Pemanfaatan Land Value Capture (LVC) sebagai Pembiayaan Kreatif dan Inovatif


Oleh: Bilayat Bagas Arista Putra

Latar belakang

Pandemi saat ini telah mendorong pemerintah untuk membuat terobosan besar dan penyesuaian yang signifikan dalam banyak aspek termasuk investasi publik. Untuk merespon situasi tersebut, pemerintah telah memperluas kebijakan defisit hingga 6% selama 3 tahun (2020 hingga 2022)[1]. Berdasarkan amanat Undang-Undang No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19, Pemerintah berkomitmen untuk kembali ke disiplin anggaran negara defisit maksimal 3% dari PDB-nya pada tahun 2023. Akibatnya, kebijakan defisit tersebut akan berdampak pada 2023 dan seterusnya karena pemerintah memiliki fokus yang masih perlu diberikan untuk pemulihan ekonomi. 

Baca juga: Dampak Pandemi Terhadap Pembangunan Infrastruktur

RPJMN 2020-2024 telah menetapkan kebutuhan jangka menengah untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp6.445 triliun hal mana 42% diharapkan didanai oleh swasta yaitu kurang lebih sebesar Rp 2.700 trilliun. Mengacu kepada hal tersebut, perlu digaris bawahi bahwa target pembiayaan dari pihak swasta merupakan bagian terbesar dibandingkan dengan target dari sumber sumber pendanaan APBN/APBD maupun BUMN.

Dalam kaitan ini, peran pembiayaan kreatif dan inovatif, khususnya untuk pembangunan infrastruktur publik, semakin penting dan sentral. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan sangat mengapresiasi inisiatif untuk menggali value capture sebagai sumber pendanaan potensial untuk investasi publik. 

Land Value Capture

Ilustrasi Land Value Capture

Value Capture dan Land Value Capture

a. Value Capture

Asian Development Bank (ADB) telah memperkenalkan siklus nilai manfaat (virtuous value cycle) dalam studinya[2] sebagai kerangka kebijakan untuk  menciptakan nilai (value creation), menangkap nilai (value capture), dan pendanaan nilai (value funding). Siklus nilai manfaat adalah suatu siklus kejadian dimana setiap siklusnya meningkatkan manfaat/dampak pada kejadian selanjutnya.

Berdasarkan alur dari siklus tersebut, value creation atau penciptaan nilai adalah upaya pendekatan pemerintah untuk menilai investasi infrastruktur dan mendorong peningkatan ekonomi bagi public yang memiliki manfaat secara ekonomi, social dan lingkungan.

Kemudian value capture mengidentifikasi dan memperoleh peningkatan nilai ekonomi dari investasi, aktivitas ekonomi dan kebijakan pemerintah dan value funding menggunakan value capture untuk memberikan kepastian imbal hasil bagi pemodal, baik dari pemerintah maupun swasta[3]. Prinsipnya adalah bagaimana manfaat yang dihasilkan dapat diidentifikasi/ditangkap untuk kemudian diinvestasikan kembali.

Siklus Nilai Manfaat

Gambar 1. Siklus Nilai Manfaat[4]

Value capture adalah mekanisme yang menggunakan sebagian dari peningkatan nilai ekonomi secara proporsional atas lahan tempat aktivitas atau kebijakan investasi pemerintah sebagai tambahan pendanaan diluar model pembiayaan oleh pemerintah (government-pays) atau pembiayaan oleh pengguna (user-pays) [5]. Fokus dari value capture sebenarnya bukan dari peningkatan tarif pajak, tetapi pada peningkatan produktivitas ekonomi sehingga meningkatkan volume pendapatan fiskal. Value capture hanya dapat dilaksanakan setelah adanya value creation, sebuah nilai ekonomi hanya dapat ditangkap jika terjadi penciptaan nilai[6]. Dengan demikian, skema value capture sebaiknya tidak langsung diterapkan setelah infrastruktur selesai dibangun karena diperkirakan akan meningkatkan biaya investasi sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan sulit tercapai. Swasta pada umumnya membutuhkan periode waktu tertentu untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi setelah infrastruktur selesai dibangun [7].\

