Penyediaan Infrastruktur Layanan Persampahan di Daerah


Oleh: Novian Deka Setya

Urgensi penyediaan infrastruktur layanan persampahan

Urbanisasi -perpindahan penduduk dari luar kota/desa ke kota- di Indonesia sampai dengan saat ini masih terus meningkat dengan prediksi jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan menjadi 66,6% di tahun 2035. Dengan adanya urbanisasi tersebut, selain memiliki dampak positif, akan muncul juga dampak negatif yang perlu diperhatikan, salah satunya yaitu terkait permasalahan persampahan khususnya sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.

Persampahan di Daerah

Pada periode 2010–2030, volume timbulan sampah di Indonesia diperkirakan meningkat rata-rata sekitar 1.1% per tahun. Hingga tahun 2020, persentase sampah yang pengelolaannya dilaksanakan dengan baik di Indonesia mencapai 49,18% sedangkan sisanya masih dibuang langsung ke lingkungan (18,02%) dan ditangani dengan pembuangan di TPA dengan sistem open dumping (32,8%).

Sesuai dengan Agenda Pembangunan pada RPJMN 2020-2024, sektor pengelolaan persampahan perlu dikelola (salah satunya) melalui Agenda 5 yaitu memperkuat infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi dan layanan dasar dimana pengelolaan persampahan ditempatkan sebagai bagian dari pelayanan dasar akses sanitasi.

Dengan adanya peningkatan jumlah penduduk perkotaan dan volume timbulan sampah serta amanat RPJMN 2020-2024 maka layanan fasilitas pengelolaan sampah yang baik perlu segera disediakan.

Kewenangan penyediaan infrastruktur layanan persampahan

Sistem pengelolaan sampah di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU 18/2008). Berdasarkan undang-undang tersebut, pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan sampah meliputi konsep 3R (Reduce-Reuse-Recyle) sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Adapun infrastruktur layanan persampahan yang dimaksud dalam tulisan ini terbatas pada kegiatan penanganan sampah.

Baca juga: Penguatan Pengelolaan Sampah melalui Pendekatan Reduce Reuse Recycle (“3R”) menuju Indonesia Bersih

Lalu siapa yang mempunyai tanggung jawab menyediakan layanan infrastruktur layanan persampahan di daerah? Berdasarkan UU 18/2008 juga, pemerintah kabupaten/kota yang berwenang untuk menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Mengingat kewenangan terdapat di pemerintah kabupaten/kota (untuk selanjutnya disebut Pemerintah Daerah/Pemda), maka pengelolaan sampah yang baik sangat tergantung terhadap besaran alokasi anggaran yang disiapkan oleh setiap pemerintah daerah. Namun sayangnya, alokasi anggaran pengelolaan sampah pada APBD masih rendah.

Lalu bagaimana cara Pemda menyediakan layanan persampahan di wilayahnya? Untuk menjawab ini, perlu dijelaskan bagaimana investment approach, financing dan funding di pemerintah kabupaten/kota.

Investment approach, financing, dan funding

investment approach' mengacu pada bagaimana funding dan financing digunakan untuk menyediakan infrastruktur. Investment approach yang dapat digunakan oleh Pemda untuk menyediakan infrastruktur layanan persampahan meliputi pengadaan barang/jasa tradisional, penugasan melalui BUMD, dan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Investment approach yang digunakan tidak hanya 1 (satu) tapi bisa lebih dalam satu infrastruktur layanan persampahan, misalnya infrastruktur pemilahan sampai dengan pengangkutan menggunakan pengadaan barang/jasa tradisional kemudian pengolahan dan pemrosesan menggunakan KPBU.

Financing mengacu pada uang yang digunakan untuk membayar biaya investasi di awal pembangunan infrastruktur sedangkan Funding mengacu pada uang yang digunakan untuk membayar investasi infrastruktur, operasi, pemeliharaan, dan pembayaran kembali pembiayaan pada saat layanan berjalan.

Financing dapat berbentuk utang dan ekuitas dimana konteks di dalam tulisan ini adalah pembiayaan utang di daerah (pemerintah kabupaten/kota). Financing selalu disertai dengan kewajiban pembayaran kembali selama periode yang disepakati di masa depan dan harus dibayar dengan pendanaan.

