Prospek KPBU AP dalam Menjaga Kesehatan APBN


Pendahuluan

Perekonomian suatu negara, tidak selalu bisa berjalan mulus sesuai perencanaan yang telah disusun. Berbagai faktor baik internal maupun eksternal dapat membuat perekonomian berfluktuasi. Untuk mengantisipasi fluktuasi yang berlebihan, dikenal dua kebijakan Pemerintah, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merupakan proses penetapan pajak dan pengeluaran Pemerintah dalam rangka mempertahankan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja yang tinggi, dan membebaskan dari inflasi yang tinggi atau bergejolak (Samuelson, 2001). Secara sederhana kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan Pemerintah untuk mengendalikan perekonomian dengan mengubah-ubah anggaran penerimaan dan pengeluaran pemerintah (Manurung, 2009). Sarana yang digunakan oleh Pemerintah dalam menjalankan fungsi fiskalnya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah harus menjalankan peran dan fungsi sentral kebijakan fiskal dengan baik untuk menjaga APBN tetap sehat serta meningkatkan kredibilitas APBN agar lebih realistis, efisien dan berkesinambungan. Dalam pengelolaan stabilitas ekonomi makro, kebijakan fiskal akan berinteraksi dengan kebijakan moneter, mengingat setiap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel ekonomi makro akan berpengaruh pada APBN.

Dalam pelaksanaannya, APBN menjalankan tiga fungsi utama yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, APBN digunakan untuk mengatur penggunaan pendapatan negara untuk dibelanjakan pada pos-pos belanja negara seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, transfer daerah maupun pembangunan infrastruktur dengan memperhatikan target prioritas pembangunan tahun berjalan. Dalam menjalankan fungsi distribusi, APBN diharapkan dapat menciptakan pemerataan untuk menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia yang biasa diukur dengan koefisien Gini. Sedangkan dalam fungsi stabilitas, APBN merupakan tools bagi Pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian dalam hal terjadi guncangan ekonomi yang sangat ekstrem.

Tantangan APBN dalam menjalankan fungsi-fungsinya saat ini menjadi sangat berat mengingat kondisi perekonomian global yang belum stabil sehingga mempengaruhi capaian penerimaan negara, namun disisi lain kebutuhan belanja Pemerintah semakin meningkat dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi, terutama untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyediaan infrastruktur yang membutuhkan dana sebesar Rp4.796,2 triliun untuk tahun 2015-2019.

Untuk menutup gap antara penerimaan dan belanja, Pemerintah menggunakan instrumen pembiayaan melalui utang yang diarahkan untuk belanja produktif seperti pembiayaan DAK Fisik, Dana Desa, pembangunan sektor infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa kenaikan pembiayaan neto seiring dengan kenaikan pos-pos belanja produktif. Namun demikian disisi lain, kebijakan belanja yang ekspansif tanpa diimbangi kenaikan pendapatan negara akan menyebabkan terjadinya defisit keseimbangan primer (negative primary balance).

Keseimbangan primer (primary balance) merupakan neraca yang memperlihatkan pendapatan dikurangi belanja, namun tidak termasuk data pembayaran bunga utang dalam besaran belanjanya. Jika nilainya positif (surplus) berarti bunga utang dibayar dari pendapatan, namun sebaliknya jika negatif (defisit) berarti sebagian bunga utang dibayar bukan dari pendapatan, melainkan dari utang baru. Tahun 1998 hingga tahun 2011 keadaan keseimbangan primer masih surplus. Defisit keseimbangan primer Pemerintah untuk pertama kalinya terjadi pada APBN 2012. Dari grafik di bawah ini dapat dilihat bahwa dalam enam tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit pada keseimbangan primernya dan besarannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian bunga utang dibayar dari penerbitan utang baru yang menyebabkan rasio utang terhadap PDB setiap tahunnya semakin meningkat.

