Minimum Revenue Guarantee (MRG) pada Proyek Infrastruktur


Pembiayaan Kreatif: Sebuah Catatan tentang “Minimum Revenue Guarantee” pada Proyek Infrastruktur
Penulis: Dian Mayasari
Pembimbing: Dina Irvina

Saat ini di Indonesia, kehadiran pihak swasta atau badan usaha tampaknya masih menjadi harapan pemerintah dalam mendukung program prioritas Pemerintah di bidang infrastruktur. Hal ini dapat kita lihat pada adanya peningkatan jumlah kebutuhan investasi swasta pada proyek infrastruktur di RPJMN sekitar 34% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Peningkatan ini ternyata berbanding terbalik dengan kapasitas pendanaan dari APBN/D. Di RPJMN 2015-2019, porsi pendanaan APBN/D ada sekitar 41% dari total kebutuhan, sementara di tahun 2020-2024, persentase ini menurun menjadi 37% saja. Untuk mengisi financing gap ini, Pemerintah terus mendorong pembiayaan kreatif melalui kerja sama dengan berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu upaya yang dilakukan di beberapa negara adalah dengan memberikan Minimum Revenue Guarantee (MRG).

Minimun Revenue Guarantee (MRG)

Ilustrasi Metro Line

Korea Selatan

Salah satu contoh penerapan MRG di Korea Selatan adalah pada Proyek Metro Line 9. Proyek ini dikerjasamakan Pemerintah Korea Selatan dengan konsorsium Metro Line 9 selama 30 tahun dengan nilai proyek sebesar USD 1,2 milyar. Sumber pendapatan proyek dibagi menjadi 2 yaitu, (i) pendapatan dari penyediaan layanan transportasi (kapasitas untuk 760.000 penumpang/hari) dan (ii) pendapatan dari bisnis komersil seperti sewa kios dan periklanan disekitar area stasiun.

Pada awal perjanjian kerja sama, MRG distrukturkan untuk memastikan pendapatan selama 15 tahun pertama saja dengan kondisi sebagai berikut: jika pendapatan aktual kurang dari 50% maka Pemerintah akan membayar 90% dari level MRG yang telah ditentukan pada periode 5 tahun pertama; Untuk 5 tahun selanjutnya, Pemerintah akan membayar 80%; sedangkan untuk 5 tahun terakhir, Pemerintah hanya menjamin 70% MRG. Dari pengaturan tersebut, ternyata Pemerintah harus mengeluarkan biaya sekitar USD 154,22 juta untuk periode 2009 -2013 dan angka tersebut dirasa sangat besar.

Oleh karena itu, MRG akhirnya digantikan dengan cost-compensation system, hal mana Pemerintah hanya akan menkompensasi kerugian apabila pendapatan aktual tidak dapat memenuhi biaya operasional. Dari penerapan mekanisme ini, Pemerintah dapat mengurangi alokasi dukungan Pemerintah dari sekitar USD 4,9 milyar menjadi USD 1.9 milyar.

Brasil

Pengalaman negara lain dalam impelementasi MRG juga terjadi di Brasil. Tahun 2005, Pemerintah Sao Paulo menerapkan MRG pada proyek transportasi yaitu Metro Line 4 dengan masa konsesi 30 tahun. Mirip dengan Korea Selatan, di proyek ini Pemerintah dan badan usaha sepakat untuk menentukan level MRG sebagai thresholds minimum pendapatan yang harus diterima badan usaha. Bedanya, di sini terdapat pengaturan untuk menyerahkan extra profit proyek kepada Pemerintah dengan mekanisme sebagai berikut :

