Siapa yang Membiayai Proyek pada Skema KPBU?


Oleh: Eko Agus Purwanto

Di awal mempelajari tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau yang lebih dikenal di dunia internasional dengan istilah Public Private Partnerships (PPP), akan banyak pertanyaan yang muncul terkait berbagai aspek pada skema KPBU. Agar lebih mudah dalam memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut maka perlu dipahami terlebih dahulu konsep dasar dari skema KPBU. Skema KPBU merupakan skema yang memungkinkan pemerintah untuk tidak bergantung pada APBN dalam penyediaan layanan infrastruktur. Sebagaimana kita ketahui, tersedianya layanan infrastruktur yang memadai di berbagai sektor sejatinya merupakan tanggung jawab pemerintah. Melalui skema KPBU, pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam penyediaan layanan infrastruktur. Lingkup pihak swasta dalam kerja sama sebagaimana dimaksud pada umumnya meliputi design, build, finance, operate, maintenance (DBFOM) selama kurun waktu yang lumayan panjang, sebelum pada akhir masa kerja sama proyek tersebut dikembalikan untuk dioperasikan oleh pemerintah. Dengan luasnya lingkup pihak swasta, termasuk pembiayaan (financing), apakah itu berarti skema KPBU merupakan skema yang “gratis” bagi pemerintah?, bagaimana sebenarnya struktur pembiayaan dalam skema KPBU?. Pertanyaan tersebut akan sering diajukan dalam pembahasan seputar skema KPBU, skema yang saat ini digadang-gadang sebagai tulang punggung dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia.

Mengacu pada studi dari Delmon (2021), terdapat 3 opsi sumber pembiayaan untuk suatu proyek infrastruktur yaitu: government financing, corporate financing, dan project financing. Dimana KPBU sebagai skema dalam penyediaan layanan infrastruktur merupakan salah satu contoh penerapan project financing. Dapat dikatakan demikian karena dalam KPBU, pembiayaan dilakukan oleh Badan Usaha Pelaksana (BUP). BUP merupakan entitas yang didedikasikan khusus untuk suatu proyek KPBU, dan merupakan gabungan dari beberapa badan usaha. Dengan kata lain,pembiayaan dilakukan oleh proyek KPBU itu sendiri (project financing). Pembiayaan pada project financing pada umumnya bersumber dari utang dan ekuitas, dengan proporsi utang yang mendominasi, antara 70 hingga 80% dari biaya proyek. Proporsi utang yang lebih banyak bukan tanpa alasan, terdapat beberapa pertimbangan BUP dalam menentukan proporsi tersebut, antara lain:

  1. Bunga utang merupakan komponen pengurang pajak, sedangkan dividen bukan. Perlakuan ini mengakibatkan perusahaan akan mempunyai jumlah uang yang lebih banyak untuk didistribusikan kepada lenders dan sponsors apabila menggunakan pembiayaan melalui utang (interest tax savings).
  2. Tingkat pengembalian yang diharapkan oleh lenders pada umumnya lebih rendah dibanding shareholders.
  3. Lenders tidak mempunyai hak suara dan kendali atas BUP.

Namun perlu diketahui bersama bahwa jumlah utang yang terlalu besar juga tidak baik bagi perusahaan dikarenakan dapat menciptakan tekanan finansial. Sehingga BUP perlu memastikan bahwa kewajiban perusahaan terkait utang tidak melebihi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas.

Lebih lanjut terkait dengan pembiayaan yang bersumber dari utang, dikarenakan BUP merupakan entitas baru sehingga tidak mempunyai riwayat operasi, maka dalam rangka evaluasi permohonan pengajuan utang, lenders akan berfokus dalam menilai perkiraan arus kas yang akan dihasilkan oleh proyek alih-alih menilai aset proyek tersebut. Selain menilai perkiraan arus kas, lenders juga melakukan evaluasi atas kelayakan teknis, kelayakan finansial dan kelayakan kredit proyek (The World Bank, 2016). Hal ini didukung oleh studi Zhu dan Chua (2018), yang menyebutkan bahwa bankability merupakan salah satu faktor yang penting untuk dievaluasi oleh lenders dalam rangka pembiayaan utang dalam skema KPBU. Secara ringkas, keterlibatan pihak swasta, utamanya BUP, lenders, maupun equity sponsor dapat dilihat pada gambar berikut:

Pembiayaan Proyek KPBU

 

Dengan kombinasi utang dan ekuitas tersebut, maka konsep biaya modal (cost of capital) akan sangat berperan penting bagi project manager dalam menentukan proporsi yang tepat diantara keduanya. Salah satu metode dalam menentukan biaya modal yang umum digunakan adalah metode bobot tertimbang, atau lebih terkenal dengan sebutan WACC (Weighted Average Cost of Capital). WACC akan mengintegrasikan berbagai tingkat pengembalian yang dipersyaratkan oleh berbagai sumber pembiayaan yang digunakan. Mengacu pada Titman (2018), terdapat 3 (tiga) langkah dalam menentukan nilai WACC suatu perusahaan, yaitu:

  1. Mendefinisikan struktur modal perusahaan
  2. Mengestimasi biaya atas setiap sumber pembiayaan
  3. Menghitung bobot tertimbang atas biaya modal semua sumber pembiayaan

