Efisiensi KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur


Di tengah maraknya isu bertambahnya utang negara dan polemik penggunaan utang yang dinilai tidak menyejahterakan rakyat, Pemerintah terus berupaya menyampaikan pesan positif bahwa Pemerintah sedang bekerja membangun Indonesia. Pemahaman yang salah kaprah tentang utang negara dan urgensinya tampaknya perlu diklarifikasi. Pada kenyataannya, Indonesia saat ini dalam proses mengubah arah pembangunan dan berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur di seluruh penjuru negeri.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, Pemerintah memperkirakan adanya kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar sebesar Rp 4.796 triliun. Sementara pada 2015, APBN nyatanya hanya mampu menganggarkan sebesar Rp 189,7 triliun, dilanjutkan dengan sekitar Rp 313,5 trilliun pada 2016 dan Rp 387,3 triliun pada 2017. Walaupun secara persentase alokasi belanja infrastruktur meningkat dengan cukup masif pada kisaran rata-rata 104,2% dari alokasi 2015 hingga 2017, jumlah tersebut belum dapat dikatakan signifikan. Dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2016 sekitar Rp 12.406,8 triliun (BPS, 2017), belanja infrastruktur Indonesia hanya mencapai sekitar 2% dari PDB.

Berdasarkan data dari McKinsey (2013), selama kurun waktu 1999- 2011 beberapa negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di tengah melemahnya pasar global rata-rata mengalokasikan lebih dari 4% PDB untuk belanja infrastruktur. India, tercatat mengalokasikan sekitar 4,7% PDB untuk infrastruktur sementara Jepang rata-rata menganggarkan 5% belanja infrastruktur dari PDB-nya. Sejauh ini persentase anggaran belanja infrastruktur tertinggi dialokasikan oleh Tiongkok yang mencapai 8,5% dari PDB.

Dengan tingginya kebutuhan infrastruktur Indonesia dan keterbatasan sumber daya yang ada, Pemerintah harus beralih dari pendanaan penyediaan infrastruktur yang sepenuhnya menggunakan APBN/ APBD menuju ke langkah strategis untuk mencari alternatif pendanaan. Salah satu upaya nyata Pemerintah adalah dengan mengadopsi skema Public-Private Partnership (PPP), atau ditranslasikan sebagai Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dan menargetkan pemenuhan sekitar 36,5% dari total kebutuhan pendanaan infrastruktur menggunakan dana swasta dalam RPJMN 2015-2019.

Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur menjadi tonggak baru paradigma KPBU. Peraturan tersebut merupakan penyempurnaan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dan perubahannya. Melalui perluasan dari delapan sektor infrastruktur menjadi 19 sektor infrastruktur yang dapat dibangun dengan mekanisme KPBU, Pemerintah berupaya untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pemilik otoritas untuk menstrukturkan proyeknya sebagai proyek KPBU. Berbagai fasilitas pun telah disiapkan hingga ke perangkat legal pendukung implementasinya. Melalui Kementerian Keuangan, Pemerintah telah menyatakan kesiapannya untuk mendukung proyek-proyek KPBU dengan menyediakan fasilitas penyiapan proyek (Project Development Facility), dukungan kelayakan atas sebagian biaya konstruksi (Viability Gap Fund), penjaminan infrastruktur, dan skema pembayaran ketersediaan layanan (Availability Payment).

Mengapa KPBU?

Kesiapan Kementerian Keuangan untuk mendukung implementasi KPBU, tampaknya belum didukung oleh kesiapan Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD yang berperan sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK). Calon PJPK potensial tampaknya belum sepenuhnya menyadari keuntungan dari KPBU. Terjebak dalam paradigma penganggaran dan pengadaan tradisional menggunakan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, praktik pengadaan infrastruktur dengan skema KPBU lebih banyak dipandang dari sisi kompleksitas semata dibandingkan dengan mekanisme pengadaan biasa, apalagi dibandingkan dengan sistem investasi swasta konvensional pada BUMN/BUMD pada umumnya. Padahal, disadari atau tidak nyatanya Pemerintah sedang berupaya memaksimalkan sumber daya untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dengan shifting anggaran subsidi ke belanja infrastruktur dan optimalisasi alokasi sumber daya melalui skema-skema pembiayaan yang inovatif seperti KPBU. Optimalisasi ini termasuk mengupayakan efisiensi sumber daya yang dimungkinkan untuk dicapai melalui pengadaan infrastruktur dengan skema KPBU. Pergeseran paradigma ini sudah barang tentu perlu dukungan optimal dari otoritas pemilik proyek.