  1. Pemerintah Sao Paulo dan badan usaha menyepakati adanya varian 10% level minimum pendapatan yang artinya jika pendapatan aktual berada < 10% dibawah level minimum maka pemerintah tidak akan memberi subsidi atau kompensasi. Ini dianggap sebagai risk sharing kepada badan usaha. Begitu pun jika pendapatan aktual < 10% di atas level minimum maka masih menjadi hak badan usaha. Hal ini dimaksudkan agar badan usaha tetap termotivasi untuk meningkatkan performa dalam pelayanan transportasi.
  2. Untuk 10% kedua setelah nilai varian atau rentang antara 10-20%, maka pemerintah akan mensubsidi kekurangan pendapatan sebesar 60% dari threshold minimum yang disepakati. Jika pendapatan aktual dibawah level minimum lebih dari 20%, maka pemerintah akan mengganti lebih besar yakni 90%. Hal ini juga berlaku jika pendapatan melebih level minimum maka akan ada sharing profit dengan pemerintah. Apabila ternyata penerimaan dari proyek lebih dari 10% diatas threshold, maka akan menjadi penerimaan Pemerintah.  Ilustrasi mekanisme MRG di Brasil dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 1 | Minimum Revenue & Revenue Sharing Threshold in the 4th Line of Metro

 

Dari contoh pengalaman kedua negara tersebut, secara umum kita memperoleh gambaran atas konsep MRG yang selama ini diterapkan. Namun sebelum menyimpulkan konsep MRG, terlebih dahulu perlu kita lihat definisi dan konsep MRG berdasarkan publikasi ilmiah yang beredar. Berikut kita coba telaah lebih lanjut, hal-hal tersebut.

Apa itu MRG?

Dari beberapa publikasi ilmiah, secara umum MRG dikatakan sebagai jaminan yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha untuk memastikan pendapatan minimum dari proyek. Jaminan ini ditujukan untuk mengurangi risiko finansial pihak swasta khususnya risiko demand dan menjadi salah satu insentif agar pihak swasta mau berinvestasi dalam proyek (Nahdi, 2015). Pendapatan atau revenue yang dijamin, bisa spesifik pada jumlah tertentu, output/produk, atau bentuk pendapatan lain pada proyek (PWC, 2022).

Secara sederhana, pada jurnal Minimum Revenue Guarantee Valuation in PPP Projects Under a Mean Reverting Process  yang ditulis oleh kaum akademisi Universitas Kolombia dan Universitas Rio de Janeiro (Quimbayo, Carlos et al., 2018), disebutkan bahwa selisih MRG (Pt) dan pendapatan aktual  (Rt) inilah yang nantinya akan membutuhkan dukungan pemerintah sebagaimana diilustrasikan dengan rumus berikut :

 ….(1)

Level MRG (Pt) dapat dirumuskan sebagai berikut :

 ….(2)

dimana merupakan minimum volume layanan (atau dalam proyek tol adalah volume kendaraan). Jika volume aktual (Tt) kurang dari  (Tt <  ) maka pemerintah akan mengeluarkan dukungan pemerintah. Sementara apabila Tt lebih atau sama dengan  (Tt >  ) maka tidak dibutuhkan dukungan pemerintah.

Meskipun secara sederhana konsep MRG digambarkan demikian, penerapan MRG ini cukup beragam tergantung dari kajian pada masing-masing proyek dan kesepakatan antara pemerintah dan badan usaha seperti yang dilakukan di Korea Selatan dan Brasil. Berdasarkan Shan (2010), terdapat beberapa tipe mekanisme pemberian MRG antara lain sebagai berikut:

1. Revenue guarantee put options

Badan usaha diberikan hak untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah atas kurangnya penerimaan badan usaha dari proyek. Apabila penerimaan aktual dari proyek dibawah level MRG yang disepakati dalam perjanjian kerja sama, maka pemerintah harus membayar selisihnya (put options). Tentunya pembayaran ini juga diberikan dengan terlebih dahulu memverifikasi output badan usaha sebagaimana disepakati. Namun, jika penerimaan melebihi level MRG maka tidak akan ada pembayaran yang diberikan pemerintah dan penerimaan tetap menjadi hak badan usaha.