Setelah mengetahui nilai WACC yang optimal untuk menentukan proporsi pembiayaan yang tepat maka hal yang perlu dipastikan selanjutnya adalah terkait funding. Berdasarkan APMG (2016), dalam konteks KPBU, financing didefinisikan sebagai pembiayaan yang dibutuhkan di awal dalam rangka memenuhi biaya konstruksi proyek sedangkan funding merupakan pendanaan yang dibutuhkan untuk pengembalian investasi yang telah dilakukan pihak swasta. Pengembalian investasi ini mencakup biaya konstruksi, biaya operasi dan pemeliharaan, dan margin yang wajar. Skema pendanaan (funding) yang umum berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Skema Pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment/AP)

Pada skema ini, pengembalian investasi akan diperoleh melalui pembayaran berkala oleh Pemerintah yang bertindak selaku pemilik proyek.

2. Skema Pengguna Membayar (Tarif)

Skema ini merupakan skema dimana pengembalian investasi swasta akan bersumber dari tarif yang dikenakan kepada pengguna layanan infrastruktur terkait. Salah satu contoh penerapan skema ini yang umum ditemukan adalah pada layanan jalan tol dimana pengguna diharuskan membayar tarif tertentu untuk menggunakan layanan tersebut.

Pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam memastikan aspek funding sebagaimana dimaksud dapat memenuhi seluruh komponen pengembalian investasi pihak swasta. Dalam skema AP, pemerintah atau PJPK selaku pemilik proyek perlu untuk mengalokasikan anggaran dalam rangka pembayaran AP tiap tahunnya. Pembayaran AP ini tentunya didasarkan pada capaian layanan yang mampu disediakan oleh BUP. Sedangkan dalam skema tarif, pemerintah juga perlu melakukan penyesuaian tarif apabila selama masa operasi terjadi hal-hal diluar kendali BUP yang mengakibatkan penerimaan BUP terganggu, terutama akibat terjadinya risiko politik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari sisi financing, proyek KPBU dibiayai melalui kombinasi berbagai sumber pembiayaan, baik utang dan ekuitas dari pihak swasta, dengan proporsi tertentu. Dalam menentukan proporsi tersebut, BUP dapat menggunakan metode WACC sebagaimana telah dijelaskan sehingga proyek mampu mendapatkan biaya modal yang optimal dan tidak membebani atau mengganggu keberlangsungan proyek ke depannya. Selain itu, perlu diingat bahwa dalam proyek KPBU, BUP lah yang mengadakan pinjaman dan ekuitas tersebut sehingga pembiayaan proyek KPBU sering disebut sebagai skema project financing, dimana stand-alone/dedicated company itu sendiri yang mengadakan pembiayaan. Sementara terkait aspek funding, pengembalian investasi atas pembiayaan yang telah dilakukan, dapat melalui skema AP ataupun pengenaan tarif. Pada skema AP, pengembalian investasi akan bersumber dari pembayaran berkala oleh pemerintah. Sedangkan pada skema tarif, pengembalian investasi akan bersumber dari pembayaran yang dilakukan oleh pengguna layanan. Pada skema ini, meskipun penerimaan pihak swasta bersumber dari pembayaran oleh pengguna layanan, pemerintah tetap perlu memastikan pengembalian investasi sesuai kesepakatan apabila terjadi faktor di luar kendali BUP yang menyebabkan penurunan penerimaan swasta.

Jadi apa jawaban atas pertanyaan di awal artikel tadi? Pada intinya, proyek dengan skema KPBU akan menggunakan sebagian besar dana swasta pada saat konstruksi (awal proyek) dan pada masa operasi dan pemeliharaan (masa konsesi). Namun tidak berarti skema KPBU merupakan skema yang gratis karena di lain sisi, pihak swasta juga mendapatkan pengembalian investasi ditambah margin melalui penyediaan layanan proyek tersebut, baik dalam bentuk government pay (skema AP) ataupun user pay (skema tarif).

 

Referensi

  • Hakeem Owolabi, dkk. 2019. “Risk Mitigation in PFI/PPP Project Finance: A Framework Model for Financiers”. Penerbit: Built Environment Project and Asset Management. http://doi.org/10.1108/BEPAM-09-2018-0120
  • Jeffrey Delmon. 2021. “Private Sector Investment in Infrastructure”. Penerbit: Kluwer Law International, Belanda.
  • Lei Zhu dan David Kim Huat Chua. 2018. “Identifying Critical Bankability Criteria for PPP Projects: The Case of China”. Penerbit: Hindawi. http://doi.org/10.1155.2018/7860717
  • Marshall Hargrave. 2022. “Weighted Average Cost of Capital (WACC)”. https://www.investopedia.com/terms/w/wacc.asp
  • Paul D. Clifford. 2021. “Project Finance: Applications and Insights to Emerging Markets Infrastructure”. Penerbit: John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
  • Sheridan Titman, dkk. 2018. “Financial Management: Principles and Applications Thirteenth Edition”. Penerbit: Pearson Education, Inc.
  • The World Bank Group. 2016. “The APMG PPP Certification Guide”. Penerbit: World Bank Publications. Amerika Serikat.

Pelajari lebih lanjut melalui video dibawah ini: