G20 Mendukung Penanganan Perubahan Iklim dengan Mendorong Aspek Keberlanjutan dalam Keuangan dan Investasi


Oleh: Deni Putra Maharta

Akhir-akhir ini banyak sekali berita mengenai bencana alam yang terjadi di beberapa negara. Pada bulan Juli lalu, beberapa wilayah di Eropa mengalami gelombang panas selama berminggu-minggu yang mengakibatkan menurunnya curah hujan. Hal ini mengakibatkan kekeringan di banyak tempat, seperti di sumber Sungai Themes Inggris, Sungai Rhine di Jerman dan Sungai Po di Italia. Kekeringan yang terjadi di berbagai wilayah di Eropa ini tidak hanya berdampak pada sektor pertanian dan transportasi yang sangat mengandalkan sumber air namun juga sektor energi. Menurunnya sumber air berdampak pada pembangkit listrik tenaga air dan sistem pendingin pembangkit listrik. Adanya bencana kekeringan ini membuat produksi energi terbarukan Uni Eropa berkurang drastis.

Penanganan Perubahan Iklim

Di belahan dunia lainnya, tepatnya di Ibu Kota Negara Korea Selatan, telah terjadi banjir di area utama Kota Seoul pada awal agustus lalu. Banjir ini merupakan banjir terbesar yang pernah dialami Korea Selatan selama 115 tahun terakhir. Selain mengakibatkan kerusakan pada fasilitas publik, banjir juga merenggut korban jiwa.  Sebelum terjadi banjir, beberapa wilayah mengalami curah hujan yang tinggi (130-170 mm). Pemerintah Kota Seoul sebetulnya sudah meningkatkan upaya pencegahan banjir sejak tahun 2012 dengan membangun terowongan pengendali banjir di bawah tanah. Namun terowongan tersebut tidak bisa menahan curah hujan lebih dari 85 mm per jam.

Gelombang panas yang terjadi di Eropa dan banjir yang terjadi di Kota Seoul bukan merupakan peristiwa yang biasa terjadi di kedua wilayah tersebut. Dapat kita simpulkan bahwa bencana alam yang terjadi di Eropa dan Korea Selatan sebagai bentuk dampak dari perubahan iklim yang kian hari semakin kita rasakan. Secara umum, perubahan iklim disebabkan karena adanya peningkatan gas rumah kaca pada lapisan atmosfer yang kemudian menyebabkan terperangkapnya panas di atmosfer sehingga menyebabkan peningkatan suhu bumi. Dikutip dari katadata.co.id, PBB mengungkapkan terdapat beberapa penyebab perubahan iklim yaitu pembuatan energi dari bahan bakar fosil, manufaktur barang, penebangan hutan, penggunaan transportasi, dan pemakaian berlebihan.

Komitmen Indonesia dalam Penanganan Perubahan Iklim

Penanganan perubahan iklim telah menjadi fokus utama dalam banyak pertemuan pemimpin negara-negara dunia. Para pemimpin negara di dunia telah menyatakan komitmennya untuk menangani perubahan iklim. Komitmen para pemimpin negara telah dimulai sejak tahun 1992 melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), kemudian dilanjutkan dengan Kyoto Protocol pada tahun 1997 dan Paris Agreement pada tahun 2016. Serangkaian komitmen yang dibuat oleh para pemimpin negara-negara dunia tersebut pada dasarnya berisi tentang komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim telah dimulai sejak Indonesia turut serta meratifikasi UNFCC melalui Undang-Undang No.6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change. Kemudian, komitmen Indonesia juga ditunjukkan dengan meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang No. 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Dengan turut meratifikasi kedua konvensi tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mendorong kegiatan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan efek dari perubahan iklim.

Pembahasan Penanganan Perubahan Iklim dalam G20

Dalam pertemuan negara-negara G20, isu terkait perubahan iklim juga menjadi perhatian negara-negara G20 yang diangkat pada beberapa working group. Salah satu working group G20 yang banyak membahas isu terkait penanganan perubahan iklim adalah Climate Sustainability Working Group (CSWG). CSWG merupakan working group dalam Sherpa Track yang telah dimulai sejak tahun 2018 pada saat presidensi Argentina. Diskusi yang diangkat dalam CSWG utamanya adalah terkait dengan upaya peningkatan adaptasi dan pembangunan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan laporan State of Finance for Nature yang dipublikasikan oleh UN Envornment Programme pada tahun 2021, investasi negara G20 pada solusi berbasis alam perlu ditingkatkan sampai USD285 miliar/tahun per 2050 untuk menangani krisis iklim, keanekaraman hayati, dan degradasi lahan yang saling terkait. Namun pengeluaran G20 saat ini hanya USD 120 miliar/tahun. Tingginya kebutuhan investasi dalam penanganan perubahan iklim membuat negara G20 juga melakukan banyak serangkaian pembahasan mengenai strategi penanganan perubahan iklim pada aspek keuangan dalam Finance Track.