2. Revenue Collar 

Pada dasarnya, konsep revenue collar lebih kompleks dari put option. Selain memberikan kepastian penerimaan minimum, pemerintah diberi hak untuk mengklaim kelebihan pendapatan sampai level tertentu atau disebut call option. Seperti pada gambar dibawah ini, hak penerimaan badan usaha hanya meliputi 1’2’3’4’. Apabila ada kelebihan penerimaan di atas 3’ maka akan menjadi penerimaan pemerintah. Call option sebagai salah satu mekanisme revenue sharing dalam proyek infrastruktur  biasa juga disebut clawback. Jadi singkatnya, pada revenue collar option ketika pemerintah menerapkan MRG, dibuka mekanisme revenue sharing jika pendapatan aktual melebih level tertentu diatar MRG.  Penerapan collar option ini, memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan efektivitas dari manajemen risiko (Shan, 2010).

Gambar 2 | Pembayaran Konsorsium dengan collar option

A diagram of a sales curve

Description automatically generated with medium confidence

 

Sebelum masuk kepada penentuan MRG, pemerintah umumnya melakukan studi dengan menggunakan simulasi monte carlo untuk melihat volatilitas potensi penerimaan berdasarkan faktor seperti perkiraan volume kendaraan dan tarif, yang kemudian dikompensasi terlebih dahulu kepada lamanya masa konsesi. Dalam publikasi Hongyu Jin et al. (2019) pada jurnal berjudul Determining concession periods & minimum revenue guarantees in PPP agreements, dinyatakan bahwa lamanya masa konsesi cenderung berbanding terbalik dengan MRG, tergantung dari probabilitas return rate of investment pada proyek tersebut. Jika konsesi lebih dari 24 tahun dan probabilitas return rate of investment mencapai 70%, maka MRG tidak diperlukan karena jelas proyek dikatakan layakan secara finansial. Namun apabila konsesi tidak cukup panjang bisa jadi badan usaha membutuhkan MRG untuk menjaga revenue stream dengan terlebih dahulu memperhitungkan juga probabilitas distribusi variabel terkait return rate of investment dan NPV.

MRG yang secara konsep ditujukan untuk meng-cover risiko demand atau traffic pada proyek transportasi, memang menjadi salah satu bentuk dukungan dari pemerintah yang diminta oleh calon investor untuk mengamankan investasinya. Pada proyek infrastruktur yang umumnya masa konsesinya lama, membuat risiko demand menjadi risiko yang sebenarnya sulit dikelola baik dari sisi badan usaha maupun pemerintah. Namun untuk tetap memberikan kenyamanan dan menarik kontribusi badan usaha dalam pembiayaan infrastruktur, pemerintah dapat mengambil kebijakan memberikan penjaminan atas pendapatan pada level tertentu dengan tetap berpedoman pada value for money.

Baca juga: Mengenal Value for Money dalam Penyediaan Infrastruktur

Apa perbedaan MRG dengan Penjaminan di KPBU Infrastruktur

Saat menyebut MRG, mungkin sebagian orang menganggap bahwa MRG sama dengan penjaminan infrastruktur yang diberikan Pemerintah dalam penyediaan infrastrukur. Di satu sisi, hal ini tidak sepenuhnya salah karena sejatinya baik MRG maupun penjaminan infrastruktur merupakah financial obligation dari Pemerintah yang sifatnya kontinjensi dan diberikan untuk menarik minat badan usaha untuk berinvestasi di infrastruktur. Namun ternyata jika dilihat dari beberapa faktor lain, konsep MRG ini juga memiliki perbedaan dengan konsep penjaminan infrastruktur di Indonesia yang diatur pada Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2020 (Perpres 78/2010).

Dalam konsep penjaminan infrastruktur yang diatur sesuai Perpres 78/2010, penjaminan infrastruktur ditujukan untuk menjamin kewajiban finansial Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK) berdasarkan Perjanjian Penjaminan. Kewajiban finansial yang dimaksud di sini merupakan kompensasi finansial PJPK kepada badan usaha atas terjadinya Risiko Infrastruktur yang menjadi tanggung jawab PJPK. Lebih lanjut, Risiko Infrastruktur didefinisikan sebagai peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada Proyek Kerja Sama selama berlakunya Perjanjian Kerja Sama yang dapat mempengaruhi secara negatif investasi Badan Usaha, yang meliputi ekuitas dan pinjaman dari pihak ketiga (Pasal 1, Perpres 78/2010). Sederhananya, dapat dikatakan bahwa Penjaminan Infrastruktur hanya akan diberikan untuk meng-cover Risko Infrastruktur yang berbasis pada “peristiwa/eventsebatas peristiwa yang menjadi tanggung jawab PJPK yang berpotensi menurunkan rate of return badan usaha sebagaimana diatur dan disepakati dalam Perjanjian Penjaminan.

