Menggagas Pembiayaan Sukuk dalam Skema KPBU, untuk APBN yang Berkelanjutan


Pendahuluan

Sustainabilitas anggaran menjadi perhatian berbagai negara saat ini. Setelah krisis ekonomi, penggunaan instrumen utang semakin memprihatinkan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Mereka membutuhkan waktu dan dana untuk melakukan rebalancing demi mencapai pertumbuhan yang positif (IMF & OECD, 2017). Sementara itu kegiatan pembangunan diarahkan untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) menuju 2030. Dengan keterbatasan anggaran negara, maka setiap pemerintahan harus mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya. Artikel ini akan membahas alternatif sumber pembiayaan (financing) dan mekanisme pengembalian dana serta ruang inovasi dalam penerbitan sukuk, untuk dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut.

Baca juga: SDGs, ESG dan Infrastruktur

Latar Belakang

Pemerintah mengemban amanat menjalankan kehidupan bernegara. Terwujudnya kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat menjadi tujuan. Untuk itu pembangunan dilaksanakan melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan demi tercapainya kemakmuran yang merata. APBN yang memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut. Keberadaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara tradisional, Pemerintahlah yang membiayai pembangunan infrastruktur. Namun dana publik dan kapasitas fiskal yang terbatas tidak memungkinkan bagi Pemerintah untuk memenuhi seluruh kebutuhan, sehingga Pemerintah harus mencari alternatif sumber dana untuk membiayainya (OECD, 2015).

Namun menurut Ehlers (2014), sebagaimana dipertegas pula oleh temuan Croce & Gatti (2014), ketersediaan dana jangka panjang bukan masalah dalam pembiayaan infrastruktur, karena perusahaan pengelola dana jangka panjang seperti asuransi dan dana pensiun memiliki jumlah dana yang tidak sedikit. Masalah sesungguhnya terletak pada kurangnya proyek yang layak secara finansial untuk dibiayai. Jangka waktu yang lama berarti risiko yang lebih besar, dengan demikian membutuhkan kompensasi reward yang lebih menarik. Untuk itu diperlukan kombinasi instrumen pembiayaan yang disesuaikan dengan karakteristik tahapan proyek dan risikonya masing-masing. Dari berbagai inovasi pembiayaan infrastruktur yang dijalankan Pemerintah, perlu menjadi perhatian bahwa hasil pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat ini akan menjadi warisan (legacy) bagi generasi berikutnya. Hendaknya warisan tersebut disertai pula dengan instrumen yang efektif, efisien, dan berkelanjutan, tidak hanya untuk kebermanfaatan aset yang dibangun, namun juga untuk sumber pengembalian pembiayaannya.

Sumber Pembiayaan Infrastruktur

Kebutuhan pembangunan infrastruktur dihadapi tidak hanya oleh negara berkembang, namun juga negara maju. Secara umum, jika negara berkembang sedang dalam fase pengadaan, negara maju sedang dalam fase pembaruan. Permintaan global atas infrastruktur telah melebihi kebutuhan historis dan menghasilkan kesenjangan hingga $1 - $1,5 triliun per tahun dalam periode 2013 hingga 2030 (Airoldi et al., 2013 dalam S. Li, Abraham, & Cai, 2017). Bagi negara berkembang, isu pengadaan infrastruktur terus menjadi fokus perhatian karena pemerintah tidak memiliki sumber pembiayaan yang cukup, kekurangan keahlian di bidang teknologi, manajemen sumber daya yang efisien, dan pembangunan proyek (Roth, 1987 dalam B. Li, Akintoye, & Hardcastle, 2000).

Kerjasama antara Pemerintah dan swasta atau dikenal sebagai Public Private Partnership (PPP) menjadi solusi yang digunakan negara maju dan berkembang dengan variasi skema yang beragam. Skema utamanya adalah sebagian atau seluruh pengadaan proyek infrastruktur dikontrakkan kepada pihak swasta untuk membuat desain, membangun, membiayai, dan/atau mengoperasikan serta merawat aset atau fasilitas yang dibangun. Adapun Pemerintah, bertanggung jawab mempertahankan akuntabilitas pelayanan (Wu, Liu, Jin, & Sing, 2016).

