Kontribusi Presidensi G20 Indonesia 2022 dalam Mempersempit Disparitas Digital


Oleh: Muhammad Bagus Alfian

Pandemi Covid-19 telah memaksa banyak pemerintahan mengambil langkah pembatasan mobilitas untuk menekan tingkat penularan dan angka kematian. Dampak dari kebijakan tersebut masih dirasakan sampai hari ini seperti peningkatan angka PHK, penutupan sekolah dan perguruan tinggi, penurunan produksi dan konsumsi yang akhirnya berujung pada perlambatan ekonomi. Sisi positifnya, Covid-19 datang di saat transformasi dan adopsi digital tengah menjadi tren yang berkembang di seluruh dunia. Kita mungkin tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa remote working, online learning, telehealth, dan online grocery akan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari saat ini. Faktanya, adopsi digital kini justru menjadi kunci ketahanan perekonomian banyak negara di masa pandemi. Dalam salah satu laporannya, International Telecommunication Union (ITU) mengidentifikasi dan merangkum beberapa hasil riset yang menyimpulkan bahwa negara-negara dengan infrastruktur broadband yang memadai dan tingkat digitalisasi yang lebih tinggi cenderung mengalami penurunan PDB yang lebih minimal dan juga lebih mampu mengurangi dampak negatif pandemi1.

Disparitas Digital

Ilustrasi Berselancar Internet

Baca juga: Dampak Pandemi Terhadap Pembangunan Infrastruktur

Di satu sisi, pandemi juga menguak tantangan utama dalam mempercepat adopsi digital di negara berkembang seperti Indonesia, yaitu disparitas digital (digital divide) dan tingkat kapasitas dan kualitas jaringan broadband. Digital divide merujuk pada kesenjangan pemanfaatan teknologi digital akibat dari tidak meratanya akses terhadap konektivitas internet. Kesenjangan ini dapat terjadi karena suatu populasi penduduk secara geografis mungkin belum terlayani (unserved) jaringan konektivitas internet atau biaya langganan yang tidak terjangkau bagi kelompok masyarakat tertentu. Adopsi digital juga mensyaratkan tersedianya jaringan broadband dengan kapasitas dan kualitas yang handal sehingga masyarakat dapat memanfaatkan beragam perkembangan teknologi digital secara optimal. Masih dalam laporan yang sama, ITU juga mencatat bahwa pandemi telah meningkatkan lalu lintas internet secara signifikan di seluruh dunia dan mendapatkan kesimpulan bahwa negara-negara yang memiliki infrastruktur ultra-broadband lebih mampu bertahan dari perlambatan latensi dan kecepatan unduh.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah sejak lama menyadari hal ini. Kebijakan pembangunan masa lalu memang belum secara optimal mendukung pemerataan wilayah sehingga menciptakan disparitas kesejahteraan antar pulau termasuk akses terhadap informasi dan telekomunikasi. Untuk menangani isu ini, pemerintah telah melakukan serangkaian upaya menyambungkan jaringan telekomunikasi ke seluruh kepulauan Indonesia melalui investasi penyediaan infrastruktur pendukung di setiap level mulai dari backbone (Proyek KPBU Palapa Ring), backhaul/middle mile (Proyek KPBU Satelit Multifungsi Satria), hingga last mile (penyediaan BTS). Namun, hingga saat ini implementasinya masih menghadapi beragam tantangan mulai dari enabling environment hingga keterbatasan akses pendanaan. Kegagalan menyelesaikan isu ini akan semakin meningkatkan risiko pemulihan ekonomi dan sosial dari pandemi hanya dapat dirasakan segelintir masyarakat yang tinggal di perkotaan dan memiliki akses (baik secara literasi maupun kemampuan ekonomi) terhadap digitalisasi yang pada akhirnya semakin berpotensi memperlebar ketimpangan kesejahteraan masyarakat.

Kebutuhan investasi infrastruktur digital sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di banyak negara berkembang lain. Hal ini membuka kesempatan bagi negara-negara untuk saling melakukan kolaborasi, kerja sama dan pertukaran pengalaman dalam mencari solusinya. Oleh karena itu, Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 2022 mengangkat isu peningkatan pembiayaan infrastruktur digital sebagai salah satu agenda Infrastructure Working Group (IWG) G20 2022 yang juga merupakan kelanjutan dari deliverable agenda infrastruktur digital yang dihasilkan IWG Presidensi G20 2021 Italia.