Sementara pada MRG, penjaminan diberikan untuk menjaga level pendapatan tertentu pada badan usaha sehingga badan usaha tetap memperoleh rate of return yang disepakati (termasuk membayar kewajiban debt service kepada lender). Penjaminan ini dihitung berdasarkan deviasi dari target pendapatan minimum (MRG) dengan pendapatan aktual. Jadi MRG ditujukan untuk menutup risiko pendapatan tidak peduli apakah penurunan pendapatan tersebut disebabkan oleh trigerring event yang menjadi tanggung jawab Pemerintah atau bukan.

Tabel 1 | Perbedaan Utama Konsep MRG dan Penjaminan Infrastruktur

 

Risiko

Trigerring Event

Minimum Revenue Guarantee

Demand risk

Tidak berpatokan kepada penyebab awal adanya penurunan pendapatan dibawah  level pendapatan yang dijamin MRG

Penjaminan Infrastruktur

Infrastructure Risk

(spektrum lebih luas tidak hanya terkait demand)

Memastikan penyebab risiko berasal dari aksi atau tidak adanya aksi pemerintah yang menyebabkan Risiko Infrastruktur terjadi dan berpengaruh negatif pada return badan usaha sesuai Perjanjian Penjaminan

 

Bagaimana Potensi Penerapan MRG pada Proyek KPBU Di Indonesia

Sebenarnya sangat menarik membahas MRG yang disandingkan dengan Penjaminan Infrastruktur. Jika dilihat dari kebijakan penjaminan KPBU di Indonesia dan MRG dikategorikan sebagai penjaminan, maka konsep MRG tampaknya tidak dapat serta merta diterapkan sebagai Penjaminan Infrastruktur karena tidak mempertimbangkan faktor risk event dan prinsip alokasi risiko sesuai Perpres 78/2010. Di sisi lain secara konsep, MRG ini memiliki kesamaan dengan konsep Availability Payment yaitu berfokus kepada risiko permintaan (demand). Namun perbedaan mendasar adalah pada sifatnya, MRG bersifat kontinjensi sedangkan Availability Payment bersifat kewajiban pasti yang harus dibayarkan oleh Pemerintah.

Terlepas bahwa terdapat contoh ketidakberhasilan MRG seperti pada Proyek Metro Line 9 Korea Selatan, sebenarnya MRG punya value yang dapat digunakan untuk menstimulasi kontribusi badan usaha pada proyek infrastruktur seperti :

  1. Memungkinkan adanya optimalisasi VfM karena bisa dikombinasi dengan skema clawback (collar option).
  2. Meningkatkan kepastian jalannya proyek karena penerimaan badan usaha dijamin sampai dengan level tertentu.
  3. Lebih menarik bagi badan usaha terutama untuk proyek greenfield ataupun untuk proyek proyek perintis melalui skema kerjasama pemerintah dan swasta.

Di sisi lain, jelas MRG punya kelemahan jika tidak disertai dengan penyiapan yang cermat. Antara lain yaitu MRG menitik beratkan pada akurasi valuasi, yang mana jika Pemerintah keliru dalam menghitung probabilitas proyeksi penerimaan proyek dan variabel-variabel yang mempengaruhi maka biaya MRG akan sangat mahal dan membebani Pemerintah (seperti yang pernah terjadi di Korea Selatan). Selain itu, ada kecenderungan badan usaha melakukan moral hazard karena tidak terinsentif untuk meningkatkan performa mengingat demand risk untuk level tertentu telah dijamin Pemerintah.

