Asset Recycling dalam Proyek KPBU: Strategi untuk Pembangunan Infrastruktur yang Berkelanjutan?


Penulis: Oksita Putrining Yansri
Pembimbing: I Wayan Sutana

Asset Recycling

Foto ilustrasi gerbang tol

Pendahuluan

Pembangunan infrastruktur yang memadai dan efisien merupakan kunci utama bagi kemajuan suatu negara, termasuk di Indonesia, seperti yang tercermin dalam RPJMN 2020-2024. Dalam periode ini, kebutuhan investasi infrastruktur diperkirakan mencapai Rp6.445 triliun, namun anggaran pemerintah hanya mampu memenuhi sekitar 37% dari total kebutuhan tersebut, yaitu sebesar Rp2.385 triliun.[1] Menghadapi keterbatasan fiskal ini, peningkatan partisipasi swasta menjadi sangat penting untuk menutup kesenjangan pendanaan, salah satunya melalui pendekatan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Hal tersebut selaras dengan tema kebijakan fiskal “Mempercepat Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan” pada RAPBN TA 2024, pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dengan fokus pada akselerasi pembangunan infrastruktur, atau physical capital[2], sebagai bagian dari kebijakan fiskal jangka menengah dan panjang.

Pada praktiknya, penyediaan infrastruktur dengan skema KPBU menghadapi berbagai tantangan salah satunya adalah membangun struktur proyek dengan memperhatikan alternatif funding (sumber dana)  dengan Dukungan Pemerintah yang tepat untuk dapat menarik minat investors. Pada prinsipnya pendanaan dibutuhkan  sebagai sumber pengembalian investasi atas pembiayaan infrastruktur yang dilaksanakan oleh investor baik dalam bentuk equity maupun debt. Untuk menstrukturkan proyek KPBU yang bankable dan memudahkan mendapat pembiayaan, perlu mempertimbangkan berbagai strategi dengan memperhatikan keterbatasan fiskal serta sumber pendanaan yang dimungkinkan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan dana untuk membiayai pembangunan infrastruktur adalah melalui asset recycling. Dalam konteks ini, asset recycling mengacu pada proses monetisasi aset melalui penjualan atau menyewakan aset yang ada dan menggunakan pendapatan dari praktik tersebut untuk membiayai penyediaan infrastruktur baru atau berkelanjutan. Hal ini tidak hanya memberikan alternatif sumber pendanaan namun juga memberi nilai dan manfaat atas aset lama.

Baca juga: Yang Utama, tapi Seringkali Terlupa: Bankability

Asset recycling sering kali dapat mengarah pada efisiensi operasional dan peningkatan kualitas penyediaan layanan infrastruktur yang ada. Lebih jauh, dalam konteks estafet financing, asset recycling memungkinkan transfer tanggung jawab dan risiko ke pihak swasta yang lebih efisien dalam pengelolaan dan pembiayaan aset. Ini mengarah pada pendekatan yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur publik. Di sinilah, konsep asset recycling memainkan peran penting dalam proyek KPBU.

Apa itu Asset Recycling?

Asset Recycling adalah strategi keuangan yang digunakan oleh pemerintah untuk memanfaatkan kembali aset infrastruktur yang sudah ada guna mendanai proyek infrastruktur baru. Istilah ini pertama kali populer di Australia pada tahun 2014. Ide utama di balik asset recycling adalah menjual atau memberikan hak pengelolaan aset infrastruktur yang sudah ada kepada sektor swasta atau badan usaha lainnya, kemudian menggunakan pendapatan dari penjualan atau pengalihan hak pengelolaan aset tersebut untuk membiayai proyek infrastruktur baru.

Istilah asset recycling pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2019, seiring dengan upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur. Sejak saat itu, pemerintah telah mulai menerapkan skema asset recycling pada beberapa proyek infrastruktur salah satunya adalah proyek jalan tol. Pada proyek jalan tol di Indonesia, Pemerintah dapat memperoleh kembali nilai dari pembangunan infrastruktur melalui penyewaan aset dalam bentuk konsesi yang dikenal dengan penerapan skema konsesi terbatas atau Limited Concession Scheme (LCS). Karena nilai yang diperoleh dari infrastruktur yang ada, skema ini dapat diakui sebagai contoh penerapan konvensional dari asset recyclinng. Asset recycling tersebut khususnya LCS yang diamanatkan melalui Perpres 32 Tahun 2020 merupakan  langkah proaktif Pemerintah sebagai alternatif pembiayaan yang inovatif. Sebagai tindak lanjut dari Perpres ini, Kementerian Keuangan sebagai pengelola barang, telah mengeluarkan PMK Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara. Regulasi ini salah satunya mengatur mekanisme Kerjasama Terbatas untuk Pembiayaan Infrastruktur (KETUPI). KETUPI adalah bentuk inisiaif asset recycling lainnya yang memungkinkan optimalisasi khususnya pada aset berstatus BMN oleh BUMN untuk meningkatkan fungsi operasional dan memperoleh pendanaan bagi infrastruktur lainnya (berbeda halnya dengan LCS yang dapat juga mengoptimalisasikan aset BUMN).

KETUPI dapat dilakukan pada aset infrastruktur yang meliputi BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya pada Pengguna Barang. Objek KETUPI meliputi infrastruktur transportasi, jalan tol, sumber daya air, air minum, sistem pengelolaan air limbah, sistem pengelolaan persampahan, telekomunikasi dan informatika, ketenagalistrikan, serta infrastruktur minyak, gas bumi, dan energi terbarukan. Pelaksanaan KETUPI juga melibatkan pengelolaan dana hasil KETUPI oleh BLU, yang mencakup pembayaran dana di muka (upfront payment), pembagian kelebihan keuntungan (clawback), dan penggunaan dana hasil untuk pembiayaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, belum terdapat payung hukum yang memadai untuk mengatur asset recycling secara menyeleruh.

Studi Kasus: Penerapan Asset Recycling di Berbagai Negara

Asset Recycling Initiative (ARI) adalah salah satu skema yang digunakan oleh Pemerintah Federal Australia. Inisiatif ini memberikan insentif moneter bagi negara bagian untuk terlibat dalam asset recycling guna meningkatkan pembangunan infrastruktur. ARI dirancang dengan jangka waktu 5 tahun (2014-2019) dengan alokasi pendanaan didasarkan pada prioritasi proyek yang telah diusulkan oleh negara bagian.

Negara bagian pertama-tama merumuskan rencana melalui pemetaan infrastruktur yang ada dengan memuat kemungkinan untuk disewakan atau dijual. Setelah sewa atau penjualan dilakukan, pendapatan akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur lebih lanjut. Pemerintah Federal akan memberikan bonus tambahan berupa kontribusi fiskal kepada negara bagian sebesar 15% sesuai dengan keuntungan yang diperoleh dari praktik jual atau sewa infrastruktur yang sudah ada tersebut. Adapun pengelolaan kontribusi keuangan dari Pemerintah Federal kepada negara bagian dikelola melalui asset recycling fund (ARF).

Pada pelaksanaannya, ARI belum mampu menarik setiap negara bagian untuk berpartisipasi. Kekhawatiran terhadap keamanan nasional menjadi salah satu alasan utama mengapa negara bagian enggan melakukan privatisasi aset negara. Namun, di wilayah yang paling banyak menerapkan asset recycling, ARI telah memegang peran penting dalam penyediaan pendanaan infrastruktur serta memacu investasi infrastruktur lebih lanjut.

Seperti NSW, pada 2011 NSW menyiapkan Restart NSW Fund untuk memungkinkan pendanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur prioritas tinggi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas negara bagian tersebut. Pada 2018, total arus masuk ke Restart NSW diperkirakan sebesar AUD 32,9 miliar dengan AUD 25,9 miliar diantaranya berasal dari hasil asset recycling dan insentif yang diberikan oleh Pemerintah Federal. Saat ini, sejumlah AUD 22,4 miliar telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur baru pada tahun anggaran 2017-2018, sebagian besar untuk infrastruktur transportasi.[4]

