Project Finance - Konsep, Aplikasi dan Evaluasi


Tulisan ini berisi materi dasar mengenai konsep, aplikasi, dan evaluasi Project Finance. Untuk penyederhanaan, pendekatan yang digunakan dalam memberikan pemaparan ketiga aspek tersebut pada tulisan ini adalah dengan menggunakan pertanyaan. Pertanyaan pertama terkait dengan definisi dari Project Finance. Sebagai fenomena yang cukup kompleks, tidak ada definisi Project Finance yang baku dan diterima oleh semua pihak, oleh karena itu setelah memaparkan beberapa alternatif definisi, pertanyaan selanjutnya terkait dengan fiturfitur utama dari Project Finance berdasarkan literatur yang ada.

Salah satu yang mengemuka dari fitur-fitur tersebut adalah fungsi Project Finance sebagai suatu struktur tata kelola untuk menghadapi risiko dan mengatasi konflik keagenan. Hal ini mengantarkan kepada pertanyaan berikutnya, yaitu mengenai struktur dari Project Finance. Struktur Project Finance mengarahkan insentif dan kepentingan para partisipan di dalamnya, termasuk pemberi modal pinjaman maupun pemberi modal ekuitas. Dalam hal ini, motivasi dari partisipan utama ini perlu diketahui agar bisa didesain tata kelola yang tepat. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai peran perbankan sebagai pihak yang dapat membantu penyiapan struktur atau menjadi pihak yang memanfaatkan struktur tersebut dalam pemberian pembiayaan.

Dua pertanyaan terakhir adalah yang terkait dengan evaluasi. Yang pertama adalah mengenai penilaian kelayakan kredit sedangkan yang kedua adalah mengenai valuasi dari suatu Project Finance. Dari tujuh pertanyaan dan jawaban yang diberikan, diharapkan tulisan ini bisa memberikan pengetahuan dasar mengenai Project Finance bagi para pembaca, selain juga sebagai referensi untuk mempelajari lebih lanjut topik tersebut.

Apakah yang disebut dengan Project Finance?

Struktur Project Finance berada dibalik terbangun dan berjalannya infrastruktur-infrastruktur utama di dunia seperti: Terusan Suez, Gedung Menara Burj Khalifa, EURO-tunnel, dan proyek USD 34 milyar Ichthys Oil Field. Struktur ini memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan engineering yang kompleks sekaligus risiko-risiko proyek yang tinggi. Tabel 1 memperlihatkan daftar 10 transaksi Project Finance teratas tahun 2016 menurut IJGlobal. Dua di antara kesepuluh proyek tersebut adalah proyek yang berada di Indonesia, yaitu Central Java Power Plant dan Tangguh LNG Expansion. Sumber yang sama juga mencatat bahwa total nilai transaksi Project Finance di tahun 2016 mencapai USD 276,9 milyar dari 667 transaksi. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan tahun 2015, yaitu USD 313,3 milyar dari 892 transaksi.

Project Finance

Terdapat beberapa definisi mengenai Project Finance, beberapa yang sering digunakan sebagai referensi adalah sebagai berikut:

  • “Project finance may take the form of financing of the construction of a new capital installation, or refinancing of an existing installation, with or without improvements. In such transactions, the lender is usually paid solely or almost exclusively out of the money generated by the contracts for the facility’s output, such as the electricity sold by a power plant. The borrower is usually an SPE (Special Purpose Entity) that is not permitted to perform any function other than developing, owning, and operating the installation. The consequence is that repayment depends primarily on the project’s cash flow and on the collateral value of the project’s assets.” (Basel Committee on Banking Supervision, International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards (“Basel II”), November 2005).
  • “Project finance involves the creation of a legally independent project company financed with non-recourse debt for the purpose of investing in a capital asset, usually with a single purpose and a limited life.” (Benjamin Esty, 2002)
  • “A group of agreements and contracts between lenders, project sponsors, and other interested parties that creates a form of business organization that will issue a finite amount of debt on inception; will operate in a focused line of business; and will ask that lenders look only to a specific asset to generate cash flow as the sole source of principal and interest payments and collateral.” (Standard & Poor’s Corporation, 2003)

Berdasarkan definisi-definisi di atas, Project Finance bukan mengacu pada suatu pinjaman yang diberikan pada suatu proyek, namun lebih merupakan suatu pengaturan dengan struktur tertentu yang melibatkan pinjaman kepada suatu entitas yang didirikan secara khusus.

