People-first PPP: Alat untuk Meningkatkan Dampak Manfaat Infrastruktur kepada Masyarakat


Oleh: Muhammad Bagus Alfian

Partisipasi swasta dalam penyediaan layanan publik sebenarnya bukan hal yang baru. Kerajaan Romawi Kuno bahkan sudah memulainya untuk urusan jasa pos. Entitas swasta dalam layanan ini disebut dengan “mancipes” yang akan menyediakan kuda, kereta kuda, dan kurirnya untuk melakukan jasa pengantaran barang, surat, pegawai pemerintah, dan pajak pendapatan. Kerajaan akan memberikan pembayaran atas jasa mancipes termasuk biaya yang mungkin timbul di sepanjang perjalanan seperti pemeriksaan dokter hewan. Setelah munculnya revolusi industri pada abad ke-18, pelayanan publik melalui partisipasi swasta mulai merambah pada sektor penyediaan listrik, perkeretaapian, jembatan, dan jalan berbayar (turnpikes). Pada penghujung akhir abad ke-20, Perdana Menteri Inggris Tony Blair memperkenalkan konsep Public-Private Partnership (PPP) dengan pendekatan Value for Money (VfM) sebagai penyempurnaan dari konsep UK-Private Finance Initiative (PFI) yang diluncurkan oleh pendahulunya, John Major. Konsep PPP kemudian berkembang pesat dan secara luas mulai diimplementasikan untuk penyediaan infrastruktur di banyak negara, termasuk Indonesia.

PfPPP

Turnpike Public Domain, Link

Pemerintah umumnya memanfaatkan PPP untuk menciptakan VfM dalam penyediaan layanan publik dengan mengikutsertakan pembiayaan swasta dalam rangka mengatasi keterbatasan anggaran. Kedua rasional tersebut sangat lazim dilakukan oleh banyak negara. VfM biasanya digunakan sebagai acuan yang melandasi keputusan apakah suatu proyek akan disediakan dengan metode PPP atau metode konvensional, didukung dengan hasil pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif. Di sisi lain, besarnya gap pembiayaan pembangunan infrastruktur untuk menciptakan layanan publik yang dialami banyak negara seringkali tidak didukung peningkatan pendapatan sehingga pertambahan kebutuhan investasi infrastruktur cenderung berbanding lurus dengan peningkatan utang publik. Oleh karena itu, penyediaan infrastruktur melalui PPP juga kerap dilihat sebagai instrumen pembiayaan yang menggeser pencatatan utang dari neraca pemerintah ke neraca swasta, atau lebih dikenal dengan sebutan off-balance sheet financing. Di lain pihak pendekatan PPP dengan cara tersebut akhir-akhir ini menerima beragam kritik, terutama dari kalangan organisasi pemerhati sosial-lingkungan dan juga penggiat Agenda 2030 Sustainable Development Goals (SDGs). Kenapa demikian? Apa yang mungkin salah?

People-first PPP

Pandangan Skeptis terhadap PPP untuk Agenda SDGs 2030: Is it fit-for-purpose?

Indonesia bersama dengan 192 negara lain anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi SDGs pada Tahun 2015 sebagai sebuah peta jalan untuk mengakhiri kemiskinan global, membangun kehidupan yang layak untuk semua dan tidak meninggalkan satu orang pun. SDGs memuat 17 tujuan pembangunan berkelanjutan yang disepakati untuk menjadi komitmen bersama seluruh 193 negara anggota PBB. Pencapaian 17 SDGs secara ringkas mensyaratkan adanya pertumbuhan ekonomi, perbaikan atas kebutuhan sosial sembari mengatasi perubahan iklim selama 15 tahun sampai dengan 2030. Agenda 2030 dilaksanakan dengan prinsip-prinsip mengedepankan manusia (people-centered), universal, transformatif, dan terintegrasi.

Untuk mencapai agenda SDGs, investasi infrastruktur merupakan sebuah konsekuensi yang tidak terelakkan. Dengan kapasitas pembiayaan publik dan lembaga internasional yang terbatas, PBB juga melihat PPP sebagai instrumen yang memainkan peran penting dalam pencapaian agenda 2030. Secara umum, pengakuan ini terefleksikan dalam tujuan SDGs ke-17: Partnership for The Goals. Sementara itu, secara spesifik, peran penting PPP untuk SDG diakui dalam salah satu hasil diskusi PBB pada Agenda Addis Ababa paragraf 48 yang memberikan penekanan mengenai aspek “masyarakat sebagai penerima layanan”. Hasil Agenda Addis Ababa ini mengawali perkembangan diskursus keraguan PBB mengenai kesesuaian (fit-for-pupose) konsep PPP sekarang dengan aspirasi pencapaian Agenda 2030.