Di balik kompleksitasnya, skema KPBU di banyak negara terbukti lebih efektif dan efisien dibandingkan skema pengadaan tradisional. Di Australia, berdasarkan studi yang dilakukan terhadap 67 proyek oleh tim University of Melbourne pada tahun 2008, biaya proyek lebih mendekati biaya yang diperkirakan apabila dilaksanakan dengan skema KPBU daripada skema pengadaan tradisional. Proyek KPBU, sejak pengumuman hingga beroperasi, mengalami eskalasi biaya rata-rata sebesar 23,8%, lebih kecil bila dibandingkan skema tradisional yang mengalami eskalasi rata-rata sebesar 52%. Dari sisi ketepatan waktu, jika diukur sejak dari pengumuman sampai dengan beroperasi, keterlambatan pada proyek KPBU sedikit lebih besar daripada skema tradisional yaitu 17,4% berbanding 15,4% pada skema tradisional. Namun, jika diukur dari sejak ditandatanganinya kontrak sampai dengan beroperasi, keterlambatan proyek KPBU hanya 1,4% dibandingkan 25,9% pada skema tradisional. Hal ini dikarenakan ketika kontrak sudah ditandatangani, pada proyek KPBU lebih sedikit terjadi perubahan atau penyesuaian dibandingkan skema tradisional.

Di Inggris, berdasarkan laporan National Audit Office (NAO) tahun 2009, hanya 31% dari proyek KPBU yang mengalami keterlambatan penyelesaian, sementara 37% proyek non-KPBU mengalami keterlambatan penyelesaian. Selain dari efisiensi waktu, efisiensi biaya juga terjadi pada proyek KPBU di mana 65% proyek KPBU sesuai dengan perkiraan biaya sementara pada proyek non-KPBU hanya 54%.

Menurut Perpres 38 Nomor Tahun 2015, KPBU didefinisikan sebagai kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha untuk menyediakan infrastruktur bagi kepentingan umum dengan spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak. KPBU menjadi suatu mekanisme kontrak tunggal komprehensif dengan Badan Usaha untuk menyediakan infrastruktur yang telah disepakati spesifikasi dan alokasi risikonya. Sementara, pengadaan infrastruktur dalam konteks tradisional pada praktiknya terbagi ke dalam beberapa proses yang cenderung tidak terintegrasi, sehingga manajemen risikonya cenderung diterapkan secara minimal.

Konsep KPBU dianggap sebagai skema pengadaan infrastruktur yang strategis, yang mampu membantu Pemerintah menyiapkan proyek infrasruktur dengan berfokus pada sisi kemanfaatan proyek. Dengan masa konsesi yang panjang, skema KPBU mendorong pemilik proyek untuk mentranslasikan kualitas pelayanan yang ingin disediakan dalam kurun waktu tersebut, kemungkinan untuk mencapainya, biaya yang dibutuhkan, dan bagaimana memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul selama masa konstruksi dan konsesi tanpa harus memilih opsi dengan biaya terendah. Selain memungkinkan dicapainya value for money, KPBU juga memberi ruang inovasi dengan adanya fleksibilitas metode dan desain yang dapat dieksplorasi oleh Badan Usaha untuk menyediakan infrastruktur yang diharapkan.

Efisiensi dalam KPBU

Penyiapan dan transaksi proyek KPBU memang merupakan proses yang kompleks, yang memerlukan kesabaran dan komitmen yang tinggi. Pada tahapan ini bisa jadi biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada pengadaan tradisional. Namun, mengukur efisiensi dalam KPBU tidak hanya dilihat pada jangka waktu yang pendek saja tetapi keseluruhan waktu KPBU mulai dari awal hingga akhir.

Indikator utama untuk mengukur efisiensi proyek KPBU adalah dengan menghitung value for money (VfM). Value for money berarti mencapai kombinasi yang optimal antara manfaat dan biaya untuk menghasilkan layanan yang diinginkan pengguna. Analisis VfM pada KPBU diperlukan dalam rangka menilai apakah KPBU akan memberikan nilai (value) yang lebih baik kepada publik dibandingkan dengan pengadaan tradisional. Dengan kata lain, melalui analisis VfM, suatu KPBU diuji apakah KPBU akan memberikan tambahan efisiensi dibandingkan penurunan efisiensi.