b. Land Value Capture

Tanah/Lahan (Land) merupakan faktor utama dalam perekonomian. Pemanfaatan lahan yang disertai infrastruktur yang memadai akan mendorong peningkatan nilai dan produktivitas ekonomi. Dalam kaitannya dengan Land Value Capture, pada Studi ADB menyatakan bahwa Rencana Induk (master plan) yang disusun oleh pemerintah harus mencakup analisis, rekomendasi dan proposal yang berisikan jumlah populasi, keadaan ekonomi, pemanfaatan lahan, dan infrastruktur daerah yang menjadi fokus kebijakan. Dapat disimpulkan bahwa master plan dapat menyelaraskan upaya pembangunan dengan tujuan peningkatan produktivitas ekonomi yang telah ditentukan pada sebuah wilayah yang akan menjadi fokus pembangunan infrastruktur.

Dengan demikian, pemerintah akan berupaya mendorong pembangunan pada lahan publik yang belum dikembangkan (greenfield public land) hingga memiliki fasilitas yang memadai seperti drainase, konektivitas transportasi, ketersediaan air maupun energi dan lain sebagainya (serviced land). Setelah tersedianya serviced land, pemerintah dapat mengkomersilkan (jual/sewa) sebagian dari lahan tersebut kepada swasta untuk dikembangkan. Land Value Capture adalah serangkaian mekanisme yang digunakan untuk memonetisasi peningkatan nilai tanah/lahan yang muncul akibat adanya pembangunan infrastruktur pada area tersebut[8].

Dalam mengkuantifikasi mekanisme tersebut dibutuhkan analisis biaya manfaat (economic cost-benefit analysis) yang berfokus pada investasi struktur untuk meyakinkan pemerintah maupun swasta akan potensi imbal hasil yang diperoleh kedepannya.

Mekansime Land Value Capture

a. Berbasis Pajak dan biaya

Value capture dapat diartikan sebagai tangkapan manfaat/dampak positif terhadap produktivitas ekonomi (peningkatan pendapatan pajak, imbal hasil, terciptanya lapangan kerja, dll). Peningkatan pajak (pendapatan pajak dan wajib pajak) dapat diasumsikan diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tercipta oleh value creation, misalnya dengan pembangunan kota yang terintegrasi dengan pembangunan infrastruktur transportasi umum akan meningkatkan nilai tanah pada area tersebut yang mana akan meningkatkan pajak properti. Dengan demikian, peningkatan pendapatan dari pajak properti dapat dilakukan melalui pemutakhiran nilai properti dan meningkatkan konektivitas sistem transit untuk memungkinan urbanisasi sehingga meningkatkan volume penerimaan pajak. 

Secara umum pajak merupakan sumber pendanaan saat ini. Pendanaan dalam konteks value capture merupakan upaya bagaimana pemerintah dapat membayar seluruh biaya penyediaan layanan infrastruktur dan biaya operasionalnya pada rentang periode tertentu[9]. Perencanaan yang lebih kompleks dan kajian yang mendalam dapat memungkinkan pemerintah mengumpulkan pendanaan di awal melalui penerbitan obligasi berdasarkan pungutan pajak atas peningkatan nilai lahan/asset property pada masa yang akan datang.

b. Berbasis Pembangunan

Praktik secara internasional telah menunjukkan bahwa pemerintah biasanya menerapkan mekanisme berbasis pajak dan retribusi, sementara sektor swasta dapat mengambil manfaat dari penerapan mekanisme yang berbasis pada pembangunan[10]. Pada Land Value Capture  berbasis pembangunan, investor swasta secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses pembangunan pada lahan yang akan dikembangkan. Namun dalam mekanisme berbasis pembangunan, pemerintah terkendala pada pembiayaan seperti halnya bagaimana pemerintah dapat menanggung biaya modal awal pada aset infrastruktur. Oleh karena itu terdapat opsi pembiayaan pada konteks value capture yaitu pinjaman pemerintah atau pembiayaan dari sektor swasta yang pada akhirnya harus dikembalikan.

Pada mekanisme tersebut, pemerintah bersama pemilik tanah, swasta dan pihak terkait akan berupaya untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai lahan demi terciptanya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, serta potensi imbal balik yang baik bagi swasta/pemilik lahan. Terkait keterlibatan pembiayaan dan peranan swasta, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memiliki potensi untuk menyelaraskan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam mekanisme tersebut apabila tantangan stabilitas pendanaan dapat tercapai. 