Baca juga: SDGs, ESG dan Infrastruktur

Pihak yang kontra dengan PPP berpendapat bahwa sektor swasta akan cenderung untuk fokus memaksimalkan keuntungan halmana secara fundamental tidak kompatibel dengan insentifnya untuk memproteksi lingkungan dan memastikan akses universal terhadap layanan publik yang berkualitas. Dengan demikian, dalam sebuah proyek PPP, pihak pemerintah dianggap menjadi tumpuan utama untuk memastikan adanya aspek proteksi terhadap lingkungan dan fokus layanan kepada masyarakat dalam struktur proyek PPP. Sayangnya, kebanyakan rasional PPP saat ini hanya untuk mengejar VfM dan mengatasi keterbatasan anggaran halmana kerapkali mengaburkan hakikat kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan berkualitas kepada masyarakat dengan tetap memberikan perhatian yang berimbang terhadap aspek proteksi lingkungan. Padahal, keduanya (layanan berkualitas dan proteksi lingkungan) merupakan modal paling mendasar dalam implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diaspirasikan oleh Agenda 2030.

Memetik Pelajaran dari “History RePPPeated: How Public-Private Partnerships are Failing

Pendapat keraguan terhadap konsep PPP yang hanya fokus kepada VfM dan budget constraint diperkuat dengan bukti empiris yang disajikan oleh Heinrich-Böll-Stiftung dalam bukunya yang berjudul “History RePPPeated: How Public-Private Partnerships are Failing”. Buku ini menampilkan sepuluh contoh partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur yang dianggap mengalami kegagalan dalam konteks kepentingan untuk menyediakan layanan publik yang inklusif, terjangkau, dengan tanpa meninggalkan aspek proteksi terhadap lingkungan. Berikut adalah dua dari 10 contoh relevan dalam buku tersebut yang secara tepat menggambarkan bagaimana ‘kegagalan’ konsep PPP saat ini:

1. Bandara Internasional Chinchero di Kota Cuzco, Peru

Pemerintah Peru sejak awal telah menentukan tujuan proyek untuk menyediakan layanan penerbangan bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke situs kuno Machu Picchu, salah satu peninggalan Kerajaan Inka yang juga masuk dalam daftar Tujuh Keajaiban Dunia. Lingkup proyek meliputi desain, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan bandara baru di sebuah kawasan yang berjarak 29 km dari utara Kota Cuzco, dengan ketinggian 3700 m di atas permukaan air laut.

Penentuan lokasi ini ternyata belum melalui sebuah konsultasi yang inklusif dan partisipatif dengan komunitas pada area terdampak. Padahal, lokasi bandara terletak di salah satu kota termiskin di negara tersebut, dengan 25% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini diperburuk dengan konsep desain layout bandara yang diperkirakan akan menggusur sekitar 15 ruas jalan dan saluran irigasi yang saat ini digunakan oleh penduduk lokal. Proyek tersebut akan membuat penduduk lokal menempuh perjalanan yang lebih jauh untuk melakukan kegiatan ekonomi sehari-hari. Di samping itu, Chinchero dikenal luas dengan seni kerajinan tangan dan karya tekstilnya dimana perempuan menjadi perajin utamanya. Konsep proyek belum mengkaji gender and social equity sehingga proyek berpotensi mengancam eksistensi kebudayaan leluhur, selain juga memperpanjang rute distribusi untuk aktivitas kerajinan.

Dapat disimpulkan bahwa proyek kurang memperhatikan transparansi dan partisipasi publik dalam prosesnya. Padahal, kebijakan publik (dalam hal ini penyediaan infrastruktur) akan selalu menghasilkan dua sisi eksternalitas: positif dan negatif. Pihak pemerintah berkewajiban untuk menyeimbangkan manfaat dan dampak negatif dari sebuah proyek infrastruktur. Selain itu, dalam penyediaan infrastruktur, penting bagi sebuah negara memiliki sebuah institusi yang memiliki kapasitas untuk menyusun pengembangan infrastruktur yang dapat menerapkan kriteria seperti sustainability sehingga proyek mampu mengatasi kerentanan terhadap perubahan iklim.