Dalam rangka penurunan besaran defisit keseimbangan primer, Pemerintah dapat melakukan peningkatan target penerimaan maupun dengan penurunan alokasi belanja. Namun, dengan kondisi ekonomi global yang belum stabil serta harga komoditas yang belum membaik, pilihan kebijakan fiskal untuk meningkatkan target penerimaan yang cukup signifikan dari tahun-tahun sebelumnya belum menjadi pilihan yang tepat. Di sisi lain, dengan massive-nya pembangunan infrastruktur saat ini, Pemerintah membutuhkan anggaran belanja infrastruktur yang cukup besar. Untuk itu, dibutuhkan creative financing yang diharapkan akan menjadi solusi dalam mencapai target pembangunan Infrastruktur namun tetap mengupayakan penurunan besaran defisit keseimbangan primer untuk menjaga agar APBN tetap sehat. Salah satu bentuk creative financing yang sudah lengkap payung hukumnya serta sudah digunakan untuk pembiayaan beberapa proyek infrastruktur adalah Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

Tentang KPBU

Salah satu cara untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi adalah dengan melakukan pembangunan. Saat ini Pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur, hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menyebutkan bahwa kebutuhan pendanaan infrastruktur yang meliputi pembangunan sektor transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan permukiman adalah sebesar Rp 4.796 triliun. Dari jumlah tersebut, pendanaan yang dapat dipenuhi oleh APBN dan APBD hanya mencakup Rp 1.978,6 triliun (atau 41,3 persen). Untuk itu, dibutuhkan sebuah inovasi (alternatif) pembiayaan yang efektif dalam menghadapi hal tersebut.

Di banyak negara, Public-Private Partnership (PPP) sudah dikenal sebagai solusi untuk isu yang disebutkan di atas. PPP adalah kerja sama antara Pemerintah dan swasta untuk membagi risiko dan tanggung jawab dalam penyediaan infrastruktur (Grimsey, Darrin dan Lewis, Mervyn, 2002). Di Indonesia, PPP dikenal dengan istilah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015. KPBU merupakan perjanjian yang memuat skema jangka panjang pembagian risiko antara pihak Pemerintah dan Badan Usaha beserta insentif dan penalti pada pelaksanaannya dalam penyediaan layanan dan atau infrastruktur publik. KPBU menjanjikan proses yang transparan dan kejelasan pengembalian investasi kepada pihak swasta serta memungkinkan seleksi dan pemberian tanggung jawab kepada pihak Badan Usaha untuk melakukan pengelolaan secara optimal dan efisien sehingga layanan publik dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama. Ada dua cara pengembalian investasi dalam skema KPBU, yaitu User Payment dan Avalaibility Payment.

Pembayaran Ketersediaan Layanan ("Availability Payment/AP") dan Kontribusinya Terhadap APBN

Salah satu skema KPBU yang dapat difasilitasi adalah Pembayaran Ketersediaan Layanan atau Availability Payment (AP) sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.260 Tahun 2016. Skema ini adalah satu dari beberapa pilihan mekanisme pengembalian investasi secara berkala, umumnya tiap tahun (annually) oleh Kementerian/Kepala Lembaga/Kepala Daerah kepada Badan Usaha. Pembayaran dilakukan berdasarkan atas tersedianya layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam perjanjian KPBU. Pembayaran dilakukan setelah proyek infrastruktur mulai beroperasi.

Melalui skema Availability Payment, Pemerintah akan membayar Badan Usaha atas investasi, biaya operasional serta keuntungan yang layak berdasarkan perhitungan yang matang sesuai hasil studi kelayakan dan negosiasi dengan Badan Usaha. Badan Usaha akan diberi konsesi untuk melaksanakan pelayanan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu kerja sama selesai, seluruh aset akan menjadi milik Pemerintah.

Jika dibandingan dengan Pengadaan Konvensional, Skema AP memiliki beberapa keunggulan. Pertama, Pemerintah tidak terbebani dengan biaya konstruksi proyek infrastruktur yang besar di tahap awal sehingga dana APBN yang terbatas dapat dialokasikan untuk hal lain dengan skala prioritas yang lebih tinggi. Keunggulan lainnya adalah risiko-risiko terkait konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang sebelumnya ditanggung Pemerintah dialihkan ke Badan Usaha yang dianggap lebih kompeten dalam pengelolaannya. Lewat AP, Pemerintah juga bisa memberikan kepastian pengembalian investasi ke Badan Usaha dan Badan usaha tidak menanggung risiko permintaan atau demand risk.

Keunggulan skema ini bukan hanya terletak pada keuntungan yang didapatkan Pemerintah dan Badan Usaha, tetapi juga keuntungan bagi masyarakat sebagai pengguna, karena masyarakat akan mendapatkan layanan dengan kualitas yang lebih baik yang menekankan pada kebutuhan mereka. Biaya keseluruhan siklus hidup proyek (project life cycle cost) juga menjadi lebih rendah dengan menerapkan AP sebagai skema pengembalian investasi, dibandingkan pola konvensional sehingga penyediaan infrastruktur menjadi lebih efisien dalam jangka panjang.

