Penulis: Eko Agus Purwanto
Kelayakan finansial suatu proyek merupakan hal yang sangat penting untuk menarik partisipasi swasta dalam rangka pembangunan infrastruktur. Berangkat dari hal tersebut, maka pada tahun 2010 diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 (Perpres 78/2010) tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek KPBU melalui BUPI. Melalui regulasi dimaksud, disampaikan bahwa Penjaminan Infrastruktur merupakan pemberian jaminan atas kewajiban finansial PJPK yang berupa kewajiban pembayaran kepada BUP atas terjadinya risiko infrastruktur. Kewajiban finansial muncul apabila suatu risiko yang menjadi tanggung jawab PJPK terjadi, sehingga menimbulkan kewajiban bagi PJPK untuk membayar kompensasi finansial kepada BUP. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa fokus utama pada penjaminan adalah risiko infrastruktur.
Berdasarkan Perpres 78/2010, Risiko Infrastruktur merupakan peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi selama masa perjanjian kerja sama (“PKS”) dan dapat mempengaruhi secara negatif investasi yang telah dilakukan swasta pada proyek KPBU. Mengacu kepada definisi tersebut, beberapa variabel berikut perlu dipahami yaitu (1) peristiwa; (2) mungkin terjadi; (3) selama masa perjanjian; dan (4) mempengaruhi negatif.
Baca juga: Penjaminan Infrastruktur
Peristiwa, berdasarkan KBBI, adalah kejadian yang benar benar terjadi dan juga dapat diartikan sebagai kejadian luar biasa. Kata peristiwa digunakan untuk mendefinisikan Risiko Infrastruktur karena biasanya risiko terjadi sebagai kejadian yang luar biasa. Variabel kedua yaitu “mungkin terjadi” menggambarkan bahwa kejadian yang luar biasa itu memiliki kemungkinan terjadi ataupun tidak terjadi. Masalahnya dalam hal kejadian luar biasa itu terjadi, hal tersebut memiliki kekuatan untuk mempengaruhi negatif dan yang dipengaruhi adalah investasi pihak swasta yang telah ditanamkan pada proyek KPBU. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan penjaminan bersifat antisipatif dan terkait dengan pemberian kompensasi atas pengaruh negatif tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat memberikan kompensasi, peristiwa harus dapat digambarkan dengan jelas dalam Perjanjian. Sampai di sini, kita dapat membayangkan bahwa Perjanjian KPBU harus menggambarkan keterjadian Risiko Infrastruktur sehingga risiko tersebut dapat dialokasikan dengan tepat sesuai kemampuan para pihak dalam perjanjian untuk mengelola, mengendalikan, mencegah ataupun menyerap pengaruh negatif yang ditimbulkan kejadian tersebut. Hal ini disebut pinsip alokasi risiko.
Penjaminan Infrastruktur diberikan untuk risiko yang dialokasikan kepada pihak pemerintah hal ini diamanatkan melalui Pasal 4 Perpres 78/ 2010, yaitu:
“Penjaminan Infrastruktur diberikan terhadap Risiko Infrastruktur yang:
Prinsip alokasi risiko dan ketentuan tersebut menitikberatkan bahwa subyek yang menyebabkan keterjadian risiko adalah faktor penentu untuk memutuskan apakah risiko tersebut dapat dijamin atau tidak. Oleh karena itu, Perjanjian KPBU perlu juga menggambarkan dengan jelas bagaimana Risiko Infrastruktur terjadi dan siapa subyek penyebabnya, apakah pemerintah, pihak swasta atau pihak lainnya. Penjaminan hanya dapat diberikan apabila prinsip alokasi risiko diaplikasikan pada Perjanjian KPBU dan untuk risiko yang disebabkan oleh pihak Pemerintah. Karena apabila tidak, bisa dipastikan bahwa Penjamin Pemerintah tidak dapat mengukur dengan tepat besaran kompensasi yang perlu ditanggung olehnya.
Lebih lanjut, pada hakikatnya, Perjanjian Penjaminan merupakan suatu perjanjian yang sifatnya accessoir yang berarti, Perjanjian Penjaminan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri dan terikat dengan perjanjian pokoknya dalam hal ini adalah Perjanjian Kerja Sama. Oleh karena itu, substansi dalam Perjanjian Penjaminan harus mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Sama. Hal ini juga dipertegas melalui amanat Pasal 5 Perpres 78/2010 yang pada intinya mengatur bahwa Penjaminan Infrastruktur dapat diberikan sepanjang Perjanjian Kerja Sama memuat ketentuan paling sedikit mengenai: alokasi risiko, upaya mitigasi, jumlah kewajiban finansial PJPK, jangka waktu termasuk grace period, dan prosedur yang wajar mengenai penetapan ketidaksanggupan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban finansialnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah setiap PKS proyek sudah memuat hal-hal tersebut?