2. Sistem Penyediaan Air Minum di Khandwa, India

Pada tahun 2009, India memberikan salah satu kontrak PPP untuk penyediaan air minum pertamanya di Kota Khandwa, sebuah kota kecil di negara bagian Madhya Pradesh. Kontrak PPP ditandatangani oleh Khandwa Municipal Corporation (KMC) sebagai PJPK dan Vishwa Infrastructure and Services Pvt. Ltd. (Vishwa) sebagai SPC/BUP. Proyek ini akan berlangsung selama 25 tahun, dimana pada tahun awal operasional proyek akan menyuplai 29 juta liter air per hari untuk 200 ribu penduduk Kota Khandwa. Berbeda dengan konteks Indonesia, BUP dalam proyek ini akan menyediakan air minum secara langsung kepada masyarakat termasuk memungut tarif pemakaiannya.

Kontrak PPP antara KMC dengan Vishwa mencantumkan bahwa tarif pemakaian air ditetapkan sebesar Rs 11.95/kiloliter atau setara dengan USD 0.22/kiloliter yang mana terindeksasi dengan kenaikan 10% setiap tiga tahun, namun juga dapat dinaikkan dalam hal Vishwa mengalami penurunan pendapatan. Penyesuaian tarif pemakaian air akan dilakukan oleh Price Review Committee yang anggotanya terdiri dari akuntan, auditor, dan insinyur dari kedua pihak (KMC dan Vishwa) tanpa melibatkan partisipasi masyarakat penerima layanan. Hasilnya, tarif pemakaian air yang seharusnya dikenakan sesuai kontrak PPP pada kisaran USD12 per tahun berubah meningkat drastis menjadi USD75 per tahun. Tarif tersebut dikenakan pada sebuah kota dengan tingkat pengangguran yang cukup tinggi, 35% penduduk berada di bawah garis kemiskinan, dan rata-rata pendapatan perkapita mendekati USD380 per tahun (hasil survey ekonomi pada tahun 2009-2010).

Pada tahun 2012, KMC menerbitkan sebuah notifikasi kepada masyarakat dengan judul “Water Metering and Regularisation Rules, 2012” berkaitan dengan penyediaan air minum oleh Vishwa. Pengumuman ini mengundang beragam keluhan dan kritik dari masyarakat. Lebih dari 10 ribu rumah tangga melayangkan nota keberatan terhadap proyek sejak 30 hari dari pengumuman tersebut. Karena jumlah nota keberatan yang sangat signifikan, pemerintah negara bagian Madhya Pradesh membentuk komite independen yang bertujuan untuk menyelidiki keberatan tersebut dan mengusulkan solusinya. Komite independen tersebut melaporkan hasil investigasinya bahwa kontrak PPP tersebut telah direvisi beberapa kali dengan mengubah syarat dan kondisi serta spesifikasi proyek yang cenderung menguntungkan Vishwa. Laporan tersebut juga menyatakan terdapat kejanggalan dalam proses pengadaan konsultan dan juga pengadaan Vishwa dimana lelang hanya diumumkan secara lokal dan KMC memperbolehkan perubahan spesifikasi layanan bahkan setelah lelang selesai. KMC terus menerus menerima teguran dari pemerintah negara bagian, meskipun sampai hari ini proyek tersebut masih beroperasional.

Proyek ini memberikan pelajaran bahwa perencanaan sebuah proyek untuk kesejahteraan publik perlu melalui proses demokratis dimana dalam prosesnya perlu berkonsultasi dengan masyarakat penerima layanan serta terdampak. Implementasi PPP oleh otoritas lokal yang kurang memiliki kapasitas untuk berkontrak dengan swasta dapat mengarah pada cara yang salah kaprah apabila tidak dilengkapi dengan pengawasan dan pemberian panduan tertentu dari pemerintah pusat. Dengan cara yang salah, sebuah proyek layanan publik (apakah PPP atau konvensional) dapat berdampak negatif kepada masyarakat miskin dan bahkan memperlebar jurang antara penduduk kaya dan miskin, seperti dalam kasus penyediaan air minum di Kota Khandwa.

