Peran KPBU dalam Mendorong Transportasi Massal Guna Mewujudkan Net Zero Emission


Penulis: Annisaul Rofiqoh
Pembimbing: Hasrul

Pada abad ke-21 ini, salah satu permasalahan global yang kini sedang dirasakan oleh seluruh belahan dunia adalah terjadinya fenomena pemanasan global yang berdampak pada terjadinya perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia dan menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer. Gas-gas rumah kaca itu adalah karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC) (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018). Gas rumah kaca yang tidak dapat terserap oleh kawasan hutan di darat serta rumput laut di perairan akan terakumulasi di lapisan atmosfer dan menahan paparan sinar matahari terutama radiasi infrared untuk dapat dipantulkan keluar atmosfer. Inilah yang menyebabkan kenaikan suhu bumi serta perubahan iklim yang memicu terjadinya bencana alam di berbagai belahan dunia, mulai dari bencana alam pada tahun 2021 yaitu suhu ekstrim dari gelombang panas di Kanada (BBC News Indonesia, 2021), kebakaran hutan di Siberia (VOA, 2021), dan banjir bandang di Jerman (Ghaedi, 2021).

Indonesia sebagai negara tropis dan juga dikenal dengan negara maritim tentunya tidak luput dari paparan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Kenaikan suhu yang terjadi memberikan dampak negatif baik di daratan maupun peraiaran Indonesia. Pada tahun 2019, terjadi kebakaran lahan di Riau yang melanda berbagai wilayah. Sebaran dari kebakaran lahan ini mencakup beberapa Kabupaten yaitu Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Meranti, Siak, Kampar, dan Kota Pekanbaru (Mardatila, 2022). Kebakaran lahan juga terjadi pada tahun 2022 yang melahap lahan seluas kurang lebih lima hektar di Desa Sungai Cabag Barat, Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah yang dipicu dari suhu yang tinggi dan curah hujan yang rendah (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2022). Selain kebakaran lahan, banyak juga terjadi bencana tanah longsor dan banjir di sepanjang tahun 2022, yaitu tanah longsor dan banjir di Jayapura, tanah longsor di Cijeruk (Bogor), banjir Ciliwung, banjir bandang Parigi Moutong (Sulteng), banjir bandang Aceh Utara, banjir di DKI Jakarta, Malang, dan bali (Chandra, 2022). Tak hanya bencana alam di daratan, seiring dengan meningkatnya suhu juga diiringi dengan meningkatnya tingkat keasaman air laut, sehingga membuat penghuni ekosistem laut di wilayah Indonesia akan berpindah ke habitat yang lebih sesuai. Sebagai negara yang menjadi kontributor penyumbang hampir 7% produksi perikanan global, hal ini berdampak negatif pada kestabilan perekonomian nelayan (Legia, 2021).

Terlihat dengan jelas bahwa ancaman peningkatan suhu bumi ini telah menjadi tantangan di setiap negara. Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate (IPCC), menyatakan bahwa apabila gas rumah kaca cenderung meningkat dari waktu ke waktu maka dapat diproyeksikan akan terjadi peningkatan pemanasan global antara 1,5 – 4,5 derajat celsius sekitar tahun 2030 dan tentunya akan berdampak pada perubahan iklim (Departemen Lingkungan Hidup BEM UI 2021, 2021)

Total emisi pada tahun 2021 adalah 607 juta ton CO2eq dimana kontributor penyumbang utama berasal dari sektor pembangkit listrik sebesar 49,8%, disusul oleh sektor industri dan transportasi sebesar 23,7% dan 16,1% berasal dari sektor lainnya (Dewan Energi Nasional RI, 2022). Pada sektor transportasi, penumpukan emisi gas dipicu dari penggunaan transportasi yang didominasi oleh kendaraan pribadi berbahan bakar fosil seperti bensin dan diesel. Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat bahwa seiring dengan berkembangnya zaman diimbangi pula dengan perkembangan industri otomotif yang tentunya begitu menarik minat masyarakat untuk memiliki alat transportasi pribadi dan menambah kemungkinan kenaikan jumlah kendaraan pribadi di masa yang akan datang yang tentunya akan meningkatkan produksi emisi gas yang berujung pada pemanasan global dan perubahan iklim. Solusi yang dapat dilakukan adalah menekan emisi karbon serta mendorong masyarakan untuk beralih pada penggunaan transportasi massal dalam mewujudkan tercapainya Net Zero Emission (NZE).

Apa itu Net Zero Emission?