Dalam The APMG Public-Private Partnership (PPP) Guide disebutkan bahwa setidaknya terdapat enam faktor yang memengaruhi efisiensi dalam KPBU yakni, pengelolaan biaya (cost management), pengelolaan biaya siklus proyek (life-cycle cost management), inovasi (innovation), pengelolaan risiko (risk management), keandalan (reliability), dan optimalisasi pemanfaatan aset (utilization). Keenam faktor tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.

KPBU memberikan fleksibilitas bagi Badan Usaha untuk melakukan pengelolaan biaya (cost management) di antaranya melalui negosiasi dengan subkontraktor dan fleksibilitas pengelolaan tenaga kerja. Secara konsep, dalam KPBU risiko tersebut dialokasikan kepada Badan Usaha karena dianggap lebih mampu untuk mengelolanya. Selain itu, motif Badan Usaha untuk mencari keuntungan juga akan mendorong efisiensi dalam pengelolaan biaya proyek.

Penyediaan infrastruktur melalui KPBU biasanya dilaksanakan melalui suatu kontrak komprehensif dengan jangka waktu yang panjang dan tidak ada pembayaran kepada badan usaha selama masa konstruksi proyek. Kontrak tersebut dapat meliputi mendesain, membangun, membiayai, mengoperasikan, dan memelihara aset infrastruktur. Hal ini berbeda dengan pengadaan tradisional di mana kegiatan perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan bisa terpisah masing-masing satu kontrak tersendiri dan menghasilkan penyedia yang berbeda-beda. KPBU akan mendorong Badan Usaha untuk mendesain dan membangun aset infrastruktur yang menghasilkan efisiensi biaya pemeliharaan dalam jangka panjang. Dalam posisi mencari keuntungan, Badan Usaha akan meminimalisasi risiko kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan perencanaan dan pengeluaran sumber daya dalam jumlah besar selama periode konsesi yang panjang. Upaya-upaya meningkatkan keuntungan dengan mengurangi biaya konstruksi agar mendapat margin yang lebih besar saat operasi dan pemeliharaan dapat dihindari.

Alokasi risiko yang optimal antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam KPBU memegang peran yang penting dalam keberhasilan KPBU. Risiko dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelola atau menanggungnya. Badan Usaha biasanya lebih efisien (biayanya lebih rendah) dalam mengelola risiko tertentu melalui proses penilaian dan penanganan risiko yang lebih baik. Dengan ditransfernya sejumlah risiko yang signifikan kepada badan usaha, hal ini akan mendorong investor dan lembaga pembiayaan untuk melakukan uji tuntas masing-masing secara mendalam. Pengalihan sebagian risiko kepada badan usaha pada akhirnya akan menurunkan biaya proyek bagi Pemerintah dan menurunkan risiko para pembayar pajak.

Dalam kondisi pasar yang telah mature, upaya badan usaha untuk memaksimalkan keuntungan cenderung akan diupayakan melalui inovasi. Proses lelang yang terbuka dan kompetitif diharapkan akan memperketat kompetisi dan untuk memperoleh kesempatan tersebut, badan usaha akan mengoptimalkan kelebihan-kelebihan yang ada padanya untuk menciptakan dan/ atau menawarkan metode-metode yang baru dan lebih efektif. Meskipun pengadaan konvensional telah memberi ruang untuk kontes dan sayembara, pada praktiknya dalam pengadaan infrastruktur spesifikasi teknis umumnya telah ditentukan oleh Pemerintah sehingga tidak memberi kesempatan kepada badan usaha untuk melakukan inovasi.

KPBU bukanlah semata terbangunnya aset infrastruktur, namun lebih dari itu, tujuan KPBU adalah tersedianya layanan infrastruktur kepada masyarakat atau tersedianya manfaat dari aset infrastruktur yang akan digunakan oleh Pemerintah untuk pelayanan publik. Perjanjian KPBU secara jelas mendefinisikan layanan yang harus disediakan oleh badan usaha kepada pengguna. Sebagai contoh, misalnya dalam penyediaan air minum, yang diperjanjikan adalah tersedianya air minum dengan jumlah dan kualitas yang telah ditetapkan, bukan tersedianya fasilitas pengolahan air minum. Badan Usaha akan membangun fasilitas pengolahan air minum, dengan fleksibilitas teknis dan inovasi, untuk dapat menyediakan air minum dengan jumlah dan kualitas tersebut sepanjang masa perjanjian. Dengan demikian, KPBU menjamin keandalan tersedianya layanan yang bermuara pada efisiensi karena Pemerintah tidak lagi direpotkan dengan kebutuhan untuk pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas.