Deliverable Agenda Infrastruktur Digital dalam Presidensi G20 Italia 2021

Presidensi G20 Italia 2021 memahami betapa pentingnya peran infrastruktur digital dalam upaya menahan laju perlambatan ekonomi 2020 pasca merebaknya pandemi. Begitu juga pada 2021, infrastruktur digital membantu rebound ekonomi di beberapa negara pasca percepatan vaksinasi dan pembatasan sosial mulai diperlonggar. Infrastruktur digital akan membantu pemulihan ekonomi global lebih future-proof dan equitable.

Pesatnya perkembangan telekomunikasi dalam dua dekade ini telah menginsentif liberalisasi pasar operator telekomunikasi dan pembentukan harga yang cukup kompetitif. Namun, investasi di sektor telekomunikasi memiliki karakteristik padat modal sehingga operator membutuhkan proyeksi pendapatan yang cukup signifikan untuk dapat mengembalikan modalnya. Sementara, biaya deployment jaringan broadband di kawasan pedalaman dan terpencil relatif lebih tinggi, kontras dengan proyeksi pendapatan yang minimal karena biasanya dihuni penduduk dengan tingkat pendapatan rendah. Dampaknya adalah kawasan pedalaman seringkali tidak terjangkau jaringan broadband sama sekali (unserved), terjangkau sebagian (underserved), atau terjangkau dengan kualitas layanan yang tidak memadai. Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk membuat layanan konektivitas dapat dinikmati secara merata dan terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat.

Untuk meningkatkan upaya pemerataan jaringan broadband, mengoptimalkan iklim domestik untuk menarik minat investasi swasta, dan menggarisbawahi pentingnya koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan yang berbeda, Presidensi G20 Italia 2021 menghasilkan tiga panduan2 yang dapat dimanfaatkan para pemerintah dan perumus kebijakan baik di dalam maupun di luar lingkup negara anggota G20 yang bersifat non-binding dan voluntary dengan ringkasan sebagai berikut:

  1. Pemerintah perlu meningkatkan peran investasi swasta dan peluang pembiayaan alternatif lainnya dalam meningkatkan inklusivitas penyediaan layanan broadband ke unserved and underserved area dengan harga terjangkau tanpa mendistorsi kompetisi.
  2. Pemerintah perlu mengoptimalkan enabling environment dan financial framework domestik yang robust untuk menginsentif inovasi dan teknologi penyediaan layanan broadband melalui pelibatan peran swasta.
  3. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi dan kolaborasi di antara sektor publik, swasta, dan kelompok stakeholders lainnya dan memfasilitasi pertukaran good practices dan successful model yang dapat direplikasi.

Misi dan Deliverable Agenda Infrastruktur Digital dalam Presidensi G20 Indonesia 2022

Pertemuan IWG pertama yang diselenggarakan pada tanggal 20 dan 21 Januari 2022 telah menghasilkan empat fokus agenda prioritas IWG Presidensi G20 Indonesia 2022 antara lain:

  1. Meningkatkan investasi infrastruktur berkelanjutan dengan mendorong partisipasi sektor swasta;
  2. Menekankan peran infrastruktur dalam mendorong inklusi sosial dan mengurangi kesenjangan antar daerah;
  3. Meningkatkan investasi infrastruktur digital dan penggunaan teknologi dalam infrastruktur; serta
  4. Mendorong infrastruktur transformatif pasca Covid-19 .

Berdasarkan keempat agenda prioritas di atas, infrastruktur digital masuk ke dalam agenda ketiga yang tergabung menjadi satu dengan agenda Infratech yang memang memiliki kedekatan isu dan sektor. Meski begitu, keduanya akan memiliki deliverable masing-masing sebagai berikut:

  1. Compendium of Case Studies on Financing Digital Infrastructure untuk agenda infrastruktur digital; dan
  2. G20 Blueprint for Scaling up InfraTech Financing and Development untuk agenda InfraTech.

Dalam merumuskan Compendium of Case Studies on Financing Digital Infrastructure, Presidensi G20 Indonesia 2022, dengan dibantu Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), akan menyelenggarakan seminar tingkat tinggi pada bulan Juni 2022. Seminar ini akan mendiskusikan bagaimana peran infrastruktur digital dalam ekonomi global saat ini sembari mengeksplorasi key enablers dan critical divides, mengidentifikasi isu regulasi dan peluang dalam memperluas cakupan layanan infrastruktur digital, dan mencari model pembiayaan inovatif baru yang spesifik dengan kelas aset infrastruktur digital. Seminar ini akan dilaksakan secara hybrid, yang memungkinkan kehadiran fisik jika protokol kesehatan memperbolehkan. Platform virtual akan disediakan tuan rumah Presidensi Indonesia yang diharapkan dapat menjangkau audiens yang lebih besar, termasuk semua anggota G20 dan lembaga multilateral.

