Penjaminan Pemerintah dalam Proyek KPBU: Lessons Learnt, Prinsip, dan Implementasi


Oleh: Anggi Putri, Ega Christy, Herlina Oktavianti - Dit. PDPPI, DJPPR

Beberapa dari kita pada awal mempelajari implementasi skema KPBU di Indonesia pasti pernah bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan penjaminan, mengapa pemerintah menetapkan kebijakan mengenai penjaminan, apa tujuannya, dan bagaimana pemerintah mengelola dampaknya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah hal yang awam untuk dikemukakan setiap kita mempelajari suatu hal yang baru. Selayaknya kita belajar bagaimana untuk berhitung pada waktu kecil, kita mungkin bertanya mengapa saya harus belajar berhitung, apa tujuannya, dan bagaimana cara berhitung. Pada kesempatan kali ini, kita akan mengungkap sejarah di balik penetapan kebijakan penjaminan pemerintah atas proyek KPBU serta bagaimana pemerintah mengelola dampak dari pemberian penjaminan tersebut.

Penjaminan Pemerintah

Ilustrasi Proyek Infrastruktur

Penjaminan Pemerintah

Menilik kembali pengadaan proyek-proyek Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) sebelum tahun 1997, studi yang dilakukan oleh Castalia menemukan bahwa pengadaan  proyek-proyek KPS tersebut belum dilaksanakan secara kompetitif seperti saat ini1. Perlu diketahui bahwa pada saat itu penjaminan pemerintah sudah diberikan untuk proyek-proyek KPS melalui letter of support, namun penjaminan diberikan dalam bentuk “blanket”. Penjaminan yang diberikan hanya mencakup hal-hal umum dan belum disertai alokasi risiko yang jelas antara pemerintah dengan swasta. Penjaminan pemerintah belum jelas mengemukakan mengenai kondisi default seperti apa yang mengharuskan pemerintah melakukan pembayaran kompensasi. Penentuan jumlah kompensasi yang harus dibayar pun belum jelas diatur dalam letter of support tersebut. 

Krisis moneter pada tahun 1997 yang menghantam perekonomian Indonesia menyebabkan pemerintah harus menanggung biaya fiskal yang begitu besar. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk melakukan renegosiasi bahkan pembatalan kontrak atas beberapa proyek KPS. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian bagi pihak swasta. Pihak swasta yang tidak puas atas kebijakan pemerintah tersebut mengajukan gugatannya kepada pemerintah, salah satunya adalah Himpurna. 

Mundur sejenak ke masa sebelumnya pada awal 1990-an, PLN menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) dengan 27 Independent Power Producer (IPP) yang merupakan konsorsium dari investor lokal dan internasional dan Himpurna merupakan salah satunya. Kementerian Keuangan menerbitkan letter of support untuk menjamin pembayaran pembelian listrik kepada IPP. Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 membuat pemerintah mengeluarkan Keppres nomor 39 tahun 1997 dalam rangka penanggulangan krisis. Kebijakan ini berimbas pada penangguhan proyek-proyek pemerintah, termasuk Himpurna. Atas penangguhan proyek, Himpurna mengajukan gugatan yang kemudian diaminkan arbitrase internasional dengan mewajibkan PLN membayar kompensasi kepada Himpurna2. Kasus Himpurna dan kasus pembatalan proyek KPS lainnya menimbulkan keraguan di pihak investor untuk berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Investor pada akhirnya menuntut adanya suatu tools yang dapat memberikan security yang lebih besar dalam berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur pemerintah1.

Belajar dari pengalaman pahit yang dialami pada masa krisis moneter tahun 1997 tersebut, gugatan dan kerugian fiskal yang harus dihadapi pemerintah atas kebijakan renegosiasi dan pembatalan kontrak merupakan imbas dari kurang jelasnya alokasi risiko atas penjaminan yang diberikan pemerintah. Pemerintah menyadari bahwa penjaminan memiliki peranan penting dalam keberlangsungan proyek dan memberikan keyakinan kepada investor untuk berinvestasi. Penjaminan yang diberikan haruslah terukur dan disusun dengan prinsip alokasi risiko, serta pengelolaan risiko fiskal yang prudent, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan fiskal. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah mengambil inisiatif dengan membentuk suatu kebijakan penjaminan yang diharapkan dapat menjadi tools yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi investor untuk berinvestasi pada proyek infrastruktur pemerintah.