Tabel 1. Mekanisme Value Capture - Victoria[11]

Mekanisme Value Capture

Value Capture

Pungutan retribusi, bunga dan pajak

  • Pungutan untuk pembangunan infrastruktur (yang dalam dilakukan melalui kontribusi dalam bentuk barang fisik).
  • Merupakan tambahan atas pajak yang telah ada saat ini yang berfungsi sebagai mekanisme cakup nilai secara de facto

Peluang Komersial

  • Penjualan atau sewa lahan dan hak pembangunan (termasuk lahan dan ruang angkasa, hak joint venture untuk membangun lahan milik pemerintah berbasis pada bagi hasil). Contohnya, pemerintah sering menjual atau menyewakan hak ruang angkasa di atas lahan milik negara, seperti pembangunan di atas jalan umum maupun pembangunan di atas jalur rel kereta.
  • Penyewaan fasilitas ruang iklan dan ritel

Pungutan Biaya

Jalan tol, atau biaya lain atas penggunaan infrastruktur

 

Negosiasi tanggungan penerima manfaat dan kontribusi dalam bentuk barang fisik

  • Pembagian dividen manajer aset swasta (di mana investasi pemerintah memperoleh pendapatan atau keuntungan yang meningkat untuk manajer aset swasta dikarenakan peningkatan langganan/penggunaan infrastruktur, atau penghematan dan efisiensi).
  • Kontribusi sukarela dan entitas usaha yang menerima manfaat (misalnya pengembang berkontribusi pada stasiun terdekat)

 

 

Implementasi Land Value Capture

a. Studi Kasus Internasional (MTR Hong Kong,China, R+P program)

Hong Kong, China, adalah salah satu kota terpadat di dunia yang transportasi kereta apinya secara produktif menopang kepadatan kota tersebut. Jaringan Mass Transit Railway (MTR) sepanjang 218 kilometer terdiri dari 10 jalur kereta api dengan 84 stasiun yang melayani Pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Territories, dengan lebih dari 4 juta perjalanan penumpang per hari. Karena tingginya penumpang, MTR menghasilkan laba operasional bersih sebesar HK$6,694 miliar (US$869 juta) dari operasionalnya dan mencapai pemulihan tarif sebesar 185,5 persen untuk 2012[12]. Keberhasilan finansial ini berkat Rel+Property (R+P) program yang dilaksanakan oleh MTR Corporation 

Jaringan MTR Hongkong

Gambar 2. Jaringan operasi Hongkong MTR dan dengan pengembangan property[13]

Proyek ini merupakan pemrakarsa pertama model pembangunan Rel + Properti untuk menciptakan potensi land value capture[14] pada pembangunan wilayah dengan kepadatan tinggi berbasis rel saat mendanai pembangunan dan kegiatan operasional dari jalur transportasi baru, menyediakan koneksi yang lancar antar stasiun, dan menempatkan 75% penduduk dan 84% pekerjaan pada jarak kurang dari 1 kilometer dari stasiun transportasi massal yang mana menghasilkan banyak tenaga kerja yang dapat berpindah dari satu tempat menuju tempat lainnya dengan mudah.

MTR Hong Kong,China, R+P program juga menciptakan sumber pendapatan lain yang terpisah dari kontribusi tingginya pemanfaatan transportasi public dan rendahnya tingkat kepemilikan kendaraan pribadi yang diakibatkan oleh aktivitas perekonomian yang didorong oleh R+P Program yang mendorong peningkatan penggunaan transportasi publik[15].  

Komponen utama dari model bisnis MTR tersebut adalah R+P Program yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan dan menjaga daya beli dan penyesuaian harga tiket dengan mempertimbangkan faktor yang berpengaruh pada posisi keuangan MTR .