Gambar 1: Net Zero Emission

Net Zero Emission  

Net Zero Emission yang juga biasa disebut dengan “Net Zero” mengacu pada keseimbangan antara emisi yang kita hasilkan, dan emisi yang dapat kita keluarkan dari atmosfer (Ginn, 2021). Kondisi nol emisi karbon dapat tercapai ketika jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Untuk dapat mencapai tersebut diperlukan adanya transisi yang dilakukan manusia, yaitu peralihan dari penggunaan sumber energi yang dapat melepas emisi gas ke sumber energi yang menghasilkan emisi gas seminimal mungkin bahkan bebas dari produksi emisi gas. Tentunya banyak hal yang dapat diupayakan untuk mendukung tujuan tercapainya NZE ini, antara lain:

  1. Menggunakan energi terbarukan dengan beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, energi hidro, dan biomassa;
  2. Meningkatkan efisiensi energi di berbagai sektor sehingga dapat mengurangi permintaan energy dan produksi emisi gas;
  3. Mendorong masyarakat untuk beralih dari penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik atau menggunakan transportasi umum yang ramah lingkungan; dan
  4. Mendukung penemuan dan pengembangan teknologi baru yang lebih efisien, inovatif, dan berkelanjutan dalam penggunaan energy, contoh teknologi ini termasuk penyimpanan energi, mobil listrik yang canggih, dan jaringan smart grid;
  5. Melakukan program penghijauan atau reboisasi hutan untuk meningkatkan kapasitas bumi dalam menyerap emisi gas sehingga dapat menciptakan keseimbangan antara jumlah emisi gas yang diproduksi dengan kemampuan bumi menyerap emisi gas tersebut.

Transportasi Massal sebagai Upaya Menekan Emisi Gas

Tidak dapat dipungkiri bahwa gas karbon dioksida (CO2) merupakan pencemar utama yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan bakar organik lain. Salah satu produsen CO2 yang sampai saat ini masih marak digunakan adalah alat transportasi berbahan bakar fosil. Masyarakat pun memahami bahwa penggunaan kendaraan pribadi dapat meningkatkan kemacetan dan polusi udara, namun banyak masyarakat juga masih sering menggunakan kendaraan pribadi dalam aktivitas sehari-hari. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan emisi gas adalah meningkatkan minat masyarakat agar beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi massal, yaitu dengan menyediakan sarana transportasi massal yang dapat memenuhi kebutuhan dan kenyamanan masyarakat. Selain harus memberi layanan prima, transportasi massal yang tersedia juga disasarkan untuk menekan jumlah penggunaan sumber energi fosil dengan cara beralih ke tenaga listrik yang lebih ramah lingkungan.

Mengapa meningkatkan penggunaan transportasi massal merupakan hal yang penting untuk dilakukan?

Upaya nyata yang dapat dilakukan oleh masyarakat saat ini guna mendukung tercapainya NZE salah satunya adalah mulai meningatkan kesadaran untuk beralih dan memprioritaskan penggunaan transportasi massal dalam aktivitas sehari-hari. Penggunaan transportasi massal berkapasitas besar dapat menekan emisi gas karena hanya satu kendaraan yang akan memproduksi emisi gas dibandingkan dengan penggunaan banyak kendaraan pribadi yang tentunya akan memproduksi lebih banyak emisi gas. Selain dapat mengurangi emisi gas, penggunaan transportasi massal juga memberikan berbagai manfaat lainnya dari segi ekonomi, sosial, dan kesehatan seperti penurunan tingkat kemacetan lalu lintas, efisiensi biaya transportasi, penurunan polusi udara yang tentunya akan mengurangi emisi polutan udara dan meningkatkan kualitas udara sehingga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat. Dengan penggunaan transportasi massal, masyarakat tidak hanya berkontribusi dalam mendorong tercapainya NZE namun juga akan mendapatkan berbagai manfaat, sehingga dapat menjadi suatu pendorong bagi masyarakat untuk lebih memprioritaskan penggunaan transportasi massal. Telah tersedia berbagai transportasi massal yang dapat menjadi pilihan bagi masyarakat di Indonesia, yaitu TransJakarta dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT), KRL Commuterline di Jabodetabek, dan Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta), TransJogja dengan sistem BRT, dan Light Rapid Transit Palembang (LRT Palembang).

Gambar 2: MRT Jakarta

MRT Jakarta

Tidak hanya di Indonesia, berbagai negara juga tengah berusaha untuk dapat menekan emisi gas dengan mendorong penggunaan transportasi massal. Salah satu contoh adalah arahan pemerintah Prancis yang berfokus pada rencana percepatan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dengan target pengurangan sebesar 50% di tahun 2030. Fokus utama program ini adalah menekan emisi gas pada aktivitas sektor-sektor ekonomi individu, mulai dari industri transportasi hingga rumah tangga. Pada sektor transportasi, berbagai jenis transportasi massal telah disediakan, yaitu Paris Metro yang merupakan jaringan kereta bawah tanah, Tramway, TGV (Train à Grande Vitesse) atau kereta cepat yang menghubungkan Paris dan negara Eropa lainnya, Velib (penyewaan sepeda listrik), dan Autolib (penyewaan mobil listrik). Sampai saat ini, Prancis telah mengurangi produksi emisinya sebesar 25% dibandingkan tahun 1990 (France 24, 2023).