Contoh yang lebih sukses dapat ditemukan dalam konsesi sewa jalan tol Puerto Riko PR-22 dan PR-55. Pada tahun 2011, kedua jalan raya tersebut disewakan oleh Otoritas Kemitraan Publik-Swasta Puerto Riko dan Otoritas Jalan Raya dan Transportasi Puerto Riko kepada Autopistas Metropolitanas de Puerto Rico, LLC. Kemitraan ini melibatkan Goldman Sachs Infrastructure Partners dan Albertis Infrastructures. Perjanjian konsesinya berupa sewa selama 40 tahun dengan pembayaran di muka sebesar USD 1,08 miliar. Hal ini juga mencakup komitmen sebesar USD 356 juta untuk peningkatan aspek keselamatan jalan, serta tambahan USD 56 juta yang dialokasikan untuk percepatan peningkatan keselamatan dalam tiga tahun pertama. Pada tahun 2016, konsesi tersebut diperpanjang selama 10 tahun, sehingga menghasilkan tambahan pembayaran di muka sebesar USD 115 juta.[6]

Adapun bentuk asset recycling pada jalan tol di Indonesia dapat dilihat dari kasus Tol MBZ atau yang dulu disebut Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated. BUJT telah melakukan divestasi 40% saham PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (PT JJC) senilai Rp4,3 triliun kepada PT Margautama Nusantara anak usaha Grup Salim. Meski telah melakukan divestasi saham, PT JJC tetap bertanggungjawab mengoperasikan jalan tol tersebut sesuai perjanjian konsesi awal. Divestasi dilakukan sebagai salah satu bentuk asset recyclilng dengan dana hasil divestasi digunakan untuk memperkuat arus kas dalam pembangunan jalan tol ruas lainnya seperti Yogyakarta-Solo, Yogyakarta-Bawen, Probowangi, akses Patimban, dan Gedebage-Tasikmalaya.[6]

Manfaat asset recycling

Mengadopsi dari penerapan asset recycling di berbagai negara temasuk asset recycling pada sektor jalan tol di Indonesia, dapat mengambil pelajaran manfaat yang mungkin akan didapat apabila asset recycling diterapkan pada proyek infrastruktur meliputi:

1. Pendanaan Proyek yang Berkelanjutan

Dalam model KPBU khususnya bagi proyek yang dapat menghasilkan pendapatan, pemerintah dapat menggunakan pendapatan dari penjualan atau pengelolaan aset yang sudah ada untuk membiayai pembangunan infrastruktur baru. Hal ini memungkinkan proyek infrastruktur terus berlanjut tanpa harus terbebani oleh defisit anggaran pemerintah.

2. Efisiensi Penggunaan Aset

Asset Recycling memungkinkan pemanfaatan lebih optimal dari aset infrastruktur yang sudah ada. Aset yang sebelumnya mungkin hanya memberikan pendapatan terbatas, dapat dikelola secara lebih efisien oleh pihak swasta atau badan usaha, meningkatkan nilai, dan pendapatan dari aset tersebut.

3. Peningkatan Layanan Publik

Dengan dana yang diperoleh dari asset recycling, pemerintah dapat meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan publik, termasuk perawatan dan pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada serta pengembangan infrastruktur baru untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan masyarakat.

4. Stimulus Ekonomi

Pengembangan infrastruktur baru akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan permintaan akan bahan konstruksi dan layanan terkait infrastruktur, yang pada gilirannya akan memberikan stimulus bagi perekonomian.

5. Penyediaan Kualitas Infrastruktur

Dengan lebih banyak infrastruktur yang berkualitas tinggi, akan meningkatkan mobilitas dan kemudahan akses bagi masyarakat, berdampak positif pada perekonomian dan kualitas hidup.

Tantangan dan Pertimbangan

Meskipun asset recycling menawarkan banyak manfaat, ada beberapa tantangan dan pertimbangan yang perlu diperhatikan:

1. Regulasi dan Transparansi

Perlu ada regulasi yang jelas dan transparansi yang tinggi dalam proses asset recycling untuk mencegah praktik korupsi dan manipulasi harga aset.

2. Kepentingan Publik

Dalam menjalankan proyek asset recycling, pemerintah harus memastikan bahwa kepentingan publik tetap menjadi prioritas utama, dan pelayanan publik tidak terganggu. Pemerintah tidak dimungkinkan memiliki bias atas orientasi hasil asset recycling pada tingkat tertentu.

3. Risiko Pengelolaan Aset

Jika pengelolaan aset oleh pihak swasta atau badan usaha tidak efisien, hal ini dapat berdampak negatif pada pelayanan dan pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada sehingga memberikan dampak terhadap kualitas aset yang akan diterapkan asset recycling.