Proyek KPBU Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi (“Proyek”) adalah proyek pembangunan dan pengoperasian jalan tol dari Probolinggo hingga Banyuwangi sepanjang 172,91 km dengan nilai investasi mencapai Rp23,39 triliun. Proyek ini merupakan salah satu proyek yang memperoleh dukungan pemerintah berupa Penjaminan Bersama dari Kementerian Keuangan dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (“PT PII”). Secara garis besar, substansi pengaturan pada Perjanjian Penjaminan proyek tersebut sama halnya dengan yang berlaku umum, yaitu mengatur mulai dari maksimum cakupan penjaminan dan risiko penyebabnya, masa berlaku perjanjian, tata cara klaim penjaminan, imbal jasa penjaminan, penjelasan cidera janji dan pengakhiran, hingga mekanisme perubahan.
Ilustrasi Jalan Tol
Di dalam Perjanjian Penjaminan Proyek, baik PT PII maupun pemerintah, memberikan jaminan berdasarkan sebuah nilai maksimum. Hal ini berarti, kompensasi yang dapat diberikan Penjamin dibatasi pada nilai maksimum tersebut. Nilai maksimum kompensasi ini diberikan untuk beberapa risiko seperti risiko keterlambatan tanah, risiko keterlambatan penyesuaian tarif tol, risiko politik permanen, hingga risiko politik temporer.
Lebih lanjut, ketentuan mengenai peristiwa-peristiwa yang menjadi penyebab penjaminan dapat diklaim tidak dijelaskan langsung dalam Perjanjian Penjaminan, melainkan tetap mengacu kepada ketentuan di PPJT. Jika menilik ke PPJT maka diketahui bahwa yang dimaksud dengan “risiko politik yang berakibat pada pengakhiran”, yang mana dialokasikan kepada PJPK, disebabkan oleh peristiwa berikut:
Sementara untuk alokasi risiko yang menjadi tanggung jawab PT PII, berdasarkan PPJT, adalah sebagai berikut:
Selain penjelasan acuan peristiwa-peristiwa diatas dan juga batasan maksimal klaim penjaminan untuk setiap peristiwa, hal lain yang juga penting yang diatur dalam Perjanjian Penjaminan adalah masa berlaku penjaminan tersebut. Dalam Perjanjian Penjaminan Proyek, dijelaskan bahwa penjaminan berlaku mulai “Tanggal Efektif” hingga terjadinya salah satu kejadian berikut (manapun yang lebih dahulu terjadi):
Sementara yang dimaksud Tanggal Efektif, adalah tanggal dimana semua kejadian-kejadian berikut telah terpenuhi:
Dengan mempertimbangkan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan risiko infrastruktur, jika kita melihat Perjanjian Penjaminan Proyek maka risiko-risiko tersebut akan mengacu kepada risiko-risiko sebagaimana dijelaskan pada PPJT. Namun apabila kita menilik substansi PPJT maka belum ada bagian yang dikhususkan untuk menerangkan mengenai alokasi/distribusi risiko. PPJT hanya menjelaskan mengenai risiko-risiko apa saja yang berpotensi terjadi dalam pelaksanaan perjanjian dimaksud. Sementara penegasan distribusi risiko baru muncul di Perjanjian Penjaminan Proyek. Alokasi risiko yang telah disusun pada PPJT juga belum mampu menjelaskan peristiwa/kejadian yang menyebabkan risiko tersebut terjadi karena belum tentu suatu risiko yang dialokasikan kepada PJPK hanya dapat disebabkan ada/tidak adanya tindakan PJPK ataupun pihak pemerintah lainnya. Dalam hal PPJT tidak menggambarkan secara rinci, mungkin saja ada hal-hal lain di luar kewenangan PJPK atau pemerintah yang mempengaruhi terjadinya risiko dimaksud. Sama halnya dengan risiko yang menjadi tanggung jawab BUP. PPJT dirasa belum mampu mengakomodir ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko tersebut.
Mengacu kepada ketentuan dalam Perpres 78/2010, pemberian penjaminan perlu mengacu kepada pasal-pasal dalam PPJT yang menggambarkan kejadian tersebut dengan jelas dan bahwa subyek pemerintahlah (PJPK dan/atau pihak pemerintah lainnya) yang menyebabkan kejadian tersebut. Lebih lanjut, distribusi risiko pada penjaminan infrastruktur perlu mempertimbangkan apakah memang risiko tersebut lebih mampu dikelola dan/atau bersumber dari PJPK. Sementara dalam konteks Proyek, substansi Perjanjian Penjaminan maupun PPJT Proyek belum menyediakan informasi yang lengkap mengenai upaya pengelolaan risiko sebagaimana diamanatkan regulasi.