Dalam skema PPP ini juga tersedia alternatif sumber pembiayaan (financing). Secara tradisional, financing berasal dari pinjaman bank komersil. Namun krisis keuangan global 2008 membuat bank komersial berpikir ulang untuk masuk ke proyek infrastruktur yang berjangka panjang. Perkembangan pasar modal menambah alternatif pembiayaan infrastruktur, termasuk dengan diterbitkannya obligasi proyek (project bond) yang juga dimaksudkan untuk menciptakan pasar yang likuid. Sebagaimana diungkapkan oleh Scott-Quin & Cano (2015) dalam S. Li et al. (2017), pembiayaan skema PPP melalui penerbitan obligasi mengalami peningkatan seperti terlihat di wilayah Eropa dengan porsi penerbitan yang hanya 3 persen pada tahun 2008 menjadi 27 persen pada tahun 2013. Penerbitan obligasi proyek memungkinkan project company memperoleh sumber pembiayaan langsung dari investor individu maupun institusi dengan tingkat bunga rendah dan jangka waktu panjang (OECD, 2015; S. Li et al., 2017). Namun tidak selalu project company yang melakukan penerbitan obligasi proyek. Pemerintah juga dapat menerbitkan obligasi proyek yang hasilnya dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk membangun proyek infrastruktur yang dibutuhkan Pemerintah (Tsilas & Brashares, 2014).

Walau demikian, tidak dipungkiri pengadaan utang termasuk untuk pelaksanaan pembangunan negara, menimbulkan kerentanan pada perekonomian negara tersebut. Sistem keuangan yang ada tidak mampu memberikan solusi, justru menimbulkan masalah baru. Sebagaimana dikatakan Minsky (1986) dalam Askari & Krichene (2014) sistem keuangan konvensional telah menciptakan ketidakstabilan, sehingga krisis keuangan berulang kali terjadi. Dunia pun melirik sistem keuangan syariah. Imunitas lembaga keuangan syariah dari krisis menimbulkan inspirasi. Ditambah pula kehadiran instrumen keuangan syariah seperti sukuk yang menarik negara barat dan investor nonmuslim (Handayani, 2015).

Pada satu sisi, prinsip keuangan syariah dengan karakteristiknya memiliki peran signifikan untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif. Pada sisi lain, sudah menjadi pemahaman umum sebagaimana diungkapkan dalam pertemuan multilateral development banks dalam Second Global Infrastructure Forum tahun 2017, bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan semakin dibutuhkan keterlibatan pihak swasta. Dengan potensi yang dimilikinya, prinsip keuangan syariah sangat tepat untuk diterapkan dalam kerangka PPP (World Bank, 2017). Prinsip syariah mensyaratkan terwujudnya kesejahteraan manusia dengan mengutamakan kemaslahatan dan menghindari mafsadah (kerusakan). Hal tersebut tercermin dalam fitur utama sistem keuangan syariah termasuk di antaranya berbagi risiko (risk sharing) serta relevansinya dengan sektor riil (Ahmed, 2017). Maka prinsip keuangan syariah dianggap memberikan solusi bagi pembiayaan proyek infrastruktur tanpa merusak kehidupan manusia. Manzoor et al. (2017) menawarkan Istisna Sukuk yang dapat dikombinasikan dengan kontrak Ijarah dan Musyarakah untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur. Dengan skema ini, pembiayaan infrastruktur yang membutuhkan dana besar tidak akan menimbulkan ketimpangan ekonomi.

Sebelum penggunaan skema PPP (yang di Indonesia dikenal dengan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU), Pemerintah Indonesia memiliki berbagai alternatif sumber pembiayaan untuk pembangunan proyek infrastruktur. Pinjaman Proyek yang berasal dari luar negeri merupakan sumber pembiayaan proyek pertama yang dimiliki Indonesia sejak memulai pemerintahan sebagai negara merdeka. Seiring waktu, skema Pinjaman Dalam Negeri yang dikembangkan pada tahun 2008 juga membuka peluang pembiayaan proyek dengan dana pinjaman perbankan dalam negeri. Namun untuk proyek berskala besar memang masih dibutuhkan sindikasi pembiayaan dan hingga saat ini Pinjaman Dalam Negeri belum termanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah.

Penerbitan instrumen pasar keuangan syariah seperti Sukuk Negara untuk membiayai proyek infrastruktur di Indonesia mulai dikembangkan sejak disahkannya UU tentang Surat Berharga Syariah Negara tahun 2008. Pertama kali dilaksanakan pada tahun 2013, Sukuk Negara diterbitkan untuk membiayai sebagian pembangunan jalur ganda kereta api Cirebon - Kroya.

Revenue-based vs Availibility Payment

Tersedia berbagai alternatif sumber pembiayaan (financing) infrastruktur. Investor yang telah menanamkan dananya dalam proyek tersebut tentu mengharapkan pengembalian yang sepadan. Pertanyaan selanjutnya yang tidak kalah penting dari isu financing adalah bagaimana dan siapa yang menutup kewajiban yang timbul dari financing tersebut. Idealnya berasal dari hasil operasional proyek, namun kenyataannya tidak semudah itu.

Secara umum terdapat dua jenis mekanisme pembayaran yang dapat digunakan untuk mengembalikan kewajiban yang timbul dari pembiayaan proyek (project financing). Pilihan antara yang satu dengan yang lain merefleksikan risiko permintaan (demand risk) dari infrastruktur yang akan dibangun. Risiko permintaan di sini adalah risiko dimana aset infrastruktur yang dibangun tidak dapat menarik jumlah pengguna yang diharapkan dan/atau menghasilkan pembayaran dari pengguna (user fee) yang cukup untuk menutup biaya desain, konstruksi, dan perawatan. Pilihan mekanisme pembayaran mencerminkan manajemen risiko permintaan tersebut kepada entitas yang lebih tepat. Jika aset infrastruktur dapat menghasilkan user fee yang cukup, maka mekanisme pembayaran yang tepat adalah revenue-based payment. Sedangkan jika user fee tidak memadai, maka availability payment menjadi pilihan (AON Infrastructure Solutions, 2014).

Menurut Dochia & Parker (2009), struktur availability payment (AP) secara umum meliputi adanya transfer risiko desain, pembangunan, pembiayaan, dan operasi maupun pemeliharaan proyek ke badan usaha. Mekanisme AP juga umumnya lebih tepat untuk proyek yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan namun kinerja atau target operasional mudah diukur atau dimonitor. Sesuai dengan tugas Pemerintah dalam penyediaan layanan umum, maka untuk beberapa infrastruktur umum kualitas layanan lebih diutamakan dibandingkan perolehan pendapatan sebesarbesarnya. Jika pendapatan dari user fee sulit diprediksi atau sangat dipengaruhi oleh faktor luar, namun Pemerintah ingin memiliki kendali penuh atas penetapan user fee, maka mekanisme pembayaran AP lebih tepat dibandingkan revenue based payment.

Prediktabilitas pendapatan memang kerap menjadi isu dalam layanan publik. Pemasukan pendapatan untuk beberapa infrastruktur publik tidak dapat diprediksi sehingga user fee sulit diperkirakan. Namun bisa jadi sebenarnya pengguna telah membayarnya dalam bentuk pembayaran pajak. Mekanisme AP dan pembayaran user fee dapat dihubungkan dengan persyaratan kualitas yang harus disediakan oleh badan usaha, sehingga mengurangi moral hazard dari sisi badan usaha (OECD, 2015).