Apa saja fitur project finance dari literatur yang ada?

Praktik Project Finance telah berjalan lama, setidaknya sejak kerajaan Inggris pada tahun 1299 mendanai pengembangan tambang perak dengan pinjaman non-recourse dari Frescobaldi – sebuah merchant bank yang berbasis di Florentina. Namun popularitas peng-gunaannya sebagai suatu struktur untuk pengelolaan risiko dalam pengembangan proyekproyek infra-struktur besar baru terjadi pada era 1980-an pada sektor energi di Amerika.

Pada Project Finance modern, manajemen risiko dan alokasi risiko kepada partisipan proyek merupakan faktor terpenting untuk mencapai kesuksesan (Beiddleman et al., 1990). Alokasi risiko kepada para partisipan dalam Project Finance dilakukan melalui kontrak. Namun efektivitasnya bergantung pada kemampuan partisipan yang mendapatkan alokasi risiko (Corielli et al., 2010). Alokasi risiko yang efisien juga menentukan keberhasilan untuk mendapatkan pinjaman dan mengurangi biaya pinjaman tersebut (Esty, 1999). Dailami dan Hauswald (2007) menyimpulkan bahwa biaya pinjaman tersebut bergantung pada kualitas kontrakkontrak, seperti: supply agreements, debt covenants dan debt service guarantee. Biaya pinjaman pada proyek public private partnership dengan skema Project Finance hanya ditentukan oleh systematic risk karena seluruh risiko spesifik sudah dikelola melalui kontrak-kontrak (Blanc-Brude dan Strage, 2007).

Dibandingkan dengan pinjaman sindikasi Corporate Finance, pinjaman sindikasi Project Finance memiliki waktu jatuh tempo yang lebih panjang, lebih banyak jaminan dari pihak ketiga, dan lebih sering digunakan pada investasi di negara berisiko tinggi (Kleimeier dan Megginson, 2000). Dengan demikian, meskipun nonrecourse, pinjaman Project Finance memiliki biaya pinjaman yang lebih rendah. Tidak seperti jenis pinjaman lainnya, pinjaman Project Finance memiliki bentuk term structure yang unik, yaitu tidak linear meningkat seiring dengan peningkatan maturitas (Sorge dan Gardanez, 2004). Sorge dan Gardanez (2004) juga menemukan bahwa political riskguarantee yang diberikan pada pinjaman Project Finance semakin menurunkan garis term structure tersebut ke bawah. Sertifikasi pinjaman Project Finance oleh bank yang prestisius menurunkan biaya pinjaman tetapi dengan banking fees yang lebih tinggi (Gatti, 2013).

Struktur modal yang optimal untuk Project Finance berbeda dengan Corporate Finance (Shah dan Thakor, 1987). Williamson (1988) menyatakan bahwa pinjaman dan ekuitas jangan hanya dilihat sebagai sekedar instrumen finansial, tetapi juga sebagai alternatif struktur tata kelola (governance structure). Tata kelola pinjaman bekerja melalui aturan yang bisa dituangkan dalam bentuk kontrak-kontrak, berbeda dengan tata kelola ekuitas lebih bekerja berdasarkan diskresi. Dalam hal ini Project Finance mengurangi biaya keagenan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman (Brealey et al., 1996). Pemisahan proyek dengan pembentukan Special Purpose Entity memungkinkan asesmen risiko yang lebih efisien bagi pemberi pinjaman maupun investor ekuitas. Farrell (2003) berargumen bahwa setiap Project Finance harus dibangun secara khusus (custom) terutama untuk mengelola risiko keagenan yang semakin tinggi dengan semakin banyaknya partisipan proyek.

Struktur Project Finance juga sering digunakan untuk investasi di negara berisiko tinggi. Project Finance memungkinkan perusahaan multinasional untuk memitigasi risiko politik dan menghadapi obsolescing bargaining (Ramamurti dan Doh, 2004). Risiko politik mendorong investor menggunakan Project Finance dan mengundang partisipasi bank-bank pembangunan (Hainz dan Kleimeir, 2012). Konteks institusional suatu negara akan menentukan komposisi sindikasi bank dalam Project Finance (Esty dan Megginson, 2003). Obsolescing bargaining merupakan sebuah risiko utama yang dihadapi oleh investasi asing di infrastruktur, namun strategi manajemen dapat dibangun dalam struktur Project Finance untuk memitigasi risiko tersebut (Wells dan Gleason, 1995).

