Pembangunan Daerah melalui Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha


1. Pendahuluan

Studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) di awal tahun 2017 menyatakan bahwa Asia perlu melakukan investasi sebesar $26 triliun mulai dari tahun 2016 hingga 2030 atau sebesar $1,7 triliun per tahun untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, mengentaskan kemiskinan, serta merespon perubahan iklim.1 Pembangunan infrastruktur yang dilakukan telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Asia, namun demikian masih terdapat lebih dari 400 juta orang di Asia yang belum memiliki akses listrik dan kurang lebih 300 juta orang masih belum memiliki akses air minum.2

Untuk konteks Indonesia, dengan target tingkat elektrifikasi sebesar 92,75% di tahun 2017, maka di akhir tahun ini terdapat kurang lebih 4,75 juta Rumah Tangga yang belum memiliki akses listrik. Adapun berdasarkan data Kementerian Kesehatan (2016), rata-rata nasional Rumah Tangga yang memiliki akses sumber air minum bersih dan layak adalah 70,63%3, atau kurang lebih ada 19,5 juta Rumah Tangga yang belum memiliki akses ke air minum bersih dan layak. Kedua ilustrasi ini hanyalah bagian kecil dari potret besar penduduk Indonesia yang belum memiliki akses layanan kebutuhan dasar.

Upaya peningkatan alokasi anggaran untuk infrastruktur dari tahun ke tahun terus dilakukan untuk menyediakan layanan kebutuhan dasar kepada masyarakat. Untuk tahun anggaran 2017 misalnya, anggaran infrastruktur dialokasikan sebesar Rp380 triliun atau 19% dari total APBN. Alokasi ini lebih besar Rp63 triliun dibandingkan tahun sebelumnya, namun demikian jumlah tersebut tentu masih jauh dari mencukupi.4

Kebutuhan pendanaan infrastruktur di Indonesia berdasarkan identifikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional adalah sebesar Rp4.796 triliun, dimana APBN dan APBD hanya dapat mencukupi 41%-nya sedangkan sisanya diharapkan berasal dari pembiayaan BUMN (22%) dan dana dari sektor swasta (37%).

Pembangunan Daerah

Berdasarkan data kebutuhan pendanaan infrastruktur tersebut ada 2 pertanyaan penting terkait pendanaan infrastruktur di tingkat Pemerintah Daerah. Pertama, bagaimana efek keterbatasan anggaran ini dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur di daerah? Kemudian, bagaimanakah Pemerintah Daerah dapat menjawab tantangan menyediakan kebutuhan infrastruktur untuk masyarakat yang ada di wilayahnya? Dalam tulisan ini, Penulis akan menjabarkan mengenai peluang pembiayaan melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam menjawab kedua pertanyaan tersebut.

Baca juga: KPBU bukan Privatisasi/Swastanisasi

2. Tanggung Jawab Pembangunan Infrastruktur di Daerah

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan perubahannya, dimulailah era dimana Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih luas sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Penetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempertegas kewenangan pengelolaan keuangan daerah oleh gubernur/bupati/walikota selaku kepala Pemerintahan daerah. Berdasarkan undang-undang ini, fungsi penyusunan kebijakan pengelolaan APBD serta penyusunan rancangan APBD dan perubahannya ada di Pemerintah Daerah. Hal ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab bagi Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam menjalankan fungsinya menyediakan infrastruktur publik dan pembangunan ekonomi di daerah.

3. Keterbatasan Anggaran Pemerintah Daerah untuk Pembiayaan Infrastruktur

Terhitung sejak tahun 2015, Pemerintah mengalokasikan 33% Belanja Negara untuk Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)5 . Hal yang mendasari kebijakan ini antara lain adalah untuk memprioritaskan penyediaan pelayanan dasar di daerah tertinggal, terluar, terpencil, terdepan, dan pascabencana serta mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dasar. Bahkan sejak tahun 2016, anggaran TKDD ini lebih besar daripada anggaran Belanja Kementerian/Lembaga.6

Meskipun demikian, anggaran Pemerintah Kabupaten dan Kota guna membangun infrastruktur di daerah selama ini lebih banyak bertumpu pada Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bagian besar dari pendapatan Pemerintah Daerah di Indonesia masih didominasi dengan belanja pegawai. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata porsi belanja pegawai di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebesar 46%. Adapun Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur di daerah terkendala pada mekanisme penetapan tahunan atas besaran DAK yang diterima, hal ini tentu berpengaruh pada tingkat kepastian pembangunan suatu proyek infrastruktur yang umumnya multiyears.

Upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna mendanai pelaksanaan otonomi sesuai dengan potensi daerah juga memiliki keterbatasan. Sebagaimana terlihat pada gambar 2, optimalisasi PAD selama periode 2008 hingga 2016 walaupun cenderung meningkat namun masih berfluktuasi, sehingga rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD daerah kabupaten/kota adalah kurang dari 10%. Mengingat tuntutan kebutuhan infrastruktur yang ada serta terbatasnya anggaran yang dimiliki, Pemerintah Kabupaten dan Kota dituntut untuk mampu melakukan fungsi perencanaan yang efektif dan prioritisasi yang tepat guna menentukan fokus pembangunan infrastruktur di daerahnya.

Pembangunan Daerah

4. Pertimbangan Pemerintah Daerah untuk Melakukan KPBU

Dengan terus meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur baik di tingkat nasional maupun daerah, kontribusi pembangunan yang diharapkan dapat diperoleh dari swasta atau yang umum disebut Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi tak terelakkan. Strategi penyediaan infrastruktur dengan modalitas KPBU dianggap sebagai strategi yang tepat ditengah keterbatasan anggaran dan pertumbuhan penerimaan perpajakan yang terbatas.