Penggunaan financing dan funding terpisah dari investment approach yang digunakan untuk melakukan investasi infrastruktur. Namun, financing dan funding sangat berkaitan dimana  Pemda terlebih dahulu perlu memiliki funding yang cukup untuk keseluruhan life cycle infrastruktur terlebih dahulu untuk memastikan infrastruktur akan dioperasikan dan dipelihara dengan baik sehingga selanjutnya dapat meningkatkan akses ke pembiayaan.

Funding dan Financing pada infrastruktur layanan persampahan

Sebelum menelisik aspek funding infrastruktur layanan persampahan, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai polluter pays principle. Polluter pays principle adalah prinsip yang mengharuskan agar pencemar menanggung biaya atas tindakannya untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan pada masyarakat atau yang melebihi tingkat atau standar polusi yang dapat diterima. Sehingga masyarakat perlu menanggung biaya juga terkait persampahan-bukan hanya ditanggung Pemda.

Sejalan dengan prinsip polluter pays principle, sejatinya di Indonesia telah diatur mengenai tarif retribusi atas layanan persampahan yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi Dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah (Permendagri 7/2021). Sesuai dengan Permendagri 7/2021, dalam penyelenggaraan penanganan sampah (pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah), pemerintah daerah memungut retribusi kepada setiap orang pribadi atau badan atas jasa pelayanan yang diberikan.

Retribusi dimaksud pada prinsipnya merupakan funding dari infrastruktur layanan persampahan. Pemda perlu melakukan penarikan retribusi pada tingkat yang mampu memenuhi biaya pengelolaan sampah secara mandiri baik dari sisi tarif maupun efektifitas pengumpulan retribusinya.

Berdasarkan Permendagri 7/2021, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan. Biaya dimaksud merupakan biaya dalam rangka penanganan sampah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, dan biaya modal. Lebih lanjut, hasil penerimaan Retribusi dianggarkan dalam Retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan pada APBD yang pemanfaatannya diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan penanganan sampah.

Dengan demikian, sudah seharusnya Pemda melaksanakan amanat dalam Permendagri Nomor 7 Tahun 2021 sehingga terjadi optimalisasi retribusi layanan sampah baik dari sisi tarif dan efektifitas penarikannya. Paralel dengan pencapaian optimaliasasi retribusi layanan sampah, paling tidak pemerintah kabupaten/kota dapat meningkatkan alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah dalam APBD-nya.

Setelah funding selama life cycle infrastruktur jelas, sekarang kita masuk ke financing.

Pada prinsipnya financing dalam hal ini pembiayaan utang daerah telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Pembiayaan utang daerah dapat dilakukan oleh daerah untuk membiayai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (termasuk penanganan sampah di dalamnya) dengan dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah.

Beberapa opsi Pemerintah Daerah untuk Financing infrastruktur penanganan sampah antara lain:

1. Pinjaman daerah (pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan)

Pinjaman daerah dapat dilakukan dalam rangka pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah (termasuk penanganan sampah) yang bersumber dari Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah lain; lembaga keuangan bank; dan/atau lembaga keuangan bukan bank.

2. Obligasi daerah

Obligasi daerah dapat diterbitkan dalam rangka pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah (termasuk penanganan sampah).

3. Sukuk Daerah

Sukuk Daerah dapat diterbitkan dalam rangka pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah (termasuk penanganan sampah).

Layanan persampahan yang baik merupakan sesuatu yang perlu segera disediakan oleh Pemerintah Daerah, tentunya dengan dukungan dari masyarakatnya. Lebih lanjut, seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan, cara penyediaan infrastruktur layanan persampahan di Indonesia baik dari sisi funding dan financing telah tersedia dengan dasar hukum yang jelas serta bisa dilakukan oleh seluruh Pemerintah Daerah.

 

Sumber:

  1. Direktorat PDPPI (2021), Tinjauan Sektor Pengelolaan Sampah.
  2. OECD (2021), Unlocking infrastructure investment: Innovative funding and financing in regions and cities
  3. Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
  4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
  6. https://news.detik.com/kolom/d-5233999/urbanisasi-melaju-cepat-kita-bisa-apa.
  7. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5505768/apa-itu-urbanisasi-ini-faktor-penarik-faktor-pendorong-dan-dampaknya.