Blended Finance: Antara Manfaat dan Tantangan dalam Penerapannya


Oleh: Eko Agus Purwanto dan Muhammad Bagus Alfian

Tahun 2021 ditutup dengan sebuah pencapaian penting bagi Indonesia. Mengutip Sustainable Development Report 2021 yang baru diterbitkan pada Juni 2021, SDG Index Indonesia tercatat merangkak naik ke peringkat 97 di antara 165 negara anggota PBB. Ini merupakan peringkat tertinggi yang pernah dicapai Indonesia sejak turut serta dalam penyusunan SDG Voluntary National Report yang pertama kali dilakukan pada tahun 2017. Progres pencapaian ini didukung dari beberapa agenda yang tercatat ‘On track’ seperti SDG 4 (Quality Education), SDG 6 (Clean Water and Sanitation), dan SDG 8 (Decent Work and Economic Growth).

Namun, pencapaian di atas tidak seharusnya membuat Indonesia berpuas diri dan merasa jumawa. Perbaikan peringkat Indonesia kemungkinan besar diperoleh dari kemunduran progres SDG negara lain yang memang menjadi tren selama masa pandemi Covid-19. Banyak pencapaian SDG yang telah diperoleh selama bertahun-tahun lenyap seketika saat krisis pandemi Covid-19 melanda. Demikian halnya dengan Indonesia, data statistik menunjukkan bahwa Indonesia juga mengalami hal yang sama: penurunan daya beli masyarakat, peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan, memburuknya nutrisi dan keamanan pangan, hingga yang paling berat adalah tekanan yang ekstrim terhadap sektor jasa kesehatan di masa pandemi. Pemerintah perlu mencari solusi guna menangani dampak pandemi agar tidak semakin memperlambat pencapaian SDG. Hal-hal tersebut juga mengindikasikan adanya kebutuhan investasi infrastruktur yang lebih besar untuk mengejar ketertinggalan yang dialami selama masa pandemi.

Pada tahun 2014, UNCTAD mengestimasikan kebutuhan investasi infrastruktur global USD 5 triliun - USD 7 triliun per tahun sampai dengan 2030 untuk berhasil mencapai Agenda SDG. Negara berkembang mengambil porsi lebih dari 60% kebutuhan tersebut yang mayoritas masih bertumpu pada pembiayaan publik dan bantuan internasional. Sementara, kita tahu bahwa pembiayaan publik dan bantuan internasional bukan merupakan sumber daya yang tidak terbatas. Krisis pandemi Covid-19 juga memaksa seluruh negara untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif yang tidak hanya semakin mempersempit ruang fiskal negara berkembang, namun juga menurunkan jumlah kontribusi negara maju terhadap bantuan internasional. Kebutuhan pembangunan memerlukan sebuah gebrakan baru, yang berbeda dari apa yang kita lakukan sekarang (business as usual). Blended Finance seringkali disebut-sebut sebagai salah satu solusinya.

Blended Finance

Ilustrasi Blended Finance

Konsep Blended Finance

Belum ada sebuah definisi yang disepakati secara umum mengenai blended finance. Faktanya, blended finance memiliki beragam definisi yang disajikan oleh berbagai lembaga multilateral. Berikut adalah sebagian contohnya:

Blended finance is the use of relatively small amounts of concessional donor funds to mitigate specific investment risks and help rebalance risk-reward profiles of pioneering investments that are unable to proceed on strictly commercial terms. Concessional funds are structured as co-investments, with an expectation of reflows for future investments or other uses.

(IFC, 2020)

Blended finance is the strategic use of development finance for the mobilisation of additional finance towards sustainable development in developing countries.

(OECD, 2018)

Blended finance is combining concessional finance from donors or third parties alongside DFIs’ normal own account finance and/or commercial finance from other investors, to develop private sector markets, address the Sustainable Development Goals (SDGs), and mobilize private resources.

(DFI Working Group on Blended Concessional Finance for Private Sector Projects, 2017)

Blended finance is the strategic use of public or philanthropic development capital for the mobilisation of additional external private commercial finance for SDG-related investments.(Blended Finance Task Force, 2017)

Meskipun tiap definisi nampak berbeda-beda, hampir seluruh definisi menyajikan tiga kata kunci yang selalu diulang: development finance, additional finance, dan sustainable development. Ketiga istilah tersebut dapat memberikan petunjuk bagaimana kita dapat memahami apa sebenarnya blended finance dan bagaimana kita dapat mengidentifikasi transaksi blended finance.