Menurut penulis, efisiensi pengadaan yang dimaksud di paragraf atas bisa terwujud dengan AP, karena dengan menerapkan skema tersebut, Pemerintah bisa menjamin pelaksanaan lebih dari satu pembangunan proyek tiap tahunnya, mengingat karakteristiknya sebagai pengembalian investasi berkala. Pengembalian secara berkala berlangsung bersamaan untuk beberapa proyek sekaligus, sehingga efisiensi waktu untuk pengadaan infrastruktur layanan publik bisa tetap terjaga. Jika dianalogikan dengan membeli furnitur rumah, AP adalah skema pembayaran angsuran untuk memiliki beberapa furnitur sekaligus yang bisa dipakai oleh pemilik rumah sesuai kebutuhan mereka. Sistem ini lebih efisien ketimbang membeli perabot satu-persatu karena keterbatasan anggaran. Perbedaan Pengadaan Konvensional dengan Penggunaan Skema AP bisa dilihat pada grafik berikut ini:

Selain mempercepat program penyediaan infrastruktur, skema AP juga akan menumbuhkan dan memperkuat kepercayaan Badan Usaha terhadap Pemerintah. Dari sisi pengelolaan keuangan negara, skema AP juga berkontribusi terhadap kestabilan keuangan karena dengan pembayaran berkala, arus pembiayaan dari APBN tiap tahunnya dapat direncanakan secara lebih baik. Dalam jangka panjang, stabilitas pengeluaran negara akan membantu proses perencanaan anggaran dan alokasi pembiayaan pembangunan secara keseluruhan. Keunggulan Skema AP juga terlihat terhadap tahapan pengadaan infrastruktur yang lebih efisien karena pembagian peran sudah lebih jelas dan terpusat, seperti bisa dilihat di Diagram 1.

Di negara lain, skema serupa Availability Payment juga telah diaplikasikan dan mencapai hasil nyata. Di Australia misalnya, skema ini dikenal dengan nama Performance-Based Annuity Scheme.

Australia telah berhasil menerapkan model PBAS untuk proyek-proyek dengan skema PPP, misalnya proyek Peninsular Link dan proyek rumah sakit anak di Melbourne. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman mereka mengenai keuntungan menggunakan PBAS. Australia sendiri telah menggunakan PBAS sejak tahun 1990-an, dan PBAS telah mendapat reputasi sebagai skema yang membawa efisiensi dalam pengadaan, nilai uang yang lebih baik, manajemen berbasis kinerja dan fokus menyeluruh untuk eksekusi proyek dengan transfer risiko yang adil /dapat dikelola.

Contoh lain skema serupa AP di Negara lain adalah Private Finance Initiative (PFI), sebuah metode yang sudah dijalankan di Jepang sejak 1999. PFI sendiri bukan hanya mengenai skema pembayaran, tetapi lebih menitikberatkan pada manajemen proyek. Dengan kata lain, PFI adalah bentuk dari Public-Private Partnership (PPP) yang memaksimalkan kemampuan pihak swasta dalam pembiayaan, pengelolaan dan kemampuan teknis dalam konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas publik. Lewat PFI, pihak swasta bisa mengambil keuntungan dari fasilitas-fasilitas tersebut yang menjadikan skema pembayaran serupa AP. Beberapa contoh proyek yang sudah menerapkan skema ini adalah proyek pembangunan dan pengoperasian sekolah, proyek rumah sakit, proyek lapas, proyek pengolahan air bersih dan beberapa proyek jalan.

Kedua contoh di atas semakin memperkuat alasan mengapa AP menjadi skema yang lebih unggul dibandingkan dengan pembayaran konvensional dalam hal kontribusinya terhadap APBN dan iklim perekonomian yang lebih sehat di Indonesia.

Implementasi Proyek AP dan Masa Depannya

Pelaksanaan proyek AP akan melalui dua proses bisnis utama yaitu tahap perencanaan dan pelaksanaan. Tahap Perencanaan dimulai dengan penyusunan rencana penggunaan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan oleh PJPK. Kementerian Keuangan akan melakukan asistensi kepada PJPK guna menyelaraskan tujuan-tujuan, kriteria-kriteria dan prinsip-prinsip penggunaan skema AP. Hasil dari proses perencanaan akan dituangkan dalam Studi Pendahuluan. Selanjutnya, PJPK akan melakukan Prastudi Kelayakan dan penyiapan Rancangan Perjanjian KPBU serta Komitmen Pelaksanaan Pembayaran Ketersediaan Layanan.