Pemerintah berkomitmen untuk menjamin risiko-risiko infrastruktur yang tidak dapat dikendalikan oleh pihak swasta berdasarkan alokasi risiko yang efisien. Hal ini merupakan perwujudan dari mekanisme penjaminan yang terukur dan prudent dengan berorientasi pada keberlanjutan fiskal. Penjaminan yang diberikan berdasarkan alokasi risiko yang mempertimbangkan siapa pihak yang paling mampu mengelola risiko tersebut dapat mencegah paparan langsung terhadap APBN atas segala risiko proyek infrastruktur yang ada sehingga kesinambungan APBN dapat terjaga. Dengan demikian, penjaminan pemerintah atas proyek infrastruktur bertujuan pada dua hal, yakni sebagai dongkrak terhadap kredibilitas suatu proyek infrastruktur dan ring fencing APBN dari segala risiko yang ada dalam proyek infrastruktur.

Namun seperti halnya dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, setiap tindakan pemerintah pasti memiliki eksternalitas positif dan negatif yang harus dikelola dengan baik. Komitmen pemerintah untuk menjamin risiko-risiko infrastruktur membawa konsekuensi pada kesinambungan fiskal negara. Pemerintah menjadi lebih terekspos dengan risiko yang cukup besar dengan biaya yang tidak sedikit. Dapat dikatakan bahwa komitmen masa depan pemerintah terkait penjaminan untuk proyek infrastruktur ini tetap memiliki pengaruh yang sama terhadap kondisi fiskal, seperti halnya utang pemerintah.

Setidaknya menurut Polackova dan Schick (2002), risiko fiskal terbagi menjadi empat kelompok, yakni risiko fiskal yang bersifat langsung (direct), kontijensi, eksplisit, dan implisit (Gambar 1). Penjaminan pemerintah atas proyek KPBU sendiri masuk dalam kelompok kewajiban kontinjensi eksplisit karena keberadaan, jumlah, dan waktu pembayarannya belum pasti tergantung pada keterjadian peristiwa masa depan yang telah diatur dalam kontrak kerjasama. Ketidakpastian ini menjadi sumber utama dalam komplikasi penentuan biaya fiskal dari proyek KPBU dan tentu saja berdampak pada pengelolaan fiskal dari pelaksanaan skema KPBU3.

Prinsip yang perlu dipegang pemerintah dalam pengelolaan risiko fiskal adalah mengontrol kewajiban kontinjen layaknya kewajiban langsung (direct) dan mengendalikan kewajiban implisit layaknya kewajiban eksplisit4. Prinsip konservatif menjadi hal yang utama dalam pengelolaan kewajiban pemerintah sebab terdapat klausula cross default dalam kewajiban/utang pemerintah, hal mana apabila pemerintah gagal melakukan pembayaran satu kewajiban (anggap saja kewajiban kontinjensi dari penjaminan proyek KPBU), maka pemerintah dianggap gagal juga dalam melunasi kewajiban yang lain. Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa mengelola kewajiban kontinjen yang berasal dari pemberian penjaminan infrastruktur skema KPBU sama pentingnya dengan mengelola seluruh utang pemerintah.

Gambar 1

Merujuk pada studi empiris Bank Dunia, diketahui bahwa sebagian besar kontrak KPBU diperlakukan secara off-balance sheet4. Perlakuan off-balance sheet ini seolah-olah menyampaikan pesan bahwa penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU tidak akan membebani APBN, padahal terdapat komitmen Pemerintah di masa depan untuk melakukan pembayaran kompensasi kepada pihak swasta yang pada akhirnya pasti mempengaruhi APBN. Pada konteks penjaminan, pemerintah berkewajiban untuk membayar kompensasi kepada swasta apabila terdapat klaim atas kegagalan pemenuhan kewajiban pemerintah sesuai kesepakatan alokasi risiko.

Sebagai langkah konkrit pemberian penjaminan pemerintah dalam rangka meningkatkan creditworthiness proyek dan ring fencing APBN, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang  Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan  Infrastruktur (Perpres 78/2010). Regulasi dimaksud juga menjadi dasar pembentukan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia selaku Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) dalam rangka menjaga kesinambungan APBN.  Pembentukkan mekanisme satu pelaksana (single window policy) melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia ini diyakini dapat mencapai tujuan creditworthiness proyek KPBU dan ring fencing APBN menjadi lebih efisien dan efektif. Selain itu, juga sebagai mitigasi atas keterbatasan APBN untuk pengalokasian dana kewajiban penjaminan.