1. Development finance

Seperti namanya, development finance merupakan pembiayaan yang digelontorkan dengan tujuan utama untuk kebutuhan pembangunan yang tidak mengharapkan pengembalian modal. Development finance biasanya memiliki fleksibilitas untuk membiayai berbagai aspek pembangunan, mulai dari capacity building, reformasi kebijakan dan sektoral, hingga ke level output proyek. Penyedia development finance yang cukup lazim adalah lembaga multilateral (Bank Dunia, ADB, dll.) maupun public development bank seperti yang diperankan oleh PT SMI (Persero) di Indonesia. Namun, perkembangan akhir-akhir ini juga menunjukkan beberapa filantropi swasta turut andil menyediakan development finance.

Development finance memainkan peran penting membuka hambatan sektor swasta untuk berinvestasi ke ekonomi berkembang. Ini dilakukan dengan cara menyediakan beberapa instrumen yang dapat memitigasi risiko investasi swasta mulai dari yang bersifat makro/sistemik hingga ke level spesifik proyek. Berikut adalah beberapa contoh risiko investasi swasta yang dapat dimitigasi dengan penerapan instrumen development finance yang tepat sebagaimana dijelaskan melalui gambar dibawah.

Blended Finance Task Force

Sumber: Blended Finance Task Force, 2017

 

2. Additional finance

Additional finance yang dirujuk dalam definisi blended finance adalah pembiayaan berorientasi komersial dari investor swasta. Investasi berupa ekuitas dan pinjaman merupakan contoh dari additional finance. Elemen ini sangat penting mengingat leveraging pembiayaan swasta adalah cara untuk memperbesar kapasitas negara berkembang dalam menutup gap kebutuhan pembiayaan infrastruktur. Additional finance menjadi parameter finansial dari keberhasilan transaksi blended finance. Dengan demikian, kolaborasi development finance kepada suatu program atau proyek belum dapat disebut sebagai sebuah transaksi blended finance apabila belum berhasil memobilisasi additional finance.

3. Sustainable development

Pembangunan berkelanjutan merupakan tujuan utama dari inisiatif blended finance. Penyediaan development finance dan keberhasilan memobilisasi additional finance tidak akan berarti apabila tidak menghasilkan dampak secara positif kepada masyarakat. Oleh karena itu, setiap indikator dalam 17 Agenda SDG 2030 dapat menjadi parameter dampak dari keberhasilan transaksi blended finance. Pemerintah sebagai aktor utama SDG juga perlu mempertimbangkan penggunaan blended finance dengan struktur yang berbeda untuk setiap SDG mengingat bahwa setiap SDG tidak memiliki maturity sektor yang setara. Sebagai contoh, SDG 7 (Affordable and clean energy) tentu lebih mudah untuk memobilisasi additional finance daripada SDG 2 (Zero hunger).

Dari komparasi berbagai definisi blended finance di atas dan penjelasan beberapa elemen utamanya, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa blended finance merupakan sebuah struktur transaksi yang berupaya mengoptimalkan pemanfaatan instrumen pembiayaan pembangunan (publik/filantropi) untuk memobilisasi pembiayaan komersial (publik/swasta).

Penerapan Blended Finance

Mengacu pada kajian yang diterbitkan oleh Blended Finance Task Force (2017), salah satu contoh yang sesuai dengan definisi blended finance adalah Proyek Solar Farm di Thailand. Pada 2008, proyek ini masih tidak menarik bagi bank untuk turut serta dalam pembiayaannya dikarenakan risiko yang cukup tinggi. Namun pada 2010, International Finance Corporation (IFC) dan Clean Technology Fund (CTF) menyediakan pinjaman senilai USD 12 juta untuk mendukung terlaksananya pilot phase proyek tersebut. Setelah pilot phase sukses, proyek tersebut berhasil menarik minat swasta hingga terkumpul investasi swasta senilai lebih dari USD 800 juta dalam bentuk pinjaman yang didapatkan dari berbagai bank komersial. Dengan besarnya pembiayaan yang didapat, Proyek Solar Farm tersebut mampu menyediakan daya listrik hingga 250 MW, melebihi target awal yang diperkirakan hanya mampu menyediakan daya listrik 204 MW. Dengan besarnya daya listrik yang dihasilkan dari proyek ini turut berkontribusi pada upaya penurunan emisi karbon di Thailand.