Tantangan dalam Penyediaan Transportasi Massal di Indonesia

Dalam penyediaan sebuah fasilitas transportasi massal, terdapat berbagai tantangan yang menjadi penyebab sulitnya mewujudkan suatu sistem transportasi massal, antara lain keterbatasan anggaran pemerintah pusat/daerah, kapasitas fiskal daerah yang kurang memadai, keterbatasan teknologi yang dimiliki, timbulnya interface risk selama masa konstruksi dan operasi proyek, perlunya dukungan pemerintah pusat maupun daerah baik dari sisi regulasi, perizinan, serta dukungan dari pemangku kepentingan (Sutandi, 2016).

Hal ini menjadi pendorong bagi pemerintah pusat atau daerah untuk mencari alternatif pembiayaan lain demi terciptanya infrastruktur yang memadai bagi masyarakat. Salah satu skema pembiayaan yang dapat dimanfaatkan adalah Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau sering dikenal sebagai skema Public-Private Partnerships (PPP).

Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha adalah sebuah skema penyediaan infrastruktur yang berdasarkan pada kerja sama antara pemerintah dan badan usaha (swasta). Skema KPBU dapat menjawab permasalahan dalam penyediaan transportasi massal karena mempunyai fitur-fitur yang dapat menjadi solusi terhadap tantangan-tantangan dalam penyediaan transportasi massal tersebut di atas. Berikut ini adalah fitur-fitur tersebut:

1. Partisipasi pembiayaan swasta

Skema KPBU memungkinkan keterlibatan sektor swasta dalam pembiayaan proyek infrastruktur transportasi massal yang cenderung tinggi. Pembiayaan proyek dapat berasal dari pihak swasta secara keseluruhan atau sebagian dengan memanfaatkan pinjaman dari lender, sehingga dapat mengurangi beban pembiayaan proyek dan secara tidak langsung berdampak pada APBN/APBD.

2. Pengalokasian risiko

Penerapan prinsip alokasi risiko antara pemerintah dan pihak swasta merupakan hal krusial dalam skema KPBU. Alokasi risiko yang baik akan berfokus pada bagaimana cara untuk menentukan pihak mana yang paling tepat untuk menanggung biaya. Dengan fitur ini, pemerintah dapat mentransfer risiko terkait pembiayaan proyek, teknis, konstruksi, operasi, dan fluktuasi permintaan kepada pihak swasta sebagai pihak yang paling mampu mengelola risiko tersebut.

3. Tersedianya keahlian yang dibutuhkan dalam proyek transportasi massal

Pihak swasta membawa keahlian khusus di berbagai bidang seperti pembangunan infrastruktur, operasi, pemeliharaan, dan teknologi. Mereka dapat menawarkan manajemen proyek yang efisien, memanfaatkan teknologi canggih, dan menghadirkan solusi inovatif untuk meningkatkan kinerja dan kualitas sistem transportasi massal. Mitra swasta seringkali dapat beroperasi dengan fleksibilitas yang lebih besar dan merespons permintaan pasar yang berubah dengan lebih cepat.

4. Inovasi dan adopsi teknologi

Keterlibatan sektor swasta sering kali membawa teknologi inovatif, praktik operasional, dan pendekatan manajemen. Hal ini dapat mengarah pada pengenalan sistem tiket yang canggih, informasi penumpang secara real-time, intelligent traffic management, dan kendaraan hemat energi. Memanfaatkan keahlian sektor swasta dapat mendorong kemajuan teknologi dalam transportasi massal perkotaan, meningkatkan pengalaman pengguna secara keseluruhan dan efisiensi sistem.

5. Efisiensi waktu dan penyelesaian pekerjaan

Proyek dengan skema KPBU umumnya melibatkan kontrak berbasis kinerja yang memberi insentif kepada mitra swasta untuk menyelesaikan proyek dalam jadwal dan anggaran yang ditentukan. Efisiensi sektor swasta dan praktik manajemen proyek dapat membantu mempercepat proses pembangunan, memungkinkan implementasi infrastruktur dan layanan transportasi baru yang lebih cepat. Ini sangat berharga di daerah perkotaan yang berkembang pesat di mana solusi cepat diperlukan untuk mengatasi tantangan transportasi.

6. Efisiensi pengoperasian dan pemeliharaan

Mitra swasta dapat membawa efisiensi dan akuntabilitas pada pengoperasian dan pemeliharaan sistem transportasi massal. Melalui kontrak berbasis kinerja, mereka dapat diberi insentif untuk menyediakan layanan berkualitas tinggi, meningkatkan praktik pemeliharaan, dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Hal ini dapat menghasilkan keandalan layanan yang lebih baik, pengurangan waktu henti layanan, dan peningkatan kepuasan pelanggan.