Untuk itu, dalam hal pemerintah akan mendalami implementasi MRG untuk proyek infrastruktur KPBU maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

  1. Memperkuat basis data dan metode perhitungan VfM serta melakukan simulasi (misalnya dengan monte carlo) untuk mendapat data yang akurat dalam penentuan struktur proyek yang bankable (perlu perpanjangan konsesi/AP/MRG/dll.)
  2. Dalam hal MRG dianggap sebagai pilihan terbaik maka perlu dipertimbangkan juga adanya mekanisme clawback untuk memaksimalkan VfM proyek.
  3. Perlu ada regulasi yang mengatur tentang implementasi MRG karena regulasi penjaminan yang ada sekarang tidak sejalan dengan konsep MRG yang berlaku umum.   

Sebagai tambahan, dapat diperdalam opsi sinkronisasi konsep Penjaminan Infrastruktur dan MRG salah satunya dengan identifikasi trigerring event yang menyebabkan penuruan pendapatan badan usaha sebagaimana dilakukan di Penjaminan Infrastruktur. Kalau penurunan pendapatan disebabkan karena perubahan kebijakan, maka pemerintah wajib meng-cover kekurangannya. Namun dalam hal penurunan penerimaan karena kurang optimalnya layanan infrastruktur, sebaiknya risiko ini menjadi tanggung jawab badan usaha atau Pemerintah bersedia membagi risikonya (risk sharing) sehingga badan usaha juga termotivasi melakukan inovasi dan pengoptimalan layanan.

Penutup

MRG dapat menjadi opsi bagi pemerintah untuk menstimulus investasi di bidang infrastruktur. Namun tentunya, ada kondisi prasyarat yang perlu diperhatikan sebelum memilih kebijakan ini. MRG berpotensi memberikan fiscal burden terutama pada awal operasional proyek karena biasanya volume pendapatan belum maksimal. Untuk itu pemerintah perlu mengukur kapasitas fiskal yang dimiliki. Lebih lanjut, diperlukan analisis dan perhitungan yang matang berdasarkan data-data yang reliable untuk menentukan level MRG yang diterapkan pada suatu proyek

Apabila kebijakan MRG ingin diterapkan untuk suatu proyek, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memvaluasi dan sinkronisasi dengan kebijakan pemerintah lainnya. Pemerintah juga harus memastikan level MRG yang diberikan sehingga proyek tidak menjadi double subsidi karena umumnya pemerintah juga akan mengatur tarif layanan kepada masyarakat. Beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih dalam antara lain; Bagaimana meletakkan MRG ke dalam ketentuan kebijakan yang tepat di antara keberadaan Penjaminan Infrastruktur dan Availability Payment; Apa fokus dari adanya MRG, apakah untuk mengeliminasi risiko permintaan?; Bagaimana membedakan penggunaan Availability Payment dan MRG apabila fokusnya sama-sama untuk mengeliminasi risiko permintaan?;  Apakah MRG perlu mempertimbangkan triggering event? Selain analisa yang lebih matang atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentunya penerapan MRG juga memerlukan adanya pengaturan terkait mekanisme pemberian dan pertanggung jawabannya agar pelaksanaannya tetap sejalan dengan tujuan pengelolaan keuangan.

 

REFERENSI

  • Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur.
  • B.Ashuri, et al. A Valuation Model for Choosing the Optimal Minimum Revenue Guarantee (MRG) in a Highway Project : A Real Option Approach
  • Kim, Kang-Soo. Valuation of the Minimum Revenue Guarantee in the Urban Railway PPP Project. 2013.
  • Lu, Jason Zhengrong, et al. Government Guarantess for Mobilizing Private Investment in Infrastructure. World Bank. 2019.
  • Vassallo, J.M and Antonio Sanchez Solino. Minimum Income Guarantee in Transportation Infrastructure Concessions in Chile. 2006.
  • Verdouw, Wim. Sharing Risk and Revenues from PPPs: Perspectives from current practice in the road sector. 2016.\

Tanggal terbit: 22 Agustus 2023