Hong Kong, China MTR R+P Model<sup>[16]</sup>

Gambar 3 Hong Kong, China MTR R+P Model[16]

Dengan pendekatan R+P Program, MTR Corporation dapat mendanai sebagian besar sistem transportasinya melalui :

  • Land value creating melalui perencanaan perkotaan yang terintegrasi dengan transportasi
  • Land value capture dengan diterimanya hak pembangunan lahan dari pemerintah dengan harga pasar sebelum pembangunan (before rail) kemudian membangun bersama pengembang swasta dengan harga pasar sesudah pembangunan (after rail)

MTR corporation didirikan sebagai perusahaan terbuka, dikendalikan oleh pemerintah serta pengembang dan operator transportasi kereta api di daerah Hong Kong. Hal ini merupakan penunjang keberhasilan dari proyek tersebut. The World Bank and Imperial College London (2017) menyatakan bahwa arus pendapatan MTR, aktivitas bisnis komersial dan pengelolaan properti justru berkontribusi 75% dari laba MTR. Dengan demikian hal tersebut menunjukkan bagaimana manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan atas investasi publik pada infrastruktur dapat dimaksimalkan melalui Land Value Capture.

b. Studi Kasus Indonesia (Jalan Tol Trans Sumatera)

Berdasarkan informasi terkini, skema Land Value Capture belum benar-benar pernah diimplementasikan di Indonesia. Namun pada Mei 2021 lalu, Kemenko Perekonomian bersama ADB telah mempublikasikan studi mengenai  Land Value Capture. Dengan mengacu pada studi yang disusun oleh Kemenko Perekonomian dan ADB, saat ini sedang disusun payung hukum yang diharapkan dapat menjadi landasan regulasi dalam mengimplementasikan skema LVC di Indonesia. Dalam publikasi tersebut disebutkan bahwa Proyek Jalan Tol Trans Sumatera merupakan salah satu proyek yang dapat mengimplementasikan Land Value Capture.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 100/2014 tentang "Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera", pemerintah menugaskan PT Hutama Karya (Persero) untuk melakukan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaan pada empat ruas jalan tol yang meliputi ruas Jalan Tol Medan-Binjai, ruas Jalan Tol Palembang-Simpang Indralaya, ruas Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, dan ruas Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar. Perpres tersebut kemudian direvisi oleh Presiden Joko Widodo melalui Perpres No. 117/2015 tentang "Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera" yang menambah penugasan kepada PT Hutama Karya (Persero) sehingga menjadi total 24 ruas tol di Sumatera[17]

Jalan Tol Trans Sumatera sepanjang 304 km akan menghubungkan Pulau Sumatera dari Aceh hingga Bakauheni. Tahap 1 terdiri atas 8 ruas, terbagi menjadi empat ruas awal: (1) Medan-Binjai, (2) Palembang-Indralaya, (3) Pekanbaru-Dumai, (4) Bakauheni-Terbanggi Besar; dan empat ruas tambahan: (5) Terbanggi Besar- Pematang Panggang, (6) Pematang Panggang-Kayu Agung, (7) Palembang – Tanjung Api-Api dan (8) Kisaran–Tebing Tinggi[18]

Jalan Tol Trans-Sumatera

Gambar 4. Jalan Tol Trans-Sumatera[19]

Dalam pengaplikasian Land Value Capture pada Jalan Tol Trans Sumatera membutuhkan visi yang kuat seperti halnya proyek tersebut dapat menciptakan produktivitas ekonomi dengan pengembangan lahan yang terintegrasi dengan transportasi, memberikan manfaat publik, dan komitmen di awal bahwa sebagian dari peningkatan ekonomi tersebut akan digunakan untuk mendanai pengembalian investasi awal.

Proyek Jalan Tol Trans Sumatera berpotensi menciptakan konektivitas melalui integrasi antara pembangunan perkotaan dan transportasi. Proyek tersebut diharapkan menerapkan prinsip value creation seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu dengan merencanakan dan memastikan bahwa value yang diinginkan dapat direalisasikan serta mengidentifikasi penerima manfaat dan kemudian menerapkan master plan berdasarkan analisis biaya-manfaat ekonomi yang komprehensif. Dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah akan menjadi penerima manfaat dari pajak nasional dan daerah, sedangkan pengembang akan manfaat ekonomi berupa keuntungan dari investasi tersebut. Kemudian perlunya upaya perencanaan investasi yang dapat “menggerakkan” perekonomian di area lahan proyek jalan tol yang dikembangkan, seperti:

  • Infrastruktur transportasi; berupa jalan, rel, stasiun, airport, dll untuk menghubungkan aktivitas ekonomi
  • Infrastruktur utilitas; ketersediaan air, energi, infrastruktur telekomunikasi dll untuk menunjang aktivitas ekonomi
  • Real estate; industrial, komersial, residensial, public dll sebagai ruang untuk tinggal dan bekerja sebagai salah satu penunjang produktivitas dan efisiensi ekonomi
  • Social capital; tersedianya infrastruktur untuk Pendidikan, kesehatan, taman kota dan ruang public untuk meningkatkan konektivitas social, human capacity dan produktivitas