7. Manajemen aset jangka panjang

Skema KPBU seringkali melibatkan kontrak jangka panjang, yang mengharuskan mitra swasta untuk mengelola dan memelihara aset dalam jangka waktu yang lama. Fokus pada manajemen aset ini dapat memastikan penyediaan layanan transportasi massal dalam jangka waktu yang lama dan berkelanjutan, mendorong pemeliharaan secara rutin, serta peningkatan dan kepatuhan terhadap standar kualitas.

Selain itu fitur-fitur di atas, struktur dalam skema KPBU juga dapat memungkinkan Pemerintah untuk menggunakan sumber pembiayaan lain selain pembiayaan komersial dari kreditur. Sumber pembiayaan lain tersebut antara lain:

  1. Dana Sustainable Development Goals (SDG): merupakan sumber pendanaan yang didedikasikan untuk mendukung implementasi dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan SDG mencakup berbagai aspek pembangunan yang meliputi pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan sosial, perlindungan lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
  2. Green Climate Fund (GCF): GCF merupakan sumber pendanaan utama yang difokuskan pada proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. GCF memberikan hibah, pinjaman, dan modal saham kepada proyek yang memenuhi kriteria kelayakan yang ditetapkan oleh lembaga tersebut.
  3. Dana Lingkungan Global (Global Environment Facility - GEF): GEF adalah lembaga keuangan multilateral yang mendukung proyek-proyek lingkungan global, termasuk perlindungan biodiversitas, pengurangan polusi, dan mitigasi perubahan iklim. GEF menyediakan dana hibah, pinjaman, dan modal saham bagi proyek yang berfokus pada keberlanjutan.
  4. Dana Investasi Hijau (Green Investment Funds): Banyak negara dan lembaga keuangan memiliki dana investasi hijau yang difokuskan pada proyek-proyek berkelanjutan. Dana ini dapat berasal dari sektor swasta, pemerintah, atau gabungan dari keduanya. Mereka biasanya memberikan pendanaan berupa pinjaman atau modal saham kepada proyek-proyek yang memenuhi kriteria lingkungan dan sosial tertentu.
  5. Program Perubahan Iklim dan Pembangunan (Climate Change and Development Program-CC&D): Program CC&D adalah inisiatif yang berfokus pada pembiayaan proyek-proyek yang mempromosikan mitigasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Program ini dapat mencakup berbagai sumber pendanaan, termasuk dana publik, swasta, dan donasi.

Saat ini, penyediaan infrastruktur transportasi massal yang telah tersedia dengan memanfaatkan skema KPBU adalah Proyek Kereta Api Makassar Pare-pare yang diwujudkan melalui skema blended finance antara SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) dan KPBU. Jalur Kereta Api dengan panjang total 142 km ini dibangun dengan tujuan untuk tercapainya percepatan distribusi pembangunan infrastruktur nasional sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019 (Indonesia Infrastructure Finance, 2021). Dengan memanfaatkan berbagai sumber pendanaan serta alternatif skema penyediaan infrastruktur dapat membantu mewujudkan penyediaan layanan transportasi massal yang bermanfaat bagi masyarakat umum.

Penutup

Terjadinya fenomena pemanasan global dan perubahan iklim saat ini memang merupakan akibat dari aktivitas-aktivitas manusia yang tanpa disadari mengakibatkan penumpukan emisi gas yang berdampak signifikan terhadap lingkungan serta kehidupan manusia itu sendiri. Sudah semestinya hal ini dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa masing-masing pribadi memiliki tanggung jawab dalam melakukan upaya penanggulangan yaitu dengan menekan emisi gas, salah satu upaya nyata yang bisa dilakukan adalah dengan memprioritaskan penggunaan transportasi massal demi berkontribusi dalam mewujudkan keselamatan bumi di masa depan.

Meskipun saat ini telah tersedia jenis-jenis transportasi massal di Indonesia, namun masih banyak daerah yang belum dapat menikmati layanan tersebut sehingga kebutuhan penyediaan layanan ini memang menjadi tantangan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dapat mewujudkannya. Dengan tersedianya skema pembiayaan alternatif KPBU dan skema pembiayaan kreatif lainnya, serta tersedianya sumber-sumber pendanaan yang ada, Pemerintah (baik pusat maupun daerah) diharapkan dapat lebih terdorong untuk segera merealisasikan penyediaan transportasi massal dalam rangka menyediakan layanan transportasi yang layak kepada masyarakat dan guna berkontribusi dalam mewujudkan Net Zero Emission.

 

Daftar Pustaka:

Diterbitkan pada: 17 Juli 2023