Untuk skema KPBU, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) – BUMN yang mendapat penugasan dari Pemerintah untuk memberikan penjaminan atas proyek infrastruktur pemerintah – telah mengidentifikasi risiko dikaitkan dengan karakteristik proyek-proyek di berbagai sektor. Proyek di mana belum banyak pihak swasta yang tertarik untuk masuk dan Pemerintah berkepentingan untuk mengendalikan besaran user fee, diarahkan menggunakan skema AP untuk pengembalian investasi. Demikian pula infrastruktur yang terkait kebutuhan dasar publik namun tidak berpotensi menghasilkan pendapatan yang memadai, diarahkan menggunakan skema AP, seperti sektor perhubungan berupa jalan nontol, sektor kesehatan berupa rumah sakit, dan sektor pendidikan berupa sekolah dan perguruan tinggi (PT PII, 2016).

Matching Fund Payments

AAOIFI mendefinisikan Sukuk sebagai “certificate of equal value representing undivided shares in ownership of tangible asset, usufruct and services or (in the ownership of) the assets of particular project or special investment activity”. Sukuk yang merupakan inovasi dalam instrumen surat berharga berbasis syariah mampu menjembatani kebutuhan investasi dalam pasar keuangan berbasis syariah dan pembangunan sektor riil. World Bank (2017) mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dibutuhkan peran serta sektor swasta. Prinsip keuangan syariah konsisten dengan pencapaian pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, untuk itu dibutuhkan strategi untuk menempatkan keuangan syariah dalam kerangka PPP. Ahmed (2017) memberikan rekomendasi untuk meningkatkan konstribusi industri keuangan syariah dalam mempromosikan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.

Pemerintah perlu memiliki strategi dan kebijakan nasional untuk mencapai SDGs. Untuk mencapai agenda tahun 2030, cetak biru pembangunan infrastruktur seharusnya sudah memiliki rencana pipeline sektor-sektor berkelanjutan yang akan dikembangkan seperti energi, transportasi, penyediaan air, dan komunikasi. Langkah selanjutnya adalah strategi pembiayaan. Mengingat dibutuhkannya investasi skala besar dalam pembangunan infrastruktur, maka alternatif yang dapat dikembangkan adalah PPP di mana sektor swasta membangun dan mengoperasikan proyek selama masa konsesi sesuai kesepakatan. Untuk mewujudkan kerangka PPP berbasis prinsip keuangan syariah, maka perlu dikaji lebih lanjut hak dan kewajiban para pihak serta kepemilikan aset. Terdapat pula potensi sumber pembiayaan melalui pasar modal yang berperan penting dalam mobilisasi dana baik dari investor institusi maupun ritel. Isu likuiditas di pasar keuangan syariah membuat Pemerintah harus turun tangan tidak hanya menyiapkan kerangka hukum dan peraturan serta infrastruktur pasar, namun juga mengambil inisiatif dalam penerbitan sovereign sukuk untuk berbagai proyek infrastruktur.

Dalam hal ini sejak 2013 Pemerintah telah mengambil inisiatif melakukan penerbitan Sukuk Negara untuk pembiayaan proyek. Dengan skema “project financing sukuk”, hasil penerbitan Sukuk Negara di-earmark untuk membiayai pembangunan proyek yang telah dialokasikan dalam APBN. Beberapa sektor yang telah mendapat pembiayaan dari Sukuk Negara ini antara lain sektor perhubungan untuk pembangunan rel kereta api, jalan, dan jembatan; sektor pendidikan untuk pembangunan dan pengadaan fasilitas perguruan tinggi; serta sektor keagamaan untuk pembangunan kantor urusan agama dan asrama haji.

 

Sukuk

 

Untuk menjaga kesinambungan APBN sebagai instrumen pembangunan, melalui kerangka KPBU maka matching fund payments dapat diwujudkan dalam penerbitan Sukuk Negara. Badan usaha bertugas mendesain, membangun, dan mengoperasikan proyek, sedangkan Pemerintah mencari pembiayaan sekaligus melakukan perannya mengambil inisiatif mengembangkan pasar keuangan syariah dalam penerbitan sukuk untuk pembiayaan infrastruktur. Hal ini dipertegas pula oleh Usmani (2008) dalam Najeeb & Vejzagic (2013), bahwa sekuritisasi pembiayaan seperti dilakukan melalui penerbitan sukuk telah membuka peluang akses investor kecil untuk memperoleh keuntungan dari investasi pada proyek infrastruktur.

Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang dimungkinkan untuk dilaksanakan melalui skema KPBU sebagaimana diatur dalam Perpres 38/2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (PT PII, 2016). Dua tahun silam Politeknik Batam menjajaki penggunaan skema KPBU untuk memenuhi kebutuhan penunjang kegiatan belajar mengajar dan sarana praktek mahasiswa (DJPPR, 2016). Sektor pendidikan juga merupakan salah satu sektor yang dibiayai dengan skema “project financing sukuk” selama ini. Sejak 2015 skema tersebut digunakan untuk membangun dan merevitalisasi gedung serta fasilitas perguruan tinggi Islam yang pengelolaannya di bawah Kementerian Agama.

Salah satu struktur akad yang digunakan Pemerintah dalam penerbitan “project financing sukuk” adalah wakalah. Sesuai Fatwa DSNMUI No. 95/DSN-MUI/VII/2014, SBSN wakalah merupakan Sukuk Negara yang merepresentasikan bagian dari aset dalam kegiatan investasi yang dikelola Perusahaan Penerbit SBSN selaku Wakil, yang ditunjuk untuk mengelola kegiatan atas nama pemegang sukuk. Karena komposisi aset kelolaan yang menjadi underlying asset dijaga 51 persen aset berwujud dan sisanya aset tidak berwujud, maka sukuk ini dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Kebutuhan pengadaan fasilitas dan layanan pendidikan dapat diwadahi dengan struktur akad ini.

Sukuk

 

Skema PPP untuk pengadaan infrastruktur bukan hal yang baru di sektor pendidikan. Semakin meningkatnya kebutuhan infrastruktur sekolah pendidikan tinggi seiring dengan perkembangan zaman membuat sekolah tinggi harus berinovasi di tengah keterbatasan anggaran. Hasil konferensi internasional yang diselenggarakan OECD di Seoul merangkum beberapa hal yang menjadi sorotan dalam hal sekolah tinggi menggunakan skema PPP. Menurut peserta konferensi, skema PPP perlu diintegrasikan dengan pengadaan Pemerintah secara keseluruhan demi menekan biaya. Pemerintah perlu mencermati manajemen pada fase operasional untuk dapat memaksimalkan keunggulan swasta di sektor ini. Sistem manajemen yang efektif dan sistem auditing yang efisien diperlukan untuk keberhasilan skema ini pada sektor pendidikan (EDUMAC, 2012). Mencermati masukan di atas, maka memang penggunaan skema KPBU dalam sektor pendidikan tidak dapat dilaksanakan secara parsial oleh masing-masing perguruan tinggi. Konsep ini harus terintegrasi dan menjadi kebijakan sektor. Dibutuhkan dukungan peraturan yang memudahkan implementasi dan pengawasannya di lapangan.

Dalam skema KPBU yang ditawarkan ini, sektor perlu memiliki pemahaman yang komprehensif dari sisi perencanaan hingga pemanfaatan hasil proyek yang akan dibangun. Pemerintah melakukan penerbitan Sukuk Negara untuk membiayai pengadaan fasilitas pendidikan yang dibutuhkan. Hal ini perlu dipahami oleh PJPK karena dari penerbitan tersebut, timbul konsekuensi untuk pembayaran kembali kepada investor sukuk. Bertindak selaku penanggung jawab proyek atau PJPK pada sektor pendidikan ini dapat Menteri, Gubernur, Bupati, atau Walikota, sesuai dengan kewenangannya. Untuk perguruan tinggi negeri (PTN) berbadan hukum dan PTNBLU, rektor dapat bertindak selaku PJPK, namun hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari sisi aspek hukum. Adapun Badan Usaha berperan dalam membangun, menyediakan, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas serta layanan pendukung perguruan tinggi, untuk selanjutnya mengalihkannya kepada Pemerintah pada akhir masa konsesi. Pemerintah yang berwenang di sektor yang bersangkutan bertanggung jawab terhadap keseluruhan layanan termasuk pengaturan kurikulum dan guru. Badan Usaha akan menerima pembayaran dari Pemerintah atas layanannya secara berkala selama masa konsesi (PT. PII, 2016).