Baca juga: Penjaminan Infrastruktur

Meskipun telah memiliki mekanisme BUPI, pemerintah tetap akan terlibat dalam pemberian penjaminan infrastruktur untuk proyek KPBU dalam hal kondisi finansial PT PII tidak memadai untuk menjamin proyek. Peran pemerintah disini akan kembali membuat posisi pemerintah berisiko. Lalu, bagaimana pemerintah mengantisipasi komitmen-komitmen pembayaran kompensasi di masa depan yang sifatnya pun tidak pasti? Apakah pemerintah akan menyiapkan anggaran sebesar investasi yang sudah ditanamkan investor di setiap proyek secara langsung? That is a lot of effort. Alih-alih melakukan hal dimaksud, pemerintah melakukan upaya pencadangan anggaran atas kemungkinan default terjadi. Hal ini dilakukan demi menjaga kepercayaan, rasa aman, dan memberikan sinyal bagi investor bahwa investasi infrastruktur di Indonesia kondusif.

Lalu seberapa banyak anggaran yang harus dicadangkan untuk menjaga kepercayaan tersebut dan bagaimana melakukan pengelolaan dananya? Dalam konteks penjaminan pemerintah pada proyek KPBU, dana pencadangan penjaminan pemerintah harus memperhitungkan keseluruhan modal investor yang sudah dikapitalisasi dalam proyek yang jumlahnya cukup besar. Besarnya eksposur dimaksud dapat menjadi tekanan besar bagi APBN jika terjadi klaim atas risiko yang dijamin. Dengan alasan tersebut, pemerintah dhi. Kementerian Keuangan menyiapkan suatu rekening terpisah untuk menampung alokasi anggaran dana cadangan terkait kewajiban penjaminan pemerintah. Menimbang cost dan benefit dari upaya pencadangan dimaksud, Kementerian Keuangan meyakini bahwa melindungi kredibilitas pemerintah dari ancaman ketidakmampuan melakukan pembayaran kewajiban penjaminan saat klaim terjadi, lebih penting dari segala biaya yang timbul dari pencadangan tersebut.

Di sisi lain, karena sifatnya yang tidak pasti maka perhitungan dana cadangan penjaminan pemerintah juga harus mempertimbangkan probability of default atas risiko yang dijamin. Dengan adanya variabel probability of default tersebut, hal yang paling pertama wajib dilakukan adalah memitigasi agar risiko-risiko infrastruktur tidak terjadi. Oleh karena itu, pencadangan dana penjaminan pemerintah tidak menggugurkan kewajiban bagi para pemangku kepentingan untuk meminimalisir kemungkinan keterjadian risiko. 

Sekali lagi, perlu menjadi perhatian bersama bahwa upaya pencadangan dana penjaminan pemerintah sebagai bentuk pengelolaan kewajiban kontinjensi ini bukan berarti pemerintah bersiap membayar default, melainkan bahwa pemerintah melalui koordinasi lintas Kementerian/Lembaga akan berupaya secara optimal untuk memastikan agar tidak akan terjadi default. Transparansi mengenai skema KPBU dan konsekuensinya termasuk terkait penjaminan merupakan kunci dalam pengelolaan risiko dan biaya fiskal. Pengungkapan program, proyek, dan eksposur dari skema KPBU yang ada saat ini maupun akan datang telah dilakukan pada dokumen penganggaran hingga laporan keuangan. Tantangan dalam penilaian kewajiban kontinjen akibat pemberian penjaminan pemerintah ini tidak boleh menjadi alasan dari keputusasaan dalam mengelola penjaminan.

Secara garis besar, penjaminan pemerintah melalui penerbitan Perpres 78/2010 dibentuk untuk menjawab keraguan investor atas kredibilitas proyek KPBU sekaligus untuk memperkuat mekanisme pemberian penjaminan itu sendiri. Pemerintah selalu berupaya untuk memastikan penjaminan yang diberikan tidak akan terjadi default. Namun, pemerintah juga tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak yang akan dihadapi di masa yang akan datang melalui pembentukan dana cadangan penjaminan. Kembali pada semangat kita bersama bahwa kebijakan pengelolaan kewajiban kontinjensi atas penjaminan pemerintah untuk proyek KPBU ditujukan untuk menjaga kesinambungan fiskal kini dan nanti.


Referensi:

  1. Castalia. (2007). Guarantee Fund – A Tool for Managing Government Risks in Indonesia’s Infrastructure PPPs. Report to The World Bank.
  2. Badra, Ketut Bayu. (2008). Tinjauan atas Surat Menteri Keuangan No: S-188/MK.016/1996 dalam Kasus Patuha Power Ltd V. Republic of Indonesia. Universitas Indonesia.
  3. Hemming, Richard. (2006). Public-Private Partnerships. Presented at the high-level seminar: Realizing the Potential for Profitable Investment in Africa Organized by the IMF Institute and the Joint Africa Institute.
  4. Suhendra, Maman, Eko Nur Surachman, dan Dian Handayani. (2020). Analisis Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi Penjaminan Infrastruktur. PKN STAN.