Dalam implementasi Land Value Capture,  perlu diperhatikan apabila value capture hanya mungkin terjadi ketika nilai ekonomi telah dihasilkan dikarenakan swasta pada umumnya membutuhkan periode waktu tertentu untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi setelah infrastruktur dibangun. Dengan mengacu pada prinsip dan mekanisme value capture yang telah dijelaskan sebelumnya, disamping memanfaatkan peningkatan pendapatan pajak, pemerintah juga dapat menangkap (mengumpulkan) pendapatan tambahan melalui pungutan langsung atas tiga kategori sebagai berikut :

  • Tanggungan pengguna (User Pays); biaya yang dikenakan kepada pengguna atas penggunaan fasilitas infrastruktur seperti biaya transportasi umum, tarif tol, biaya penggunaan sarana dan prasarana publik dan lain-lain
  • Tanggungan pemerintah (Government Pays); pajak daerah (kota/kabupaten), pajak provinsi, pajak nasional, termasuk transfer dana pusat daerah yang mencakup pajak pendapatan dan pajak properti, subsidi, dan pendanaan awal pemerintah
  • Tanggungan penerima manfaat (Beneficiary Pays); dapat berupa investasi sektor swasta atau jenis pajak properti/bisnis lainnya.

Siklus Land Value Capture pada proyek Jalan Tol Trans Sumatera

Gambar 5. Ilustrasi siklus Land Value Capture pada proyek Jalan Tol Trans Sumatera

Kemudian perlu diingat kembali bahwa value capture membuka kesempatan pembiayaan. Maka perlu adanya upaya untuk membangun kepercayaan investor swasta terhadap proyek Jalan Tol Trans Sumatera. Dengan demikian, akan membuka potensi daur ulang asset dan reinvestasi atas modal ke proyek pembangunan infrastruktur lainnya. Dalam Kajian Kemenko Perekonomian dan ADB (2021), beberapa upaya dalam membangun dan memelihara kepercayaan yang perlu dilakukan terkait proyek tersebut adalah sebagai berikut :

  • Menentukan di muka terkait “who pays what”
  • Sedapat mungkin menggunakan user pays
  • Pada penggunaan Government Pays tidak disarankan untuk menyentuh basis pajak yang ada, disarankan hanya menggunakan pajak tambahan
  • Mengidentifikasi penerima manfaat dan menggunakan mekanisme beneficiary pays yang sesuai
  • Menunjukkan bahwa terdapat proses yang diatur dan dipantau untuk memberikan returns kepada mitra publik dan swasta.

Kesimpulan

Prinsip utama skema Land Value Capture adalah proporsionalitas antara biaya dan keuntungan yang didapat oleh pihak-pihak yang mendapatkan manfaat karena adanya peningkatan nilai lahan dan aktivitas ekonomi, termasuk para pemilik lahan dan pengembang. Pemilik lahan dan pembangun (developer) mendapatkan keuntungan dari peningkatan nilai dengan menangkap nilai yang tercipta, sedangkan pemerintah mendapatkan keuntungan melalui fasilitas publik yang dibangun dan terpelihara melalui dana swasta. 

a. Peluang untuk diterapkan di Indonesia

Berdasarkan studi kasus internasional tentang Land Value Capture yang dibahas sebelumnya, terdapat empat faktor pendukung utama dalam penerapan Land Value Capture, yaitu perencanaan penggunaan lahan dan kerangka kerja peraturan, pendekatan yang mengikutsertakan seluruh tingkat pemerintah, perencanaan ekonomi dan pendekatan pembangunan terintegrasi. Merujuk pada kesuksesan penggunaan Land Value Capture pada studi kasus internasional, dapat disimpulkan bahwa jenis proyek yang sangat berpotensi untuk meningkatkan produktivitas ekonomi adalah proyek pembangunan perkotaan yang terintegrasi dengan infrastruktur transportasi. Dengan demikian proyek Jalan Tol Trans Sumatra adalah salah satu proyek yang berpotensi untuk mengimplementasikan Land Value Capture. Namun diperlukan perencanaan dan kajian yang mendalam terkait penentuan lead policy institution karena penerapan Land Value Capture merupakan salah satu bentuk upaya lintas sektoral. Lalu diperlukan penyusunan kerangka hukum nasional Land Value Capture bagi pemerintah pusat dan daerah serta pemangku kepentingan yang terkait. Lalu penentuan lead implementing institution untuk bertanggungjawab atas penyusunan panduan penerapan Land Value Capture[20]. Kemudian diperlukan kajian lebih lanjut terkait mekanisme pengalokasian anggaran bagi skema Land Value Capture tersebut, terutama pada APBN mengingat pengalokasian anggaran APBN yang begitu kompleks.