Mengembangkan suatu Project Finance memerlukan waktu dan biaya transaksi yang besar. Oleh karena itu skala proyek akan menentukan apakah manfaat yang dihasilkan bisa memberikan kompensasi yang sepadan dengan biayanya. Esty (1999) menyatakan bahwa meskipun biaya transaksi Project Financing tinggi, tetapi keberhasilan berjalannya struktur tersebut memungkinkan sponsor untuk mendapatkan keuntungan dari penghematan pajak (interest tax shield), lebih rendahnya biaya akibat financial distress, dan mengurangi konflik keagenan.

Bagaimana struktur dari project finance?

Esty (2003) membagi atribut struktur dari Project Finance menjadi sebagai berikut:

  • Struktur organisasi: Special Purpose Entity (SPE)/ Project Company yang merupakan badan hukum yang terpisah dari para sponsornya (investor ekuitas). Pembentukan SPE ini memiliki ide yang serupa dengan SPE yang digunakan untuk memfasilitasi sekuritisasi aset.
  • Struktur modal: perusahaan proyek menggunakan leverage yang sangat tinggi dibandingkan dengan struktur modal korporasi biasa. Struktur modal ini mirip dengan yang terjadi pada transaksi pembelian perusahaan menggunakan pinjaman (Leverage Buy Out).
  • Struktur kepemilikan: memiliki kepemilikan ekuitas dan pinjaman yang terkonsentrasi. Mayoritas pinjaman berasal dari sindikasi bank, bukan obligasi. Sedangkan ekuitas umumnya dimiliki oleh satu sampai tiga perusahaan sponsor.
  • Struktur Dewan Komisaris dan Direksi: umumnya berasal dari perusahaan sponsor, jumlah anggotanya dapat semakin banyak seiring dengan skala proyek.
  • Struktur kontrak: Gambar 1 memperlihatkan beberapa kontrak utama dalam suatu Project Finance. Namun total dari jumlah kontrak bisa mencapai puluhan hingga ribuan, bergantung pada skala proyek.

Pada bagian atas dari Gambar 1 diperlihatkan bahwa sumber pendanaan Project Company (SPE) berasal dari ekuitas yang disediakan oleh beberapa investor dan Project Finance debt yang disediakan oleh beberapa pemberi pinjaman. Project Finance debt mendapatkan prioritas utama atas arus kas yang dihasilkan oleh proyek, sedangkan tingkat pengembalian ekuitas sangat bergantung kesuksesan proyek.

Pendanaan tersebut, terutama Project Finance debt, didukung oleh kontrak-kontrak yang dibuat antara Project Company dengan partisipan lainnya dalam pengaturan Project Finance. Kontrak-kontrak tersebut antara lain, yang utama:

  • Perjanjian Kerja sama (Project Agreement) yang bisa berupa Off-take contract (pemberian jangka panjang output yang dihasilkan oleh Project Company dengan formula harga tertentu) atau perjanjian konsesi (Project Company mendapatkan hak untuk menyediakan infrastruktur dan memungut pendapatan dari masyarakat) atau izin berdasarkan peraturan perundang-undangan sektor infrastruktur terkait.
  • Kontrak Engineering, Procurement and Construction (EPC) turnkey (desain dan konstruksi fasilitas infrastruktur dengan biaya tetap (fixed contract) dan waktu penyelesaian yang tetap (fixed date)).
  • Kontrak Pasokan Input (Input Supply Contract) yang memperjanjikan penyediaan bahan bakar atau material input dalam jangka panjang dengan formula harga dan volume yang ditetapkan.
  • Kontrak operasional dan perawatan yang menugaskan suatu pihak untuk bertanggung jawab atas proyek tersebut setelah fasilitas infrastrukturnya telah terbangun.
  • Perjanjian dukungan Pemerintah (terutama pada negara berkembang) yang memberikan dukungan terkait kelayakan pembeli output proyek (off taker), insentif perpajakan untuk investasi, atau pun bentuk dukungan lainnya.

Secara umum kontrak-kontrak dalam Project Finance dapat dikelompokkan dalam tiga kelas:

1. Project agreements: kontrakkontrak yang berfungsi untuk mengalokasikan kewajiban dan risiko terkait kepada para pihak dengan cara yang dapat ditegakkan secara hukum. Kontrak-kontrak dalam kelas ini antara lain: AD/ ART Project Company, perjanjian pemegang saham, perjanjian kerja sama (dalam hal PPP) atau off take agreement, kontrak EPC, kontrak pasokan input serta kontrak operasional dan perawatan, seperti yang telah dijelaskan di atas.