Contoh lain penerapan skema blended finance adalah Africa Agriculture and Trade Investment Fund (AATIF). AATIF merupakan lembaga yang terdiri dari The Federal Ministry of Economic Cooperation and Development of Germany, KfW dan Deutsche Bank. AATIF mempunyai tujuan utama untuk menarik minat swasta ataupun publik untuk turut serta membiayai proyek-proyek agrikultur di Afrika.

Bentuk penerapan blended finance seperti AATIF dapat dikategorikan sebagai fund-level blended finance, sementara Proyek Solar Farm Thailand merupakan bentuk penerapan blended finance pada project-level. Penerapan blended finance yang dapat dilihat berdasarkan tingkatannya ini seringkali membuat mispersepsi terkait konsep blended finance itu sendiri. Selain fund dan project-level, terdapat tingkat lain dari penerapan blended finance seperti institutional-level, market-level, hingga project preparation-level.

Lalu, bagaimana keterkaitan blended finance dengan skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di Indonesia?

KPBU merupakan skema penyediaan infrastruktur yang saat ini sedang berkembang di Indonesia. Skema KPBU umumnya mengaplikasikan konsep project finance yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, badan usaha, dan lenders. Pemerintah sebagai pemilik proyek perlu menyusun konsep proyek yang dapat mendemonstrasikan penyediaan layanan kepada masyarakat dan kepastian sumber pendapatan untuk pengembalian investasi badan usaha dan lenders. Badan usaha akan membangun dan mengoperasikan proyek selama masa kerja sama. Sementara itu, lenders akan memberikan kontribusi pembiayaan yang paling signifikan dalam proyek (lazimnya mencapai >70%). Jika ketiga pihak tersebut dapat melakukan perannya masing-masing dengan optimal, maka dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan proyek KPBU. Sayangnya, di negara berkembang umumnya kedalaman pasar project finance domestik masih dangkal (bunga pinjaman tinggi dengan tenor terbatas) dan sering diasosiasikan dengan beragam risiko investasi (country risk, political risk, demand risk, dll.) sehingga proyek KPBU di negara berkembang lebih sulit dalam mencapai bankability.

Baca juga: Yang Utama, tapi Seringkali Terlupa: Bankability

Blended finance dapat menjadi solusi untuk memperbaiki kondisi ini. Bantuan development finance dari lembaga multilateral yang kredibel dalam berbagai jenis instrumen dapat berpengaruh meningkatkan kredibilitas pemilik proyek di mata pasar (badan usaha dan lenders). Keterlibatan development finance dengan concessional terms juga dapat memberikan confidence ke pasar bahwa proyek KPBU tersebut tidak memiliki risiko tinggi seperti yang dipersepsikan. Apabila ditambah dengan beberapa instrumen yang bersifat de-risking seperti guarantee, hedging, dan insurance, maka pasar akan semakin tertarik dan meningkatkan kemungkinan terjadinya crowding-in investasi swasta.

Sementara untuk menerapkan blended finance pada suatu sistem diperlukan 3 (tiga) faktor kunci yaitu: investor, intermediaries dan pipeline. Investor berperan sebagai pihak yang mempunyai modal dan bersifat jangka panjang. Investor dapat berbentuk concessionary ataupun institutional investment. Faktor kedua adalah perantara atau intermediaries, yaitu instrumen atau lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan modal dari berbagai sumber. Lembaga ini dapat berbentuk lembaga publik maupun lembaga swasta. Faktor kunci yang ketiga adalah pipeline, yaitu daftar proyek yang siap untuk dibiayai sesuai kerangka hukum yang berlaku. Dari ketiga faktor tersebut, pemerintah perlu fokus pada faktor yang secara langsung atau dengan kata lain lebih mudah untuk diperbaiki atau ditingkatkan, yaitu intermediaries dan pipeline. Terkait intermediaries, contoh yang paling mudah diambil saat ini adalah pembentukan SDG Indonesia One yang mempunyai pool atau akses ke berbagai sumber pembiayaan dengan berbagai instrumennya. Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan suatu project pipeline yang tidak hanya bankable namun informasinya juga tersedia untuk diakses oleh pasar.