Kemunculan Konsep People-first PPP

Dalam banyak kasus, pemerintah telah menggunakan PPP dengan cara yang kurang tepat dalam konteks memberikan perhatian khusus terhadap penyediaan layanan yang berkualitas kepada masyarakat. Untuk lebih meningkatkan aspek fokus kepada masyarakat sembari mengembalikan kepercayaan publik terhadap PPP, United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), salah satu komisi regional PBB, sejak 2015 menginisiasi People-first PPP (PfPPP) sebagai sebuah pembaruan atas konsep PPP tradisional yang didesain dengan menempatkan pencapaian SDGs sebagai inti dan masyarakat sebagai main beneficiaries. Konsep PfPPP dibangun dengan mengacu pada key drivers SDGs seperti perubahan transformatif, ketahanan lingkungan, pengentasan kemiskinan, transparansi, dan good governance. PfPPP diharapkan lebih fit-for-purpose untuk dimanfaatkan dalam upaya mencapai Agenda 2030. PfPPP tidak akan menghapus VfM sebagai alat penilaian oleh pemerintah sebagaimana dipraktikkan selama ini, namun PfPPP mensyaratkan alat penilaian tersebut dilengkapi dengan konsep Value for People (VfP) dan Value for Future (VfF). Apa itu?

1. Value for People (VfP)

Konsep VfP beranjak dari pemikiran dan berbagai bukti empiris bahwa penilaian VfM tidak cukup untuk memastikan adanya people-focus dalam sebuah proyek PPP. Fokus dari VfM hanya berkutat pada maksimalisasi tingkat kepuasan pemangku kepentingan proyek terhadap output yang dihasilkan proyek seperti kuantitas, kualitas, biaya, deadline, dan risiko, sembari berupaya meminimalkan belanja publik. Konsep VfP mengakomodasi aspek bagaimana masyarakat, sebagai pengguna proyek dan pembayar pajak dapat dipengaruhi oleh proyek dan berupaya memastikan dampak positif dan negatif suatu proyek setidaknya dapat didistribusikan secara adil dan merata.

2. Value for Future (VfF)

Munculnya konsep VfF juga diawali dari penemuan salah satu kelemahan VfM, yaitu VfM hanya berupaya mencapai keseimbangan antara efisiensi dan hasil secara tepat waktu dibandingkan dengan menggunakan metode konvensional. Sehingga VfM hanya berfokus pada manfaat untuk pengguna proyek dengan skala waktu langsung (penilaian saat ini). Padahal, manfaat dan biaya dari sebuah proyek infrastruktur akan dihasilkan selama proyek tersebut beroperasi dan penggunaan struktur pembiayaan yang kurang tepat dapat menciptakan efek redistribusi (ketidaksesuaian/mismatch jangka waktu antara penerimaan manfaat dan pembebanan biaya) yang kurang adil, bahkan cenderung regresif untuk kelompok sosial dan teritorial tertentu di generasi masa depan.

Sebagai contoh sederhana, pembangunan sebuah proyek infrastruktur mungkin dapat secara optimal dinikmati manfaatnya untuk generasi sekarang setelah masa konstruksi selesai dan mulainya layanan beroperasi. Namun, apabila struktur pembiayaan proyek tersebut menggunakan bullet loans (jenis pinjaman yang pokok dan bunganya akan dibayar di akhir jatuh tempo pinjaman), maka generasi masa depan berpotensi menanggung biaya proyek tersebut berupa tekanan fiskal yang lebih tinggi dari generasi saat ini dan mungkin tidak menerima manfaat yang sepadan dengan manfaat yang diterima generasi saat ini. Proyek dengan struktur pembiayaan yang demikian berpotensi mengancam keberlangsungan generasi masa depan. Oleh karena itu, konsep VfF berupaya untuk mendistribusikan dampak penerimaan manfaat dan pembebanan biaya dari suatu proyek secara adil dan merata lintas generasi.

Konsep VfP dan VfF menjadi pembeda antara PPP tradisional dengan PfPPP yang lebih modern dan resilient sesuai dengan konteks pembangunan saat ini.