Sukuk

Kelebihan skema ini, manajemen perguruan tinggi dapat lebih fokus pada perbaikan mutu pendidikan dan penguatan kapasitas SDM. Dari sisi pembiayaan, melalui penerbitan Sukuk Negara, membuka kesempatan masyarakat untuk berinvestasi pada proyek-proyek pemerintah. Dengan skema KPBU dan penggunaan mekanisme AP, hasil proyek akan termanfaatkan secara optimal dan terjaga pemeliharaannya, di bawah pengawasan PJPK. Skema ini juga dapat menghubungkan antara perencanaan dan pemantauan. Karena pembiayaan diikuti dengan biaya (financing cost), maka dapat dirancang mekanisme berikutnya agar pengembalian investasi dapat dihubungkan dengan pendapatan yang diperoleh dari operasional proyek.

Penutup

Menurut Tsilas & Brashares (2014), pemerintah dapat melakukan penerbitan obligasi untuk membiayai proyek PPP. Ahmed (2017) pun menyatakan hal senada untuk penerbitan sovereign sukuk. Sementara itu Manzoor et al. (2017) berargumen bahwa penerapan prinsip keuangan syariah dalam pembiayaan proyek infrastruktur dapat mengembalikan keseimbangan dunia yang telah didominasi dengan penggunaan utang yang rawan memicu krisis keuangan dan ketidakstabilan ekonomi. Mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan yang terintegrasi perlu diupayakan dan menjadi perhatian bersama, demi APBN yang berkelanjutan. Di tengah segala keterbatasan, Sukuk Negara bersama dengan skema KPBU menawarkan solusi. Untuk dapat mewujudkannya , kajian lebih lanjut dapat difokuskan pada hak dan kewajiban para pihak, aspek hukum, proses penganggaran, serta pemantauan yang efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Ahmed, H. (2017). Contribution of Islamic Finance To the 2030 Agenda for Sustainable Development. In High-Level Conference on Financing for Development and The Means of Implementation of the 2030 Agenda for Sustainable Development. United Nations Secretariat. Retrieved from http://www.un.org/esa/ffd/high-level-conferenceon-ffd-and-2030-agenda/wpcontent/uploads/sites/4/2017/11/ Background-Paper_IslamicFinance.pdf
  2. AON Infrastructure Solutions. (2014). Payment Mechanism: The First Form of Risk Transfer in Public-Private Partnerships.
  3. Askari, H., & Krichene, N. (2014). Islamic Finance: An Alternative Financial System for Stability, Equity, and Growth. PSL Quarterly Review, 67(268), 9–54. Retrieved from http://ojs.uniroma1.it/index. php/PSLQuarterlyReview/ article/view/11984
  4. Croce, R., & Gatti, S. (2014). Financing infrastructure – International trends. OECD Journal: Financial Market Trends, 2014/1(1), 123–138.
  5. Direktorat Pembiayaan Syariah. (2015). Sukuk Negara Instrumen Keuangan Berbasis Syariah.
  6. DJPPR. (2016). Pemerintah Memberikan Fasilitas Dukungan Dalam Penyediaan Infrastruktur Di Sektor Pendidikan Melalui Skema KPBU. Retrieved March 25, 2018, from http://www.djppr.kemenkeu. go.id/page/load/1712/ pemerintah-memberikanfasilitas-dukungan-dalampenyediaan-infrastruktur-disektor-pendidikan-melaluiskema-kpbu
  7. DJPPR. (2018). Financing Infrastructure Project through Sukuk Negara. 8
  8. Dochia, S., & Parker, M. (2009). Introduction To Public-Private Partnerships With Availability Payments. Jeffrey A. Parker & Associates, Inc.
  9. EDUMAC. (2012). Enhancing University Competitiveness through Educational Facilities. In Higher Education Spaces and Places: for Learning, Innovation and Knowledge Exchange (p. 18). Seoul: The Korean Educational Development Institute’s Education Research Centre. Retrieved from http:// alastairblyth.files.wordpress. com/2013/08/higher-ed-spacesand-places-2012.pdf