Dalam konteks KPBU di Indonesia, dapat kita amati penerapan prinsip-prinsip blended finance melalui penyediaan berbagai dukungan oleh Kementerian Keuangan. Penerapan blended finance dapat kita lihat melalui penyediaan Viability Gap Fund (VGF), infrastructure guarantee (Penjaminan) hingga Project Development Facility (PDF). VGF sebagai dukungan atas sebagian biaya konstruksi dapat meningkatkan kelayakan finansial suatu proyek, sedangkan Penjaminan mampu berperan sebagai instrumen de-risking bagi badan usaha. VGF dan Penjaminan tentu akan meningkatkan minat badan usaha dan lenders karena mampu menawarkan proyek yang lebih layak secara finansial dan telah mempunyai mitigasi risiko politik yang baik. Dengan kedua dukungan ini, yang mana dananya bersumber dari dana publik, tentu dapat menarik aliran dana swasta untuk masuk dalam rangka pembiayaan proyek. Sedangkan untuk PDF, karakteristiknya hampir sama dengan blended finance untuk tipe project structuring support yang tujuannya adalah memberikan dukungan pada tahap penyiapan proyek melalui eliminasi hambatan-hambatan yang ada, terutama dalam mengatasi information gaps (Blended Finance Taskforce, 2017).

Ke depan, bentuk-bentuk blended financing perlu terus dikembangkan. Salah satu peluang besar yang dapat dimanfaatkan adalah dengan mobilisasi development finance dan commercial finance yang telah tersedia melalui SDG Indonesia One. Potensi lain yaitu penggabungan sumber pembiayaan pemerintah (pinjaman, penerbitan sukuk negara, dll) dengan pembiayaan swasta melalui KPBU, khususnya yang dirancang melalui PDF yang telah disediakan.

Manfaat dan Tantangan Penerapan Blended Finance

Sebagaimana telah dijelaskan, blended finance dan KPBU merupakan dua hal yang saling melengkapi. Keduanya memungkinkan pemerintah untuk tidak terus bergantung kepada APBN dalam rangka pembiayaan infrastruktur. Blended finance mampu membuka akses ke basis investor yang lebih luas yang mana hal ini merupakan suatu dukungan besar dalam penerapan KPBU di Indonesia. Selain akses ke investor, blended finance juga mampu mendukung pembiayaan infrastruktur di Indonesia melalui:

  • Mengintegrasikan technical assistance dengan pembiayaan
  • Meminimalisasi risiko
  • Meningkatkan likuiditas
  • Membangun aset yang berkualitas dan selaras dengan SDG
  • Mengintegrasikan pihak publik dan swasta

Meskipun penerapan blended finance secara ideal mampu memberikan berbagai manfaat tersebut, namun perlu diingat bahwa terdapat banyak tantangan dalam menerapkan blended finance. Secara garis besar, tantangan tersebut akan tetap berkaitan dengan bagaimana suatu negara dapat menyiapkan suatu lingkungan yang mengintegrasikan faktor kunci yang sebelumnya telah dijelaskan, yaitu investor, intermediaries, dan pipeline. Sebelum masuk ke penyiapan faktor-faktor tersebut, pemerintah perlu untuk menyiapkan kerangka hukum dan perangkat kebijakan yang mampu mendukung atau memungkinkan penerapan blended finance di Indonesia. Pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas project pipeline yang ada sehingga investor mampu menilai proyek yang lebih tepat sesuai skalanya. Tantangan lainnya dalam penerapan blended finance adalah bagaimana mempermudah akses publik ke berbagai sumber pembiayaan dan akses swasta ke pipeline project. Terdapat beberapa solusi atas tantangan tersebut, antara lain berupa standarisasi perangkat yang diperlukan untuk penerapan blended finance, penyusunan asset pool yang sesuai dengan skala investor, dan information sharing antara publik dan swasta.

 

Referensi

  • Jeffery D. Sachs, Christian Kroll, Guillaume Lafortune, Grayson Fuller dan Finn Woelm. 2021. Sustainable Development Report 2021.
  • OECD. 2021. “The OECD DAC Blended Finance Guidance”, OECD Development Co-operation Directorate, Paris
  • Dana Vorisek, Shu Yu. 2020. Understanding the Cost of Achieving the Sustainable Development Goals.
  • IFC. 2020. The Why and How of Blended Finance: Recommendations to Strengthen the Rationale for and Efficient Use of Concessional Resources in Development Finance Institutions’ (DFI) Operations
  • OECD. 2020. DAC Blended Finance Principle 2: Design blended finance to increase the mobilisation of commercial finance.
  • OECD. 2018. Making Blended Finance Work for the Sustainable Development Goals.
  • The Blended Finance Taskforce. 2017. Better Finance, Better World.
  • World Investment Report Overview. 2014. Investing in the SDGs: an Action Plan. UNCTAD