Pembahasan mengenai aspek keuangan dalam penanganan perubahan iklim telah menjadi salah satu fokus isu yang dibahas dalam pertemuan G20. Pada Presidensi G20 Italia di tahun 2021, G20 mendirikan kembali G20 Sustainable Finance Working Group (SFWG) dengan tujuan untuk mengangkat keuangan berkelanjutan yang mendukung tujuan Agenda 2030 dan tujuan dari Paris Agreement. SFWG telah menyusun sebuah Roadmap yang diharapkan dapat menjadi acuan baik bagi anggota G20 maupun stakeholder lainnya yang terkait dalam agenda keuangan berkelanjutan.

Pada Presidensi Indonesia G20 2022, SFWG mulai menyusun rencana kerja untuk pelaporan dan evaluasi perkembangan seluruh pihak yang terlibat dalam menyelesaikan prioritas yang telah diidentifikasi dalam Roadmap serta menguraikan area kerja SFWG selama tahun 2022 yaitu:

  1. Mengembangkan rencana kerja transisi keuangan dan meningkatkan kredibilitas komitmen institusi keuangan
  2. Meningkatkan instrument keuangan berkelanjutan dengan fokus untuk meningkatkan aksesabilitas dan keterjangkauan, dan
  3. Mendiskusikan pengungkit kebijakan yang mendorong pembiayaan dan investasi yang mendukung transisi

Negara-negara G20 juga melihat bahwa pembangunan infrastruktur menjadi salah satu solusi yang dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap penanganan perubahan iklim dengan menerapkan prinsip berkelanjutan dalam pembangunan infrastruktur. Dalam pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, diperlukan analisis dampak yang mungkin akan timbul dari pembangunan infrastruktur terutama pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan menambahkan prinsip berkelanjutan dalam pembangunan infrastruktur, tentunya akan juga berdampak pada dana yang perlu disiapkan oleh Pemerintah.  Oleh karena itu, Infrastructure Working Group (IWG) G20 membahas hal-hal mengenai strategi untuk memobilitasi investasi dari sektor swasta dan sumber-sumber lain yang berasal dari investasi publik dan pembiayaan yang disediakan oleh Multilateral Development Bank.

Pertemuan IWG G20 di tahun 2022 menitikberatkan peran investasi infrastruktur selama dan setelah pandemi Covid-19 pada empat agenda utama, yaitu: 1) Meningkatkan investasi infrastruktur berkelanjutan dengan memanfaatkan partisipasi partisipasi sektor swasta; 2) Meningkatkan inklusi sosial dan mengatasi kesenjangan subnasional; 3) Meningkatkan investasi digital dan InfraTech; dan 4) Memajukan infrastruktur transformative pasca Covid-19. Selain berfokus pada empat agenda utama, IWG G20 juga terus melanjutkan diskusi topik peninggalan presidensi G20 sebelumnya yaitu terkait dengan pengembangan indikator Quality Infrastructure Investment (QII).

Baca juga: Presidensi G20 Indonesia dalam mendukung peningkatan infrastruktur dengan Indikator Quality Infrastructure Investment (QII)

Investasi Infrastruktur Berkelanjutan dan Keuangan Berkelanjutan

Hasil dalam pembahasan SFWG dan IWG G20 merekomendasikan solusi yang berbeda dalam penanganan perubahan iklim namun tetap berhubungan satu sama lainnya untuk mencapai tujuan dari Paris Agreement dan Sustainable Agenda 2030. Diskusi dengan topik berkelanjutan dalam forum SFWG lebih menitikberatkan pada sisi pengembangan instrumen keuangan sedangkan IWG berfokus pada pengembangan infrastruktur.

Salah satu agenda pembahasan dalam SFWG di Presidensi Indonesia adalah terkait dengan transisi keuangan. Transisi keuangan yang dimaksud di sini adalah sebuah upaya yang diperlukan untuk memindahkan kumpulan pendanaan ke dalam SDG. Seluruh pihak dalam ekosistem investasi institusional perlu mengarahkan lebih dari $154 triliun yang dikelola secara kolektif untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial paling mendesak di dunia (GSGII, 2022).

Di sisi lain, investasi infrastruktur berkelanjutan juga memerlukan dukungan dari para sektor swasta dapat berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan. Dengan pengalaman dan keahlian sektor swasta diharapkan dapat mempercepat realisasi pembangunan infrastruktur berkelanjutan sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan sosial dalam jangka panjang.

Apa yang telah dibahas dalam SFWG dan IWG sejatinya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hasil dari pengembangan instrumen keuangan dan transisi keuangan yang dilakukan SFWG akan memberikan dampak pada pasar keuangan dan investasi yang pada akhirnya akan membuka jalan untuk investasi infrastruktur berkelanjutan menarik partisipasi sektor swasta. Karenanya, kolaborasi antara SFWG dan IWG maupun dengan working group G20 lainnya yang membahas isu penanganan perubahan iklim diperlukan untuk mempercepat penanganan isu perubahan iklim.

Tags