  10. Ehlers, T. (2014). Understanding the challenges for infrastructure finance (No. 454).
  11. Handayani, D. (2015). Ketika Sukuk Menarik Minat Dunia. Retrieved from https://www. kemenkeu.go.id/artikel/ketikasukuk-menarik-minat-dunia
  12. IMF & OECD. (2017). G-20 Report on Strong, Sustainable, and Balanced Growth. Retrieved from https://www.imf.org/external/np/ g20/pdf/2017/100617.pdf
  13. Li, B., Akintoye, A., & Hardcastle, C. (2000). Conceptual Framework for Construction Public Private Partnerships. Glasgow Caledonian University. Association of Researchers in Construction Management, 1(September), 6–8. Retrieved from http://www. arcom.ac.uk/-docs/proceedings/ ar2000-229-240_Li_Akintoye_and_ Hardcastle.pdf
  14. Li, S., Abraham, D., & Cai, H. (2017). Infrastructure financing with project bond and credit default swap under public-private partnerships. International Journal of Project Management, 35(3), 406–419. https://doi. org/10.1016/j.ijproman.2017.01.005
  15. Manzoor, D., Karimirizi, M., & Mostafavisani, A. (2017). Financing Infrastructure Projects Based on Risk Sharing Model: Istisna Sukuk. Journal of Emerging Economies and Islamic Research, 5(3), 72–84.
  16. Najeeb, S. F., & Vejzagic, M. (2013). Development, Growth and Challenges of Islamic Capital Markets: Comparative Insights from the Malaysian, Indonesian, United Arab Emirates and Brunei Markets. Journal of Emerging Economies and Islamic Research, 1(3), 1–38. Retrieved from http:// www.jeeir.com/index.php/jeeir/ article/view/71
  17. OECD. (2015). Infrastructure Financing Instruments and Incentives.
  18. PT. PII. (2016). Acuan Alokasi Risiko Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di Indonesia.
  19. Tsilas, V., & Brashares, E. (2014). P3 Projects and Tax-Exempt Bond Financing: How Does the Puzzle Work? Municipal Finance Journal, 51–67.
  20. World Bank. (2017). Islamic Finance and Public-Private Partnerships for Infrastructure Development. Retrieved July 31, 2017, from http:// www.worldbank.org/en/ news/speech/2017/05/08/ islamic-finance-and-publicprivate-partnerships-forinfrastructure-development
  21. Wu, J., Liu, J., Jin, X., & Sing, M. C. P. (2016). Government accountability within infrastructure public–private partnerships. International Journal of Project Management, 34(8), 1471– 1478. https://doi.org/10.1016/j. ijproman.2016.08.003
  22. http://www.arcom.ac.uk/-docs/ proceedings/ar2000-229-240_ Li_Akintoye_and_Hardcastle. pdf
  23. Li, S., Abraham, D., & Cai, H. (2017). Infrastructure financing with project bond and credit default swap under public-private partnerships. International Journal of Project Management, 35(3), 406– 419. https://doi.org/10.1016/j. ijproman.2017.01.005
  24. Manzoor, D., Karimirizi, M., & Mostafavisani, A. (2017). Financing Infrastructure Projects Based on Risk Sharing Model: Istisna Sukuk. Journal of Emerging Economies and Islamic Research, 5(3), 72–84.
  25. Najeeb, S. F., & Vejzagic, M. (2013). Development, Growth and Challenges of Islamic Capital Markets: Comparative Insights from the Malaysian, Indonesian, United Arab Emirates and Brunei Markets. Journal of Emerging Economies and Islamic Research, 1(3), 1–38. Retrieved from http://www. jeeir.com/index.php/jeeir/ article/view/71

Tags