2. Finance documents: pada waktu melakukan uji tuntas, calon pemberi pinjaman akan melakukan negosiasi rancangan klausul perjanjian pinjaman yang disebut dengan Common Term Sheet dengan para sponsor Project Company. Isu yang dinegosiasikan meliputi: dukungan pemegang ekuitas, proteksi pemberi pinjaman, struktur akun Project Company, tata cara pencairan pinjaman dan pembayaran kembali pinjaman, persyaratan pendahuluan (conditions precedent), representation and warranties, covenants, kejadian gagal bayar, serta isu-isu relevan lainnya. Apabila negosiasi berhasil mencapai kesepakatan, finance documents dapat menjadi efektif dan dapat terdiri dari: loan facility agreement, equity support agreement, security document, account agreement, inter-creditor agreement, amendment and waiver agreement dan perjanjian yang relevan lainnya.

3. Security documents: proteksi dan jaminan (assurance) yang dapat diberikan kepada pemberi pinjaman:

Pada masa kontruksi:

  1. Terkait dengan EPC contract: liquidation damages, surety bonds, standby Letter of Credit (L/C).
  2. Completion guarantee dari sponsor.
  3. Equity support agreement.
  4. Stand by L/C lainnya yang diberikan pada masa konstruksi.

Selama masa pinjaman:

  1. Assignment dari kontrakkontrak proyek.
  2. Share pledge.
  3. Political risk insurance.
  4. Jaminan Pemerintah.

Apa saja motivasi dari partisipan utama project finance?

Pembuatan struktur dan organisasi Project Finance memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, bahkan lebih mahal dibandingkan dengan mengatur pembiayaan melalui Corporate Financing. Biaya transaksi yang besar disebabkan oleh besarnya biaya konsultan legal, teknis, keuangan, maupun asuransi. Selain itu waktu juga diperlukan oleh pemberi pinjaman untuk melakukan negosiasi common term sheet. Setelah financial close, masih ada pula biaya untuk monitoring. Lalu apa keuntungannya bagi para partisipan, terutama Project Company dan pihak yang memberikan pendanaan pinjaman maupun ekuitas?

1.Keuntungan bagi Project Company:

  • Customization sistem tata kelola spesifik aset untuk meningkatkan nilai perusahaan.
  • Tata kelola ditujukan terutama untuk keberlangsungan hubungan kontrak dan keberlangsungan tersebut merupakan sumber nilai Project Company.
  • Alokasi risiko yang efisien dapat mendukung rasio antara pinjaman dengan ekuitas yang tinggi.

2. Keuntungan bagi pemberi pinjaman:

  • Memerlukan tata kelola yang mendukung pendanaan jangka panjang karena tidak dapat menarik pinjaman sewaktu-waktu tanpa kerugian yang besar.
  • Kelayakan finansial dan komersial proyek memberikan keamanan bagi pemberi pinjaman.
  • Pemberi pinjaman sebagai prinsipal dapat dengan mudah melakukan monitoring terhadap pengelola Project Company sebagai agen.
  • Mengurangi biaya informasi dibandingkan pinjaman korporasi biasa.
  • Keuntungan bagi pemberi ekuitas (sponsor): o Pinjaman nonrecourse pada suatu SPE yang independen dapat menjaga kapasitas perusahaan sponsor dalam melakukan pinjaman.
  • Mengurangi biaya kesulitan (distress) akibat kegagalan proyek karena sponsor sebagai pemegang saham dalam perseroan terbatas.
  • Melakukan pembagian (sharing) risiko dengan sponsor lainnya.
  • Menghilangkan kontaminasi risiko antara arus kas perusahaan sponsor dengan arus kas SPE.
  • Dapat distruktur sebagai off balance items pada buku perusahaan sponsor.

Apa saja peran perbankan dalam project finance?

Peran perbankan sangat sentral dalam pengembangan Project Finance, termasuk di Indonesia. Namun untuk meningkatkan keterlibatannya dalam penyediaan infrastruktur, investasi pada sumber daya manusia masih diperlukan dan masih memiliki ruang pertumbuhan yang besar. Meskipun demikian, standar pengaturan kecukupan modal yang dibuat oleh Bank of International Settlement (BIS), yaitu Basel II dan berikutnya Basel III dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap besar eksposur yang akan diambil oleh perbankan ke sektor Project Finance.