b. Kaitan Land Value Capture dengan KPBU

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam mekanisme Land Value Capture akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang salah satunya adalah sektor swasta. Dalam kaitannya dengan hal ini skema KPBU dinilai dapat dikolaborasikan dalam mekanisme tersebut, namun harus dapat mengatasi tantangan utama yaitu bagaimana memperhitungkan potensi tambahan nilai yang dihasilkan melalui skema Land Value Capture ke dalam perhitungan pengembalian investasi swasta pada proyek infrastruktur yang menggunakan skema KPBU.   

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Land Value Capture berpotensi memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian dan sebagai pembiayaan kreatif dan inovatif, namun diperlukan peranan sentral Pemerintah terutama pada sisi perencanaannya yang mana pada tahap ini membutuhkan kajian yang lebih lanjut mengenai kesiapan regulasi dan ketertarikan pemerintah untuk merealisasikan perencanaan tersebut. Berdasarkan kesimpulan atas potensi implementasi skema Land Value Capture, dapat kami rekomendasikan bahwa regulasi mengenai Land Value Capture sebaiknya tidak perlu ditetapkan secara tergesa-gesa, diperlukan pengembangan kajian skema Land Value Capture berdasarkan proyek yang sebenarnya, pendekatan dari beberapa aspek, kebutuhan dukungan regulasi serta ketetapan komitmen dari pemerintah demi terwujudnya skema Land Value Capture sebagai pembiayaan kreatif dan inovatif.

 

Referensi:

  1. UU Nomor 2 Tahun 2020  tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
  2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, xvi.
  3. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, xvii.
  4. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, xvi.
  5. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, xvi.
  6. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, xix.
  7. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, 8.
  8. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia,Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, 4.
  9. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, 5.
  10. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Asian Development Bank, 2021. Innovative Infrastructure Financing Through Value Capture in Indonesia, xxi.
  11. Government of the State of Victoria, Australia. 2017. Victoria’s Value Creation and Capture Framework: Maximising Social, Economic and Environmental Value from Infrastructure Investment. Melbourne: Government of the State of Victoria
  12. Cervero, Robert, and Jin Murakami. 2009. “Rail and Property Development in Hong Kong: Experiences and Extensions.” Urban Studies 46 (10): 2019–43.
  13. Suzuki, Hiroaki., Murakami, Jin., Hong, Yu-Hung., and Tamayose. 2015, Beth. “Financing Transit Oriented Development With Land Values-Adapting Land Value Capture in Developing Countries.”  World Bank Group, xiv
  14. Cervero, Robert, and Jin Murakami. 2009. “Rail and Property Development in Hong Kong: Experiences and Extensions.” Urban Studies 46 (10): 2019–43.
  15. Hong, Yu-Hung, and Diana Brubaker. 2010. “Integrating the Proposed Property Tax with the Public Leasehold System.” In China’s Local Public Finance in Transition, edited by Joyce Y. Man and Yu-Hung Hong, 165–90. Cambridge, MA: Lincoln Institute of Land Policy
  16. Murakami, Jin. 2012. “Transit Value Capture: New Town Codevelopment Models and Land Market Updates in Tokyo and Hong Kong.” In Value Capture and Land Policies, edited by Gregory K. Ingram and Yu-Hung Hong, 285–320. Cambridge, MA: Lincoln Institute of Land Policy.
  17. https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Tol_Trans-Sumatra#cite_note-2
  18. https://kppip.go.id/proyek-prioritas/jalan/15-ruas-jalan-tol-trans-sumatera/
  19. https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Trans_sumatra_raw.png
  20. Trans-Sumatera Toll Road Value Capture, PwC, 2019