal ini dapat menjadi sinyal indikator yang menunjukkan diperlukannya improvement dalam manajemen risiko. Sebaliknya, jika Penjaminan terbukti telah mampu menurunkan cost of fund, maka pemberian Penjaminan dan upaya perbaikan manajemen risiko perlu dialihkan pada sektor infrastruktur lain. Sehingga pada akhirnya, seluruh sektor infrastruktur memiliki manajemen risiko yang baik sampai di titik dimana Penjaminan tidak diperlukan lagi. Saat itulah BUPI sebagai penyedia Penjaminan Pemerintah perlu bergerak keluar dari lingkup risiko Pemerintah melalui kerjasama dengan instrumen credit enhancer lainnya yang berada pada semesta credit enhancement. Harapannya dalam jangka panjang, Penjaminan Pemerintah dapat dikembangkan menjadi suatu produk yang komprehensif yang dapat berkontribusi pada creditworthiness proyek KPBU.

Rekomendasi Peningkatan Penjaminan Pemerintah

Penjaminan pemerintah sebagai credit enhancer diharapkan dapat menjawab keraguan investor atas kredibilitas proyek KPBU dengan meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) dari proyek KPBU. Tujuan penjaminan sebagai credit enhancer dapat tercapai apabila BUPI dapat menerapkan prinsip alokasi dan mitigasi risiko yang optimal. Penting bagi BUPI untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam manajemen risiko. Sebelum memberikan penjaminan, BUPI harus terlebih dahulu memastikan bahwa alokasi risiko dalam rancangan Perjanjian KPBU telah sesuai dengan prinsip-prinsip alokasi risiko. Pengalokasian risiko juga dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan kedua pihak dalam Perjanjian KPBU untuk memitigasi risiko. Ketika BUPI dapat memastikan bahwa risiko telah dialokasikan kepada pihak yang benar-benar dapat melakukan pengelolaan dan pengendalian risiko yang baik, dampak terjadinya risiko infrastruktur dapat ditekan rendah.

Selain itu, BUPI juga dapat secara aktif memitigasi risiko sektor yang dimiliki oleh suatu proyek yang dapat berdampak pada perbaikan register alokasi risiko pada proyek baru dengan sektor yang sama. Sebagai contoh, dalam hal penyediaan lahan proyek terdapat risiko gagal untuk melakukan penyediaan lahan tepat waktu. Dalam hal ini BUPI dapat berperan aktif untuk memitigasi terjadinya risiko tersebut dengan menganalisa proses penyediaan lahan dan penyebab kemungkinan terjadinya risiko. BUPI dapat melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait untuk dapat mengelola risiko dengan menuangkannya pada perjanjian kerja sama atau bahkan dalam suatu regulasi. Guarantee fee yang dipungut oleh BUPI dapat dimanfaatkan untuk mendukung mitigasi risiko tersebut, sehingga pada proyek selanjutnya, risiko tersebut tidak perlu lagi dijamin oleh BUPI dan dapat dialihkan ke sektor lain.

Enhancement yang diberikan BUPI juga dapat terefleksi pada cost of fund dari suatu proyek. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, manfaat utama dari credit enhancement dalam transaksi pembiayaan salah satunya adalah pengurangan tingkat bunga. Ketika penjaminan mampu mengurangi besarnya risiko, maka profil kredit proyek juga akan meningkat. BUPI perlu melakukan evaluasi, apakah penjaminan yang diberikan telah memberikan value added pada proyek KPBU, dalam hal ini penurunan cost of fund. Dengan cost of fund yang lebih rendah diharapkan dapat menarik semakin banyak investor dan lender untuk berinvestasi.

BUPI kedepannya diharapkan dapat melakukan kerja sama penjaminan dengan lembaga lain yang memiliki produk serupa. Melalui kerjasama penjaminan, risk sharing dapat dilakukan, dimana BUPI dapat mengalokasikan risiko komersial kepada pihak tersebut sehingga total risiko yang dialokasikan pada BUPI dan Kementerian Keuangan dapat berkurang. Total risiko yang dimaksud adalah mengenai besaran maupun waktu pembayaran kompensasi. Alokasi risiko dengan lembaga lain diharapkan dapat menjalankan fungsi ring fence untuk memastikan tidak terjadinya kejutan yang mengganggu kesinambungan keuangan negara akibat terjadinya pembayaran klaim dari penjaminan yang telah diberikan.

Peningkatan efisiensi mekanisme dalam hal telah munculnya kewajiban klaim penjaminan juga menjadi perhatian investor dan lender. Proses pelaksanaan penjaminan sejak terjadinya risiko hingga pembayaran klaim beserta timelinenya perlu diatur lebih jelas dan dituangkan dalam perjanjian penjaminan sehingga dapat memberikan kepastian dan keyakinan bagi BUP terkait dengan proses klaim penjaminan. Hal ini menunjukkan keseriusan bagi pemerintah untuk menciptakan iklim yang nyaman dan aman untuk berinvestasi pada proyek KPBU.

Secara garis besar, keberadaan penjaminan sebagai bagian dari semesta credit enhancement  bertujuan untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi investor dan lender untuk berinvestasi pada proyek KPBU. Penjaminan sebagai credit enhancer diharapkan dapat memperbaiki manajemen dan register alokasi risiko sehingga dapat memitigasi keterjadian risiko kritikal dan meningkatkan kredibilitas proyek. Untuk mencapai hal tersebut, BUPI dapat  melakukan penguatan dalam mekanisme penjaminan agar proses penjaminan secara menyeluruh dapat lebih efisien dan efektif demi menjaga kesinambungan fiskal kini dan nanti.

Referensi:

  1. https://suretybonds.ie/credit-enhancement/
  2. https://www.energy.gov/eere/slsc/credit-enhancements
  3. Credit Enhancement Practices.  The Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) by World Bank. https://www.gfdrr.org/sites/default/files/publication/Credit%20Enhancement%20Practices.pdf
  4. Kit Sadgrove. 2015. The Complete Guide to Business Risk Management. Gower.