Efisiensi KPBU juga dapat dicapai melalui optimalisasi pemanfaatan aset. Untuk memaksimalkan pendapatan, aset harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Badan usaha bisanya lebih efektif dalam melakukan optimalisasi, misalnya dengan promosi atau mendesain infrastruktur sehingga tidak ada bagian yang sia-sia. Selain itu, di dalam perjanjian KPBU, Pemerintah dapat memberikan hak kepada badan usaha untuk dapat memanfaatkan aset infrastruktur sehingga mendapatkan pendapatan tambahan. Sebagai contoh, dalam pengelolaan jalan tol, badan usaha dapat membangung fasilitas penunjang, misalnya area perbelanjaan, rest area, saluran untuk kabel serat optik, pipa, dan lain-lain. Jika terdapat kelebihan keuntungan, Pemerintah juga dapat menyaratkan adanya bagi hasil.

Sisi Lain

Walaupun menjanjikan banyak manfaat, KPBU tentunya memiliki tantangan tersendiri. Proses-proses untuk menyusun spesifikasi, mengalokasikan risiko, melakukan lelang badan usaha, serta memilih metode penyelesaian proyek yang tepat cenderung kompleks dan tidak instan. Perencanaan dan penyiapan proyek membutuhkan setidaknya minimal 6 bulan dan untuk beberapa proyek dengan nilai besar dan kompleksitas tinggi, proses tersebut bisa mencapai 2 tahun. Tidak hanya dari sisi biaya, KPBU juga harus memperhatikan aspek-aspek lain seperti aspek legal, teknis, dan substantif, termasuk ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni untuk pembentukan tim KPBU.

Selain itu, beberapa aspek penting untuk memastikan tercapainya efisiensi dalam KPBU juga perlu diperhatikan. Berdasarkan referensi Bank Dunia, struktur proyek, tingkat kompetisi badan usaha dalam sektor infrastruktur terkait, dan ketertarikan investor menjadi syarat agar value for money dapat dicapai. Untuk itu proses pemilahan proyek yang layak untuk dilaksanakan dengan skema KPBU juga perlu dijalankan dengan optimal. Dalam kondisi di mana Pemerintah memilih KPBU sebagai the last resources tanpa adanya ketiga faktor tersebut, ada kemungkinan bahwa efisiensi tidak dapat tercapai.

Proses yang panjang dalam skema KPBU tak pelak merupakan hal mutlak untuk mencapai efisiensi. Keuntungan yang ditawarkan KPBU bukan minimal dan tidak semata-mata hanya muncul untuk proyek. KPBU menawarkan nilai maksimal atas penggunaan dana dari pembayar pajak dengan manfaat jangka panjang bagi pasar, penerima manfaat proyek, pengelola anggaran, dan pertumbuhan ekonomi secara agregat. Karena itulah, tahapan-tahapan dalam KPBU harus dilakoni secara benar dan telaten. Komitmen jangka panjang diperlukan tidak hanya dari sisi badan usaha, tetapi juga Pemerintah sebagai pemilik proyek.

Banyak risiko terkait proyek yang dapat dihindari dengan KPBU, tetapi risiko yang lebih nyata bagi implementasi KPBU adalah tidak adanya komitmen dari pemilik proyek. Untuk itulah, kesadaran dan pemahaman akan potensi besar atas penerapan KPBU perlu dimiliki oleh organisasi publik, baik dari level teknis hingga tataran strategis. Dengan perspektif, pemahaman, dan tujuan yang sama, sinergi sektor publik akan mampu membawa konsep manfaat dan efisiensi KPBU menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan yang nyata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Boleh dikatakan, KPBU di Indonesia saat ini masih berada di tahap awal. Tantangan untuk mendapatkan manfaat dari skema KPBU masih cukup banyak, baik dari sisi kapasitas dan kesiapan institusi pengelola dan pelaksana, tingkat kepercayaan investor dan pasar, serta ketertarikan badan usaha. KPBU belum diterapkan secara matang dalam berbagai sektor, dan mungkin belum dapat mencapai efisiensi optimal seperti konsep dan keberhasilan praktiknya di negara lain. Walaupun demikian, KPBU bisa dikatakan lebih efektif untuk meningkatkan kualitas perencanaan, belanja, dan pemeliharaan aset publik. Untuk itu, dalam semangat continuous improvement atas pelayanan kepada publik, implementasi dan pengembangan KPBU harus didorong bersama oleh semua pihak. Dengan kerja sama aktif segenap intitusi yang terlibat, serta upaya untuk mengundang partisipasi aktif badan usaha dalam pembangunan, manfaatmanfaat dari penerapan skema KPBU akan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.