Dalam Project Finance, bank dapat berperan dalam memberikan jasa financing ataupun advisory. Jasa terkait financing meliputi: mengambil bagian dalam (underwrite) pembiayaan (berpartisipasi sebagai anggota dari sindikasi), menjadi lead arranger (melakukan uji tuntas, mengorganisir sindikasi dan melakukan monitoring terhadap Project Company), memberikan bridging loan, menjadi agency (melakukan pembayaran pencairan kepada Project Company dan menerima pembayaran pinjaman dari Project Company, melakukan monitoring terhadap kepatuhan Project Company terhadap covenant dan menjadi wakil bagi pemberi pinjaman untuk berhadapan dengan Project Company). Sedangkan melalui jasa advisory, bank membantu melakukan sponsor dalam menyiapkan struktur yang dapat ditawarkan kepada calon pemberi pinjaman.

Obligasi juga dapat diterbitkan pada saat awal atau apabila risiko proyek telah menurun saat setelah selesainya fase konstruksi fasilitas infrastruktur. Sekuritas dapat membantu untuk melakukan pembiayaan melalui obligasi, termasuk dalam melakukan refinancing sebagian pinjaman sindikasi bank setelah fase konstruksi tersebut di atas.

Apa saja aspek yang dipertimbangkan dalam menilai kelayakan kredit project finance?

Kelayakan kredit bisa diukur dengan menggunakan tingkat kepastian dari pembayaran bunga dan principal tepat waktu, sesuai dengan kesepakatan pada perjanjian pembiayaan kepada pemberi pinjaman oleh Project Company. Standard & Poor’s menggunakan lima tingkat analisis dalam mengukur tingkat kepastian ini, yaitu:

1. Risiko level proyek: risiko-risiko yang menjadi bagian dari proyek dan lingkungan industrinya akan menjadi penentu apakah proyek tersebut akan dapat berjalan secara komersial selama jangka waktu pinjaman. Hal-hal yang dievaluasi pada level ini meliputi:

  • Kontrak-kontrak yang menjadi fondasi struktur proyek.
  • Risiko-risiko terkait dengan teknologi, konstruksi, dan operasi.
  • Risiko ketersediaan sumber daya sebagai input proyek.
  • Seberapa kompetitif Project Company di dalam industrinya.
  • Kemampuan semua pihak yang terikat pada kontrak terkait dengan Project Company dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak yang telah ditetapkan.

2. Kinerja finansial yang fokus pada atribut:

  • Kemampuan Project Company menghasilkan arus kas untuk membayar pinjaman tepat waktu dan tepat jumlah.
  • Struktur modal dan bagaimana penurunan porsi pinjaman dalam struktur modal tersebut.
  • Likuiditas.

3. Struktur transaksi:

  • Struktur Project Company yang memenuhi syarat sebagai SPE.
  • Struktur manajemen kas yang lebih memprioritaskan beban usaha, cadangan-cadangan, serta debt service coverage ratio dibandingkan dengan pembagian untuk para sponsor.
  • Bagaimana risiko kebangkrutan pada pihak-pihak yang berkontrak secara langsung maupun tidak langsung dengan Project Company, dapat mempengaruhi arus kas proyek.

4. Risiko negara (sovereign risk): Pemerintah setempat bisa memberikan risiko kepada Project Company melalui pembatasan transfer dan konvertibilitas mata uang, intervensi terhadap operasional Project Company, maupun melakukan nasionalisasi.

5. Risiko pengembangan institusional bisnis dan legal: lingkungan institusional yang tidak mendukung akan memberikan risiko terhadap pemenuhan hak komersial maupun penegakan hukum atas kontrak yang telah dibuat.

Peningkatan kelayakan kredit (credit enhancement): merupakan dukungan likuiditas yang diberikan dalam hal terjadi kesulitan arus kas. Dukungan kredit yang dapat diterima harus memiliki karakteristik:

  • Memiliki ketentuan dan kondisi yang jelas mengenai kewajiban pemberi jaminan untuk membayar tepat waktu, tanpa pembatasan, apabila suatu risiko yang diperjanjikan terjadi.
  • Diberikan dalam lingkungan hukum yang dalam sejarahnya selalu menegakkan pemenuhan kewajiban instrument credit enhancement tersebut.
  • Diberikan oleh pihak yang terbukti memiliki kemauan serta kemampuan membayar tepat waktu dan tepat jumlah sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
  • Dapat dibandingkan dengan benchmark berupa produk unconditional and irrevocable Letter of Credit, payable on demand (legally and practically) dan diterbitkan oleh bank yang telah di-rating dengan rating yang tinggi (rating proyek tidak dapat lebih tinggi daripada rating bank yang memberikan dukungan likuiditas).