Di tingkat nasional, perkembangan pembiayaan dengan skema KPBU sendiri secara perlahan namun pasti terus meningkat. Terhitung per Agustus 2017, terdapat 8 proyek KPBU dengan nilai Rp53,61 triliun yang telah mencapai tahap pemenuhan pembiayaan (financial close) dan 5 proyek dengan nilai Rp61,6 triliun telah memasuki tahap konstruksi.

Di tingkat Pemerintah Kabupaten dan Kota, opsi penggunaan skema KPBU sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur di daerah perlu dipertimbangkan. Kepala Pemerintahan suatu daerah dapat mengeksplorasi opsi penerapan Skema Pembayaran Ketersediaan Layanan atau Availability Payment sebagai solusi integratif bagi Pemerintah Daerah untuk mengatasi keterbatasan anggaran, sehingga dapat me-leverage kemampuan fiskal daerah dan melakukan percepatan penyediaan layanan kepada masyarakat. Selain itu, penerapan KPBU akan mengurangi kebutuhan biaya operasional untuk melakukan maintenance karena penerapan life cycle costing dari layanan yang akan diadakan tersebut telah diperhitungkan dari awal.

Skema KPBU yang menekankan pada penyediaan layanan dan bukan pada pembangunan fisik akan meningkatkan penggunaan anggaran yang lebih efektif serta tepat sasaran. Selain itu, pembayaran berbasis kinerja (Performance Based Payment) kepada Badan Usaha berdasarkan standar spesifikasi output layanan yang disepakati diharapkan akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat di daerah. Transfer teknologi, pengetahuan, dan inovasi dari badan usaha diharapkan akan meningkatkan kualitas SDM di daerah. Adapun penerapan KPBU lebih memberikan kepastian waktu pada tahap konstruksi fisik, di mana risiko konstruksi ada di pihak swasta dan bukan ditanggung oleh Pemerintah Daerah sebagaimana umumnya pada mekanisme pengadaan tradisional.

5. Persepsi Pemerintah Daerah dalam Melakukan KPBU

Terlepas dari sisi potensi manfaat yang ditawarkan dari skema KPBU, Kepala Pemerintahan Daerah dan jajarannya terkadang memiliki persepsi lain terhadap KPBU yang menyebabkan timbulnya keengganan untuk mengadopsi KPBU. Persepsi bahwa KPBU merupakan bentuk privatisasi merupakan hal yang umum ditemui. Selain itu terdapat pandangan bahwa tahapan penyiapan sebagai proses yang rumit dan mahal serta membutuhkan waktu yang lama.

Program peningkatan kapasitas PJPK di daerah-daerah yang kini rutin dilaksanakan baik oleh kementerian maupun lembaga terkait diharapkan dapat memberikan pemahaman yang tepat mengenai KPBU dan tahapan proses yang harus ditempuh. Mengingat masa kontrak kerja sama KPBU adalah jangka panjang maka dibutuhkan studi yang komprehensif guna meningkatkan kualitas penyiapan serta mengantisipasi konsekuensi dari pengalokasian risiko dalam hal terjadi perubahan selama masa kontrak. Hal-hal tersebut menguatkan alasan mengapa tahap penyiapan perlu dilakukan sebaik mungkin oleh PJPK.

6. Tantangan Bagi Pemerintah Daerah dalam Melakukan KPBU

Wibowo & Alfen (2015)7 menjelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan KPBU oleh Pemerintah yang antara lain menyebutkan bahwa KPBU haruslah sudah memasukkan KPBU sebagai opsi pada proses perencanaan serta prioritisasinya. Bagi proyek yang potensial KPBU maka perlu disusun kajian prastudi kelayakan yang berkualitas untuk meyakinkan serta menarik calon badan usaha pelaksana untuk melakukan investasi. Untuk melakukan hal-hal ini, Pemerintah Daerah perlu menyiapkan SDM yang kompeten dan mampu menjalin koordinasi dengan stakeholders guna melakukan keseluruhan tahapan proses KPBU. Mengingat kontrak jangka panjang dengan badan usaha umumnya akan melewati masa jabatan seorang kepala daerah, maka dibutuhkan pula dukungan politik yang kuat guna menjaga konsistensi dari komitmen daerah untuk menunaikan kewajibannya.

7. Penutup

Guna menjawab tantangan keterbatasan anggaran untuk menyediakan infrastruktur di daerah, Pemerintah Daerah dapat mempertimbangkan penggunaan skema KPBU yang memerlukan persiapan yang baik dari sejak tahap perencanaan. Prioritas pembangunan yang jelas dan transparan didukung dengan kualitas kajian prastudi kelayakan yang baik akan memberikan kenyamanan bagi badan usaha untuk berinvestasi, guna menyediakan layanan yang lebih baik, berkelanjutan, dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia.

Catatan Kaki:

  1. ADB – Meeting Asia’s infrastructure Needs, 2017
  2. ibid
  3. Profil Kesehatan Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2016)
  4. Investor Daily Indonesia (5 April 2017)
  5. DJPK (https://www.kemenkeu. go.id/transfer-ke-daerah-dandana-desa)
  6. DJPK (http://www.djpk. depkeu.go.id/wp-content/ uploads/2017/03/BahanDirektur-Daper.pdf)
  7. Wibowo, Andreas dan Hans Wilhelm Alfen. 2015.” Government-led critical success factors in PPP infrastructure development”, dalam Built Project and Asset Management, Vol. 5 Iss 1 pp. 121 - 134