Pada lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260 tahun 2016 mengenai Tata Cara Perencanaan dan Penyiapan Skema Pembayaran Ketersediaan Layanan pada Proyek KPBU disebutkan bahwa PJPK harus menyusun Prastudi Kelayakan pada tahap penyiapan sebelum bisa mendapatkan Surat Konfirmasi Pendahuluan yang diterbitkan oleh·Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur. Surat konfirmasi ini menjadi penanda bahwa rencana PJPK untuk menggunakan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan pada proyek KPBU telah selaras dengan tujuan, kriteria dan prinsip sebagaimana ditetapkan dalam PMK tersebut, dan Studi Pendahuluan telah memuat deskripsi umum mengenai jenis dan wujud layanan.

Dalam hal PJPK atau pihak yang bertugas untuk menyiapkan Proyek KPBU dapat menyimpulkan secara definitif bahwa rencana penggunaan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan pada Proyek KPBU dapat dilanjutkan, maka dalam Kajian Prastudi Kelayakan, selain memuat mengenai kajian yang diperlukan menurut peraturan perundang-undangan mengenai KPBU, harus memuat pula kajian mengenai penggunaan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan.

Selanjutnya proses pelaksanaan dimulai dengan proses pengadaan (lelang) untuk memilih Badan Usaha yang mampu menyediakan layanan dengan biaya terendah. Pelelangan akan bersifat terbuka, transparan dan kompetitif. Badan Usaha pemenang lelang akan melaksanakan penyediaan layanan sesuai dengan spesifikasi output yang disepakati dalam perjanjian kerja sama. Pemerintah secara berkala akan membayar jasa penyediaan layanan selama masa kerja sama.

Meskipun terhitung baru, skema AP ini sudah diterapkan di Indonesia untuk proyek berskala besar seperti Palapa Ring. Proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer ini sudah mendapatkan pembiayaan (financial close) dan diprediksi selesai dibangun dan siap beroperasi pada 2019.

Palapa Ring sendiri terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik (untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku) dan satu backhaul (pengantar data) untuk menghubungkan semuanya. Pembangunan ini ditargetkan untuk bisa menjangkau 440 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia, dengan mengintegrasikan jaringan yang sudah tersedia sebelumnya dengan jaringan baru yang akan dibangun di wilayah timur Indonesia (Palapa Ring-Timur). Palapa Ring Timur akan dibangun sejauh 4.450 km yang terdiri dari submarine cable sejauh 3.850 km dan land cable sepanjang 600 km dengan landing point sejumlah lima belas titik pada 21 kota/kabupaten.

Pembiayaan Palapa Ring menggunakan skema KPBU, sesuai Perpres no. 38 Tahun 2015 dengan konsep BOOT (Build-Own-Operate-Transfer) dan menerapkan skema pembayaran ketersediaan layanan (AP). Skema Availability Payment diprakarsai oleh Kementerian Keuangan dan menggunakan sumber dana AP yang berasal dari Dana Kontribusi Universal Service Obligation (USO) yang dikelola oleh Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI). Nilai investasi untuk proyek ini sebesar Rp1,28 triliun untuk paket barat, Rp1,38 triliun untuk paket tengah dan Rp5,13 triliun untuk paket timur.

Komponen biaya yang dapat dibayarkan oleh AP adalah biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan wajar yang diperoleh badan usaha pelaksana selama masa konsesi, yang untuk Palapa Ring adalah 15 tahun.  Formulasi Ketersediaan Layanan yang ditawarkan bisa dilihat di tabel berikut ini:

Keterangan:

  • Capex: Biaya Capex, termasuk biaya konstruksi, penggunaan bahan/alat, pembebasan lahan/sewa dan biaya ekslasi harga dan kontingensi
  • Opex: Biaya Opex, termasuk biaya pemeliharaan, biaya SDM, biaya pergantian alat atau risiko kehilangan, dan tidak termasuk biaya biaya promosi dan biaya pengelolaan pendapatan tarif layanan
  • ROI: Tingkat Pengembalian Investasi, adalah keuntungan Badan Usaha Pelaksana untuk dapat menjalankan operasional kegiatan
  • Pembayaran Ketersediaan Layanan dilaksanakan setiap bulan dan dihitung sesuai dengan rumus penghitungan berikut ini: APn= BKn - Dn

Dengan ketentuan:

  • AP adalah Pembayaran Ketersediaan Layanan.
  • n adalah Bulan pelayanan.
  • BKn adalah Biaya Kapasitas.
  • Dn, adalah total Denda Kegagalan Kinerja

Kejelasan dan transparansi formula besaran cicilan yang harus dibayarkan oleh PJPK merupakan keuntungan dari penggunaan skema AP karena alokasi dana menjadi lebih bisa diprediksi dan disaat yang bersamaan kualitas layanan bisa terjaga karena adanya Service Level Agreement (SLA) yang menjadi bagian skema tersebut. SLA adalah metode yang menjelaskan secara rinci dan mendokumentasikan komitmen antara pihak-pihak terkait untuk memfasilitasi berjalannya pembayaran hutang yang lancar. SLA sangat membantu dalam memantau terjaganya kinerja selama proses pelunasan karena kaitannya yang erat dengan denda kegagalan kinerja yang berpengaruh terhadap AP tiap bulannya.

Adanya SLA dalam skema AP yang digunakan Kemkominfo misalnya, bisa dihitung per bulan dengan menggunakan rumus:

Jika SLA > threshold maka tidak perlu ada denda Jika SLA < threshold, maka perhitungan denda menggunakan rumus berikut:

Denda tiap bulan tersebut bisa mempengaruhi besaran AP sekaligus mendorong terjaganya kualitas layanan selama masa konsesi. Beberapa proyek lain di sektor jalan tol maupun non tol, proyek lapas dan rumah sakit serta fasilitas umum yang saat ini sedang dalam proses perencanaan juga sudah memutuskan untuk menggunakan skema AP.

Penutup

Di masa mendatang, skema KPBU dengan AP memberikan peluang yang sangat besar kepada semua pemangku kepentingan infrastruktur untuk mengembangkan usaha yang bersifat jangka panjang dengan risiko yang relatif rendah mengingat pendapatannya dijamin oleh Pemerintah. Bagi Pemerintah, skema KPBU dengan AP bisa berkontribusi dalam mewujudkan APBN yang sehat.

Eksplorasi skema AP membuka ruang bagi masyarakat untuk sesegera mungkin menikmati layanan publik yang berkualitas. Pengertian kata “berkualitas” di atas tidak hanya mengacu kepada aspek fisik, tetapi juga nonfisik, seperti pemenuhan kebutuhan yang memang diperlukan masyarakat, atau dampak positif yang bisa didapatkan oleh masyarakat di masa depan dari keberadaan layanan tersebut.

Sebagai contoh, proyek pembangunan rumah sakit yang berkualitas tidak hanya bisa diukur melalui aspek fisik seperti gedung baru dan peralatan yang modern, tetapi juga aspek nonfisik seperti pelayanan yang lebih sigap atau efek jangka menengah bahkan panjang bagi kesehatan pasien usai dirawat di rumah sakit. AP menjadi senjata yang ampuh untuk mengupayakan pencapaian kualitas semacam ini, mengingat untuk proyek KPBU, pihak swasta harus bisa memenuhi standar pelayanan minimum yang sudah disepakati dalam perjanjian, baik yang menyangkut aspek fisik maupun nonfisik. Pemenuhan ini mutlak ada agar tidak ada pengurangan pembayaran dari Pemerintah ke pihak swasta, karena pihak swasta dianggap sudah memenuhi tanggung jawabnya.

Dinamika yang dihasilkan dari pengimplementasian skema AP tersebut nantinya bisa memberikan kenyamanan kepada badan usaha dalam berinvestasi untuk proyek infrastruktur yang biasanya adalah proyek jangka panjang. Dampak positif yang dihasilkan tidak hanya terlihat dari APBN dan APBD dengan output yang lebih stabil dan nyata, tetapi juga meningkatkan kepercayaan badan usaha untuk berinvestasi di Indonesia.

Implementasi skema AP juga akan memberikan dampak positif kepada setiap Kementerian dan Lembaga, yaitu mendorong K/L beralih dari penyediaan infrastruktur melalui belanja kontraktual tradisional menjadi penerapan belanja berbasis kinerja (performance based budgeting), sehingga akan memberikan leveraging yang lebih besar terhadap APBN. Pengadaan fasilitas layanan publik yang ada pun akan meningkat, tidak hanya dari segi kuantitas, tapi juga dari segi kualitas, yang nantinya mampu menciptakan kesejahteraan sosial yang merata dan iklim perekonomian yang lebih sehat di Indonesia.