Baca juga: Penjaminan Pemerintah sebagai bentuk Credit Enhancing Product untuk Proyek Infrastruktur Skema KPBU

Bagaimana cara melakukan valuasi terhadap project finance?

Valuasi terhadap suatu peluang investasi, termasuk Project Finance, dapat dilakukan dengan metode discounted cash flow maupun comparables. Pada tulisan ini hanya dibahas yang menggunakan metode discounted cash flow. Tahapan yang dilakukan dalam metode ini adalah sebagai berikut:

  1. Membuat proyeksi arus kas proyek, dengan asumsi proyek didanai oleh 100% ekuitas.
  2. Melakukan asesmen terhadap risiko proyek.
  3. Membuat estimasi biaya modal aset proyek (opportunity cost of capital).
  4. Melakukan perhitungan nilai Project Company (Present Value) dengan melakukan discount terhadap proyeksi arus kas proyek menggunakan biaya modal aset proyek.

Meskipun demikian tahap 1 dan tahap 3 bisa dilakukan secara berbeda, bergantung pada cara mengakomodasi pengaruh keputusan pendanaan pada nilai proyek. Dalam hal ini terdapat tiga cara, yaitu:

1. Mengakomodasi pengaruh tersebut di cost of capital: tidak ada perubahan di tahap 1 di atas, tetapi pada tahap 3, cost of capital dihitung dengan menggunakan weighted average cost of capital (WACC) setelah pajak. Cara ini sering disebut dengan after tax WACC method1.

2. Mengakomodasi pengaruh tersebut di arus kas: tahap 1 berubah, yaitu ditambah dengan penghematan pembayaran pajak karena pembayaran bunga pinjaman (interest tax shield). Sedangkan tahap 3 tidak berubah. Arus kas tambahan dari interest tax shield tersebut didiscount dengan menggunakan biaya modal aset proyek (100% ekuitas). Cara ini sering disebut dengan Capital Cash Flow Method (CCF)2.

3. Mengakomodasi pengaruh tersebut di arus kas: tahap 1 berubah, yaitu ditambah dengan interest tax shield. Tahap 3 juga berubah, yaitu menggunakan biaya modal pinjaman, bukan biaya modal aset proyek. Cara ini sering disebut dengan Adjusted Present Value Method (APV)3.

Struktur modal dari Project Finance memiliki porsi pinjaman yang besar. Oleh karena itu, pengaruh interest tax shield pada valuasi Project Finance cukup signifikan. Namun struktur modal ini seiring dengan waktu berubah, porsi pinjaman makin lama makin kecil. Demikian juga pengaruh dari interest tax shield pada valuasi semakin mengecil. Karakteristik seperti ini membuat valuasi Project Finance akan lebih mudah dilakukan dengan CCF atau APV (karena sulitnya melakukan perhitungan E/V dan D/V pada setiap periode, n, dengan metode WACC). Perbedaan dari kedua cara ini terletak pada faktor discount untuk interest tax shield. Bely (2005) berargumen bahwa faktor discount yang paling tepat bergantung pada penilaian risiko interest tax shield. Apabila interest tax shield memiliki risiko yang sama dengan arus kas bebas Project Company, maka faktor diskon tersebut adalah sesuai dengan biaya modal aset proyek (100% ekuitas) (CCF). Namun bila risiko interest tax shield tersebut sama dengan risiko kegagalan bayar Project Company, maka faktor discount yang sesuai adalah yang setara dengan biaya modal pinjaman (APV).

Catatan:

VL= nilai Project Company (Leveraged = dengan pinjaman);

n = periode arus kas;

N = periode terakhir Project Company (misalkan akhir perjanjian kerja sama); FCFFu,n= unlevered Free Cash Flow of the Firm di periode n; keL = levered cost of equity (biaya modal ekuitas);

E/V = proporsi market value dari ekuitas dibandingkan dengan market value Project Company;

D/V = proporsi market value dari pinjaman dibandingkan dengan market value Project Company;

kd = biaya modal pinjaman (cost of debt);

t = tingkat pajak marjinal.

Vu = nilai Project Company dengan asumsi tanpa pinjaman (100% ekuitas);

its = interest tax shield;

reu = unlevered cost of equity (biaya modal ekuitas dengan asumsi tanpa pinjaman)

rd = kd = biaya modal pinjaman

Referensi:

  • Beidleman, C.R., Fletcher D. dan Vesbosky D. 1990. “On Allocating Risk—The Essence of Project Finance” dalam Sloan Manag Rev 31. (hal. 47–55)
  • Blanc-Brude, F. dan Strange R. 2007. “How Banks Price Loans to Public-Private Partnerships: Evidence from The European Markets” dalam J Appl Corp Financ 19. (hal. 94–106)
  • Brealey, R.A., Cooper I.A. dan Habib M.A. 1996. “Using Project Finance to Fund Infrastructure Investments” dalam J Appl Corp Financ 9. (hal. 25–39)
  • Corielli, F., Gatti S. dan Steffanoni A. 2010. “Risk Shifting Through Nonfinancial Contracts: Effects on Loan Spreads and Capital Structure of Project Finance Deals” dalam J Money Credit Bank 42. (hal. 1295– 1320)
  • Dailami, M. dan Hauswald R. 2007. “Credit-Spread Determinants and Interlocking Contracts: A Study of The Ras Gas Project” dalam J Financ Econ 86. (hal. 248–278)
  • Esty, B.C. 1999. “Improved Techniques for Valuing Large-Scale Project” dalam J Proj Financ 5. (hal. 17–26)
  • Esty, B.C. 2003. “The Economic Motivations for Using Project Finance Working Paper”. Harvard Business School: Boston.
  • Esty, B.C. dan Megginson W.L. 2003.”Creditor Rights, Enforcement, and Debt Ownership Structure: Evidence from The Global Syndicated Loan Market” dalam J Financ Quant Anal 38. (hal. 37–59)
  • Farrell, M. 2003. “Principal-Agency Risk in Project Finance” dalam Int J Project Manag 21. (hal. 547–561)
  • Finnerty, J.D. 2013. “Project Financing: Asset-Based Financial Engineering” dalam Wiley Edt. 3.
  • Gatti, S. 2013. “Project Finance in Theory and Practice Designing, Structuring, and Financing Private and Public Projects” dalam Academic Press, Waltham (2. ed. ed.).
  • Hainz, C. dan Kleimeier S. 2012. “Political Risk, Project Finance, and The Participation of Development Banks in Syndicated Lending” dalam J Financ Intermed 21. (hal. 287–314)
  • Khan, M.F.K. dan Parra R.J. 2003. “Financing Large Project: Using Project Finance Techniques and Practices”. Prentice Hall: Singapore.
  • Kleimeier, S. dan Megginson W.L. 2000. “Are Project Finance Loans Different From Other Syndicated Credits?” dalam J Appl Corp Financ 13. (hal. 75–87)
  • Mullner, J. 2017. “International Project Finance: Review and Implications for International Finance and International Business” dalam Manag Rev Q 67. (hal. 97-133)
  • Ramamurti, R. dan Doh J.P. 2004. “Rethinking Foreign Infrastructure Investment in Developing Countries” dalam J World Bus 39. (hal.151–167)
  • Shah, S. dan Thakor A.V. 1987. “Optimal Capital Structure and Project Financing” dalam J Econ Theory 42. (hal. 209–243)
  • Sorge, M. dan Gardanez B. 2004. “The Nature of Credit Risk in Project Finance” dalam BIS Quarterly Review, Vol. December. Bank of international Settlements, Basel, pp. 91–11.
  • Utarja, B. 2005. “Debt Management Policy, Interest Tax Shield Risk, and Firm Value” dalam Jurnal Prasetiya Mulya Vol. 10 No. 2, November 2005. (hal. 28 – 40)
  • Wells, L.T. dan Gleason E.S. 1995. “Is Foreign Infrastructure Investment Still Risky?” dalam Harvard Bus Rev 73. (hal. 44–55)
  • Williamson, O.E. 1988. “Corporate Finance and Corporate Governance” dalam J Financ 43. (hal. 567–591)
  • Yescombe, E.R. 2002. “Principles of project finance” dalam Academic Press Edt.1: New York