IWG bersama-sama dengan AIIB akan merumuskan Compendium of Case Studies on Financing Digital Infrastructure yang diharapkan dapat menyajikan rekomendasi mengenai bagaimana cara mempersempit disparitas digital, mempercepat adopsi digital, dan meningkatkan investasi infrastruktur digital melalui berbagai studi kasus yang dihimpun dari kajian-kajian dan seminar yang telah diselenggarakan G20 selama 2022. Deliverable ini ditargetkan akan di-endorse oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada pertemuan FMCBG ketiga yang dijadwalkan pada Juli 2022.

Mempersempit Disparitas Digital tanpa Meninggalkan Aspek Pembangunan Berkelanjutan

Sebagaimana telah disebutkan dalam deliverable G20 Presidensi Italia 2021, tantangan paling utama di sektor ini adalah bagaimana pemerintah dapat menarik investasi swasta untuk menyediakan infrastruktur digital di unserved and underserved area dengan tetap memastikan tarif terjangkau bagi masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, pemerintah setidaknya memiliki dua opsi intervensi sebagai berikut:

1. Penyediaan iklim yang mendukung infrastructure sharing di antara para operator telekomunikasi

Sektor telekomunikasi secara global telah mengenal infrastructure sharing baik untuk infrastruktur pasif maupun infrastruktur aktif3. Infrastruktur pasif dalam konteks telekomunikasi meliputi setiap aset fisik pendukung seperti gedung, lahan, lokasi, serat optik, dan menara. Sementara, infrastruktur aktif meliputi antena, base transceiver station (BTS), atau elemen dari jaringan inti seperti spektrum frekuensi. Setiap operator telekomunikasi seringkali harus berinvestasi menyediakan kedua infrastruktur tersebut untuk suatu wilayah tertentu. Padahal, kedua infrastruktur tersebut secara teknis dapat digunakan oleh beberapa operator telekomunikasi secara bersamaan sehingga memungkinkan terjadinya efisiensi kebutuhan capex infrastruktur oleh operator dan penurunan tarif langganan di tingkat pengguna.

Infrastructure sharing pada infrastruktur pasif sebenarnya telah lazim diimplementasikan oleh operator telekomunikasi di Indonesia, namun belum untuk infrastruktur aktif. Menyadari pentingnya hal ini, pemerintah kemudian meregulasi tata kelola infrastructure sharing di sektor telekomunikasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran4 yang merupakan salah satu peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja5. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mendorong kolaborasi nyata di antara para operator telekomunikasi untuk saling berbagi infrastruktur pasif dan aktif dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah persaingan usaha yang sehat.

2. Inisiatif penyediaan infrastruktur digital oleh pemerintah

Penyediaan infrastruktur oleh pemerintah juga perlu dipertimbangkan apabila suatu wilayah belum tersambung sama sekali dengan jaringan internet dan operator telekomunikasi belum bersedia melakukannya karena pengembalian investasi yang marginal. Penyediaan tersebut juga perlu dilakukan secara integratif di setiap level (backbone, backhaul, dan last mile) untuk mampu menghadirkan akses internet secara langsung kepada masyarakat.

Di sisi lain, penyediaan infrastruktur oleh pemerintah seringkali dihadapkan pada keterbatasan ruang fiskal, terlebih lagi di masa stimulus untuk pemulihan ekonomi seperti sekarang. Uniknya, sektor telekomunikasi di sebagian negara (termasuk Indonesia) memiliki dana khusus untuk kebutuhan pemerataan akses universal yang dihimpun secara langsung dari operator telekomunikasi6. Dalam konteks Indonesia, dana tersebut dinamakan dengan Kewajiban Pelayanan Universal (KPU)/Universal Service Obligation (USO) yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Sesuai dengan regulasi terkait7, setiap operator telekomunikasi di Indonesia wajib mengkontribusikan 1,25% dari pendapatan usahanya untuk program dana USO. Dengan begitu, peningkatan kinerja keuangan industri telekomunikasi akan berbanding lurus dengan peningkatan kontribusi USO oleh operator telekomunikasi. Ini menunjukkan bahwa dana USO memiliki potensi untuk financially sustained dalam hal pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung operator telekomunikasi untuk mampu terus berkembang, berinovasi dan mengekspansi layanannya. Dana USO yang financially sustained dapat berperan sebagai katalis untuk melibatkan (leverage) pembiayaan swasta dalam upaya peningkatan investasi infrastruktur digital yang perlu disediakan oleh pemerintah. Investasi publik ini dapat dikemas melalui skema KPBU yang dikombinasikan dengan transaksi blended finance. Peluang pembiayaan dengan concessional terms dari lembaga donor multilateral dan Development Finance Institutions (DFIs) juga dapat dilibatkan untuk: i) mengisi funding gap yang teridentifikasi dalam proses structuring proyek, ii) menurunkan cost of fund proyek, dan iii) meminimalkan persepsi risiko proyek di market.

Dampak terhadap lingkungan juga perlu mendapatkan perhatian yang berimbang dalam upaya peningkatan investasi infrastruktur digital. Mengutip laporan CODES8 hasil dari riset GeSI dan ICCT, jejak karbon global dari perangkat digital, internet, dan sistem pendukungnya mencapai 2.3%, setara dengan yang dihasilkan dari perjalanan udara global. World Economic Forum (WEF) juga mengestimasi bahwa saat ini bumi telah memproduksi kurang lebih 50 juta ton sampah elektronik (e-waste) per tahun, dimana hanya 20% yang berhasil didaur ulang9. Sementara itu, berdasarkan laporan ITU, konsumsi listrik global untuk sektor digital dan perangkatnya telah mencapai 3.2% pada 2020, bahkan beberapa pihak lain mengestimasi hingga 7%10. Beberapa riset juga telah berhasil mengestimasikan current share emisi gas rumah kaca global dari sektor digital mencapai kisaran antara 1.8-3.9%11. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur digital memiliki dampak yang nyata ke lingkungan apabila tidak ada upaya antisipasi dari pemerintah dan end-user. Untuk menggerus tren ini, adopsi digital perlu dimanfaatkan secara optimal untuk menginisiasi perbaikan manajemen lingkungan, tata kelola, pembiayaan hijau, economy circular, serta produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Implementasi infrastructure sharing juga perlu terus didukung karena potensi kontribusinya yang besar dalam meminimalkan produksi jejak karbon.

Penutup

Indonesia mendapatkan kesempatan berharga memimpin negara-negara anggota G20 untuk menentukan arah kebijakan ekonomi global setidaknya untuk enam isu: i) perekonomian dan kesehatan global, ii) arsitektur keuangan internasional, iii) sektor keuangan, iv) keuangan berkelanjutan, v) infrastruktur, dan vi) perpajakan internasional. Perbaikan di seluruh enam isu tersebut sudah pasti mensyaratkan adopsi digital. Begitu juga dengan penyediaan layanan dasar kepada masyarakat untuk mengakses pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, yang kini semuanya mensyaratkan adopsi digital. Ini membuktikan bahwa transformasi digital kini diperlukan di berbagai bidang kehidupan yang tentu berbanding lurus dengan kebutuhan peningkatan layanan konektivitas internet yang memadai.

Business as usual kini sudah bukan menjadi opsi bagi pemerintah karena biaya sosial-ekonomi (berupa exclusion cost) dalam jangka panjang yang dihasilkan akan lebih signifikan dibandingkan biaya investasi yang perlu dikeluarkan pemerintah hari ini untuk meningkatkan pemerataan adopsi digital. Compendium of Case Studies on Financing Digital Infrastructure sebagai deliverable G20 2022 diharapkan dapat merumuskan rekomendasi yang aplikatif dan replikatif dalam upaya peningkatan kualitas dan kapasitas infrastruktur digital khususnya untuk kelompok rentan dan kawasan 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). Aspirasi ini sejalan dengan kampanye agenda SDG “Leaving no one behind means leaving no one offline”.

 

Referensi

1ITU. 2021. Economic Impact of COVID-19 on Digital Infrastructure.

2G20. 2021. G20 Guidelines for Financing and Fostering High Quality Broadband Connectivity for a Digital World.

3Strusani, David; Houngbonon, Georges V. 2020. Accelerating Digital Connectivity Through Infrastructure Sharing.

4Pemerintah Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 56. Jakarta.

5Pemerintah Indonesia. 2020. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245. Jakarta.

6ITU. 2021. Financing Universal Access to Digital Technologies and Services.

7Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17 Tahun 2016 tentang PEtunjuk Pelaksanaan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1444. Jakarta.

8UNEP. 2022. Action Plan for a Sustainable Planet in the Digital Age.

9Muggah, R., Rohozinski, R. and Goldin, I. 2020. The dark side of the digital revolution – and how to fix it. World Economic Forum.

10ITU-T. 2020. Greenhouse gas emissions trajectories for the information and communication technology sector compatible with the UNFCCC Paris Agreement.

11Freitag, C., Berners-Lee, M., Widdicks, K., Knowles, B., Blair, G., & Friday, A. 2021. The real climate and transformative impact of ICT: A critique of estimates, trends, and regulations.