Aspek lain yang dapat kita lihat adalah bagaimana Proyek dapat diberikan dukungan berupa Penjaminan Bersama. Mempertimbangkan persyaratan umum sesuai regulasi, penjaminan infrastruktur dapat diberikan dengan syarat PKS (dalam konteks kali ini adalah PPJT) memuat paling sedikit hal-hal berikut:
Terkait poin pesyaratan pertama, dalam PPJT memang dijelaskan berbagai risiko yang mungkin terjadi dan mempengaruhi Proyek secara negatif. Namun penjelasan risiko-risiko tersebut masih tersebar ke dalam beberapa pasal dan juga belum ada bagian khusus mengenai alokasi risiko. Selain itu, terdapat peristiwa yang belum masuk dalam cakupan penjaminan sehingga apabila terjadi maka PJPK akan terpapar langsung dampak dari risiko tersebut. Sebagai contoh, dalam Perjanjian Penjaminan hanya mencakup risiko untuk peristiwa keterlambatan penyesuaian tarif yang tidak melebihi periode toleransi, sementara apabila melebihi periode toleransi tidak termasuk. Pun dengan aturan kompensasi tunai terkait keterlambatan penyerahan tanah menjadi bias untuk konteks pemerintah dapat/tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya pada periode toleransi. Hal ini dikarenakan penjaminan hanya mencakup apabila pemerintah dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam periode toleransi dimaksud. Dalam setiap penjelasan mengenai risiko juga belum terdapat usulan upaya mitigasi yang diperlukan untuk mencegah dan mengurangi dampak risiko terkait.
Terkait poin persyaratan selanjutnya, untuk beberapa risiko sudah mempunyai formula penentuan nilai risiko serta toleransi waktu bagi PJPK untuk memenuhi kewajibannya. Apabila PJPK masih belum mampu memenuhi kewajibannya melewati masa toleransi, maka PJPK dianggap tidak dapat memenuhi kewajibannya. Kemudian muatan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan juga telah dimuat dalam PPJT baik melalui mekanisme Mediasi ataupun Arbitrase. Sama halnya dengan ketentuan hukum yang berlaku agar mengikuti hukum Indonesia, hal ini juga telah ditegaskan dalam PPJT.
Dikarenakan sifatnya yang accessoir, Perjanjian Penjaminan seharusnya mengikuti bagaimana substansi Perjanjian Kerja Sama. Selain dari sisi ketentuan mengenai amanat Penjaminan Infrastruktur sesuai Perpres 78/2010. Hal lain yang dapat menjadi poin diskusi lebih lanjut adalah mengenai dinamika Proyek itu sendiri. Dalam perjalanannya terdapat perubahan rencana pelaksanaan proyek yang cukup masif sehingga penilaian yang dilakukan saat pemberian dukungan berupa Penjaminan Bersama akan tidak relevan lagi, bahkan bisa dikatakan Proyek tersebut bukan lagi Proyek yang sama. Perlu ada penyesuaian cakupan penjaminan dan evaluasi ulang mengenai pemenuhan ketentuan-ketentuan yang menjadi persayaratan penyediaan Penjaminan Infrastruktur. Hal ini guna memastikan apakah secara legal, Perjanjian Penjaminan tersebut masih dapat dikatakan efektif berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, langkah awal yang dapat dipastikan dalam rangka menyusun Perjanjian Penjaminan yang komprehensif adalah penyusunan Perjanjian Kerja Sama dengan turut mempertimbangkan hal-hal yang menjadi persyaratan pemberian penjaminan infrastruktur. Cakupan serta aspek-aspek lain terkait Penjaminan Infrastruktur juga perlu menyesuaikan substansi PKS, termasuk apabila PKS tersebut mengalami amandemen. Alokasi risiko pada PKS juga perlu disusun lebih mendalam dengan mengidentifikasi faktor penyebab suatu peristiwa terjadi, nilai maksimum risiko tersebut, hingga upaya mitigasi yang diusulkan untuk setiap risiko terkait. Tulisan ini disusun sebagai catatan bahwa kebutuhan perbaikan untuk Perjanjian KPBU maupun Perjanjian Penjaminan perlu terus dilakukan. Dalam sudut pandang yang lebih luas, pemerintah menyadari bahwa kebijakan terkait Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha merupakan suatu perjalanan yang diharapkan dapat terus disempurnakan dari waktu ke waktu.
Referensi