Outcome dan Prinsip PfPPP

Konsep PfPPP dirancang untuk menghasilkan outcomes sebagai berikut

  1. Meningkatkan akses terhadap layanan esensial dan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial (Access and Equity);
  2. Memperbaiki efektivitas dan keberlanjutan ekonomi (Economic Effectiveness and Fiscal Sustainability);
  3. Meningkatkan ketahanan dan tanggung jawab terhadap keberlanjutan lingkungan (Environmental Sustainability and Resilience);
  4. Mempromosikan replikabilitas dan pengembangan proyek yang lebih jauh untuk memenuhi dampak transformatif yang dipersyaratkan Agenda 2030 (Replicability); dan
  5. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proyek (Stakeholder Engagement).

Selain itu, UNECE juga telah menetapkan 10 prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan oleh para pemangku kepeintingan dalam implementasi PfPPP, antara lain:

Prinsip 1

Membangun agenda transformatif ‘People-first’ ke dalam strategi pengembangan infrastruktur dan memastikan bahwa kebutuhan masyarakat didengarkan

Prinsip 2

Menyediakan lebih banyak proyek ‘People-first’ yang lebih baik dan sederhana melalui kerjasama dengan pemerintah dan memampukan kota-kota dan otoritas lokal untuk membangun proyeknya sendiri

Prinsip 3

Meningkatkan kemampuan SDM pemerintahan untuk merumuskan proyek ‘People-first’, khususnya memastikan pemerintah memahami bagaimana cara memberdayakan perempuan dalam proyek dan juga mendorong sektor swasta untuk berkontribusi dalam transfer pengetahuan yang diperlukan.

Prinsip 4

Merumuskan kerangka legal dan kebijakan yang inklusif yang dapat membuka pelibatan masyarakat secara aktif dan focus pada pendekatan ­zero-tolerance terhadap praktik korupsi

Prinsip 5

Mengungkapkan lebih banyak informasi mengenai proyek kepada masyarakat khususnya mengenai komitmen yang dibuat dengan beragam mitra dalam proyek

Prinsip 6

Melakukan langkah-langkah ­de-risking proyek dengan menyediakan iklim yang mendukung prediktabilitas

Prinsip 7

Menetapkan secara jelas kritera seleksi proyek untuk mempromosikan Value for People sehingga proyek ‘People-first’ terbaik yang akan terpilih

Prinsip 8

Membuat keberlanjutan lingkungan sebagai komponen utama dalam mengevaluasi, memilih, dan melaksanakan proyek ‘People-first

Prinsip 9

Memastikan bahwa blended financing dapat mengatalisasi sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek ‘People-first

Prinsip 10

Menghindari debt trap dengan memastikan keberlangsungan fiskal dari proyek ‘People-first’ dan transparansi kebijakan fiskal.

 

Wacana PfPPP Evaluation Methodology sebagai Sertifikasi ESG

Selain berupa policy statement dan penyusunan beberapa dokumen best practices, UNECE juga menyadari adanya kebutuhan instrumen yang dapat menilai apakah suatu proyek yang diusulkan benar-benar telah mengadopsi prinsip-prinsip PfPPP termasuk VfM, VfP, dan VfF. Untuk itu, UNECE telah merumuskan instrumen berupa sebuah evaluasi mandiri (self-assessment tools) dan mungkin sebuah skema sertifikasi PfPPP yang saat ini masih dalam tahap diskusi di dalam UNECE. Instrumen tersebut dinamakan dengan “PfPPP Evaluation Methodology” yang memuat tiga elemen:

  1. Benchmark dan kriteria evaluasi yang mendemonstrasikan pencapaian kelima outcomes PfPPP;
  2. Pembobotan dan pemeringkatan mengenai outcomes PfPPP bersama dengan isu-isu terkait penilaiannya;
  3. Sistem penilaian yang dapat menyediakan evaluasi yang diperlukan oleh beragam pemangku kepentingan untuk mengubah dan menyesuaikan desain dan operasionalisasi proyek untuk membuatnya dapat lebih memenuhi outcomes PfPPP dan SDGs secara keseluruhan.

PfPPP Evaluation Methodology dapat diterapkan untuk seluruh proyek PPP baik infrastruktur ekonomi maupun sosial. Instrumen ini bertujuan menyediakan pemahaman yang seragam mengenai konsep PfPPP di antara pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi internasional. Instrumen ini dapat digunakan sejak perencanaan proyek sampai dengan penyiapan dan implementasi proyek. Namun, penggunaan instrumen ini akan lebih optimal ketika dilaksanakan sedini mungkin (perencanaan) karena rekomendasi penyesuaian atas konsep dan desain proyek pada tahap perencanaan akan lebih mudah dan murah daripada dilakukan dengan sangat terlambat pada tahap implementasi proyek.