Selanjutnya, asset recycling dapat menjadi enabler yang potensial, namun ada serangkaian langkah evaluasi yang harus diperhatikan oleh Pemerintah untuk optimalisasi asset recycling setidaknya meliputi:

  1. Pemerintah perlu melakukan identifikasi aset yang paling layak untuk dilakukan asset recycling seperti aset brownfield dengan mempertimbangkan bahwa aset tersebut memiliki kepastian aliran pendapatan.
  2. Selanjutnya, Pemerintah harus memastikan bahwa setiap investasi infrastruktur dikembangkan dengan struktur yang jelas terkait ketersediaan infrastruktur saat ini dengan kebutuhan infrastruktur di masa depan.
  3. Prioritasi infrastruktur dibutuhkan dalam rangka identifikasi aset potensial untuk dilakukan asset recycling. Pemerintah perlu identifikasi bahwa pemerintah memiliki jumlah aset yang sesuai dan berpotensi untuk dimonetisasi.
  4. Alokasi risiko dengan membagi risiko pada pihak yang paling tepat untuk mengelola risiko atas asset recycling. Pemerintah perlu identifikasi dengan cermat risiko yang relevan ketika mengambil alih aset publik mengingat jaminan atas risiko pada aset publik dan aset swasta berbeda.

Kesimpulan

Asset recycling adalah pendekatan inovatif dalam membiayai proyek infrastruktur melalui pemanfaatan kembali aset yang sudah ada. Meskipun belum terdapat kerangka hukum atau peraturan yang secara ekspllisit ditujukan untuk mengatur praktik asset recycling secara menyeluruh, asset recycling dalam konteks estafet financing telah mulai diterapkan di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari adanya praktik LCS, divestasi saham, dan penggunaan BMN pada mekanisme KETUPI hal mana pengaturan atas beberapa praktik tersebut merupakan pengaturan khusus bukan pengaturan umum.

Dewasa ini, Pemerintah dapat mulai mempertimbangkan untuk melakukan pengaturan praktik asset recycling sehingga terdapat kerangka hukum yang jelas dan menyeluruh. Mengingat, dengan strategi yang tepat dan pengaturan yang hati-hati, asset recycling dapat menjadi solusi yang berkelanjutan untuk pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas layanan publik, dan mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun, perlu diingat bahwa penerapan asset recycling harus tetap memperhatikan kepentingan publik dan mematuhi prinsip transparansi dan regulasi yang ketat.

 

Referensi/Daftar Pustaka:

  1. Pemerintah Republik Indonesia. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
  2. Kemenerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Buku II Nota Keuangan Tahun Anggaran 2024. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
  3. Wardhana, Y.M.A., & Anjani, Z. F. (2022). The Implementation of Asset Recycling as an Alternative Financing Scheme for Toll Road Projects in Indonesia.
  4. Marsh & McLennan. (2018). Infrastructure Asset Recycling: Insights for Government and Investor. Asia Pacific Risk Center.
  5. U.S. Department of Transportation Federal Highway Administration. (2018). Value Capture: Capitalizing on the Value Created by Transportation. EDC-5 Summits.
  6. IDNFinancial. (2022). Daur Ulang Aset: JSMR Divestasi Tol MBZ Senilai Rp. 4,38 Triliun. Diakses pada 4 Desember 2023, dari: https://www.idnfinancials.com/archive/id/45502/asset-recycling-jsmr-divest-mbz-toll-idr.
  7. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). Peran Hak Pengelolaan Terbatas sebagai Salah Satu Pembiayaan Kreatif. Diakses pada 6 Desember 2023, dari: https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/1170-1507/umum/kajian-opini-publik/peran-hak-pengelolaan-terbatas-sebagai-salah-satu-pembiayaan-kreatif.
  8. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2020). Terbitkan Skema KETUPI, DJKN dorong Pembangunan Infrastruktur Publik Indonesia. Diakses pada 7 Desember 2023, dari: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/22219/Terbitkan-Skema-KETUPI-DJKN-Dorong-Pembangunan-Infrastruktur-Publik-Indonesia.html.

Diterbitkan 11 Desember 2023