Peluang Implementasi PfPPP di Indonesia

PfPPP memang merupakan hal baru sehingga belum dipertimbangkan dalam kerangka regulasi PPP dan infrastruktur di Indonesia. Selain itu, faktanya diskursus PfPPP hingga hari ini masih terus berkembang di internal UNECE. Wacana skema sertifikasi/rekognisi oleh UNECE menjadi salah satu hal yang menarik untuk ditunggu, lebih-lebih lagi jika terkoneksi dengan peluang untuk mendapatkan pembiayaan kreatif seperti impact investment. PfPPP yang mengutamakan dampak kepada masyarakat akan menjadi alat ukur yang sangat sesuai dan kompatibel bagi impact investment. Selain untuk menghindari replikasi implementasi PPP seperti dalam buku History RePPPeated, perkembangan PfPPP dan impact investment rasanya hanya akan menguatkan alasan mengapa Indonesia perlu segera mulai mengimplementasikan PfPPP.

Sebagai langkah awal, Kementerian Keuangan telah mencoba menerapkan Quality Infrastructure Investment Principles (QII Principles) ke dalam Fasilitas Penyiapan Proyek dan Transaksi (Fasilitas PDF). QII Principles dan PfPPP akan saling melengkapi dalam konteks meningkatkan perhatian terhadap aspek kualitas infrastruktur. QII Principles memberikan penekanan pada beberapa hal berikut:

  1. Memaksimalkan dampak positif infrastruktur dalam mencapai pertumbuhan dan pengembangan yang berkelanjutan.
  2. Meningkatkan efisiensi ekonomi dari perspektif life-cycle cost.
  3. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam investasi infrastruktur.
  4. Ketahanan bangunan terhadap bencana alam dan risiko lainnya.
  5. Mengintegrasikan pertimbangan sosial dalam investasi infrastruktur.
  6. Memperkuat tata kelola infrastruktur.

Penutup

PfPPP merupakan alat untuk mengukur bagaimana dampak pembangunan infrastruktur terhadap masyarakat, apakah manfaat dan biayanya mampu terealisasi sesuai dengan yang diproyeksikan di awal, dan apakah manfaat dan biaya tersebut dapat terdistribusi secara adil dan merata terutama untuk kelompok rentan dan masyarakat miskin. Sehingga dengan PfPPP akan menuntun pemerintah untuk mengubah perspektif PPP tradisional tidak hanya melihat VfM dan budget constraint sebagai rasionalnya tetapi juga fokus memprioritaskan kebutuhan masyarakat sebagai tujuan paling mendasar dari penyediaan infrastruktur.

 

Referensi

  • Rozenberg, Julie; Fay, Marianne. 2019. Beyond the Gap: How Countries Can Afford the Infrastructure They Need while Protecting the Planet. Sustainable Infrastructure. Washington, DC: World Bank. © World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/31291 License: CC BY 3.0 IGO.
  • UNECE. 2019. Introduction to People-first Public-Private Partnerships in support of the United Nations Sustainable Development Goals.
  • UNECE. 2021. People-first PPP Evaluation Methodology: User’s Guide to the Self-Assessment Tool.
  • Frilet, Marc. 2021. Evolution of PPP Concepts and Practice. WAPPP: Geneva
  • Barth-Coullaré, Jean-Christophe. 2021. The Emergence of People-First Public Private Partnerships (PfPPPs). WAPPP: Geneva
  • Baxter, David. 2021. When Public-Private Partnerships Put People First. WAPPP: Geneva
  • Hayek, Ziad Alexandre. 2021. PPPs and ESG. WAPPP: Geneva
  • Turró, Mateu; Penyalver, Domingo. 2021. Intergenerational Redistributive Effect in Value for People and Value for the Future. WAPPP: Geneva
  • Heinrich-Böll-Stiftung. 2018. History RePPPeated: How Public-Private Partnerships are Failing. Heinrich-Böll-Stiftung: Berlin.
  • OECD. 2008. Public-Private Partnerships: In Pursuit of Risk Sharing and Value for Money. OECD: Paris.