Waste to Energy: Peluang dan Tantangan Kerangka Kebijakan di Indonesia


Penulis: Oksita Putrining Yansri
Pembimbing: Hendro Ratnanto Joni

Latar Belakang

Pengelolaan sampah telah menjadi isu global yang signifikan, terutama dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca (GHG). Menurut Ritchie & Rosser, sampah menyumbang sekitar 32% dari total emisi GHG. Hal ini menekankan betapa krusialnya penanganan sampah dalam mengurangi dampak lingkungan dan perubahan iklim. Metode pengelolaan sampah yang umum diterapkan secara global termasuk prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan model ekonomi sirkular, yang berfokus pada penggunaan kembali dan daur ulang bahan untuk mengurangi konsumsi sumber daya alam dan menghindari penciptaan limbah.

Waste to energy

Ilustrasi foto pemilahan sampah

Di Indonesia, produksi sampah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2023, produksi sampah mencapai 687 juta ton per tahun, dengan sebagian besar berasal dari sampah organik rumah tangga. Peningkatan produksi sampah ini menjadi tantangan lingkungan yang mendesak untuk diatasi. Salah satu contoh nyata adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan di Yogyakarta, yang mengalami kelebihan kapasitas hingga menyebabkan penutupan permanen sejak Mei 2024.

Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan berbagai kebijakan dan metode untuk mengelola sampah. Kebijakan yang diambil meliputi peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah, promosi praktik 3R, dan pengembangan model ekonomi sirkular. Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya kesadaran masyarakat dan infrastruktur yang memadai dalam menangani masalah sampah. Beberapa program yang dijalankan termasuk pengurangan sampah rumah tangga, pembangunan pabrik daur ulang, dan program daur ulang sampah elektronik (e-Waste).

Program Waste-to-Energy (WtE) merupakan salah satu inisiatif untuk mengatasi masalah sampah dengan mengubahnya menjadi sumber energi. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) adalah bagian dari program ini, yang bertujuan mengurangi volume sampah di TPA dan memanfaatkannya sebagai sumber energi alternatif. Namun, pelaksanaan program ini menghadapi berbagai kendala, termasuk aspek pembiayaan, teknis, kelembagaan, sosial budaya, dan regulasi.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memberikan kerangka kerja komprehensif untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Undang-undang ini mengatur tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur dan mengawasi pengelolaan sampah, serta menetapkan sanksi bagi pelanggaran peraturan. Selain itu, undang-undang ini juga mendorong pengembangan teknologi dan inovasi dalam pengelolaan sampah.

Data ADIPURA (KLHK 2019) menunjukkan bahwa hanya sekitar 49.18% pengelolaan sampah yang efektif, sementara sisanya masih belum memadai. Banyak TPA yang dioperasikan dengan metode open dumping, yang menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik diharapkan dapat mengurangi beban pada TPA dan mendorong pemerintah daerah untuk mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan dalam pengelolaan sampah. Namun di lain sisi, terdapat beberapa potensi isu dalam implementasi WtE meliputi aspek pembiayaan, teknis, kelambagaan, sosial budaya, dan risiko yang perlu dipertimbangkan dengan baik sebelum pengambilan keputusan untuk penerapannya. Untuk itu, artikel ini akan mereviu arah pengaturan pengelolaan sampah terintegrasi di Indonesia dan arah kebijakan waste to energy sebagai salah satu solusi pengelolaan sampah di Indonesia.

Pembahasan

1. Kebijakan Pengelolaan Sampah dengan Pengurangan Sampah 30%

Paradigma Ekologi Industri menekankan pentingnya pencegahan sampah dan optimalisasi sumber daya untuk menciptakan sistem pengelolaan limbah yang berkelanjutan. Dalam kerangka ini, pengelolaan sampah bertujuan mengurangi dampak lingkungan dan mempromosikan ekonomi sirkular melalui pemanfaatan kembali material. Friends of the Earth Japan menekankan pentingnya pengendalian kemasan berlebih, pengurangan konsumsi massal, dan pembangunan sistem yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan. Hal ini mendorong sinergi antara pemerintah, produsen, dan masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang efektif.

Situasi Pengelolaan Sampah di Indonesia

Berdasarkan data KLHK, hanya sekitar 65,71% sampah di Indonesia yang dapat dikelola, sementara sisanya belum tertangani. UU No. 18 Tahun 2008 menjadi dasar hukum pengelolaan sampah yang menekankan pada pengurangan sampah melalui pembatasan timbulan, daur ulang, dan pemanfaatan kembali. Permen LHK No. 75 Tahun 2019 memperkuat upaya ini dengan mengatur peta jalan pengurangan sampah oleh produsen untuk periode 2020-2029. Regulasi ini menargetkan pengurangan sampah yang dihasilkan produsen melalui pendekatan yang terukur dan berkelanjutan.

Prinsip Pengurangan (Reduce)

Permen LHK No. 75 Tahun 2019 mendukung prinsip pengurangan sampah di sumbernya melalui pembatasan penggunaan kemasan berlebih, penggunaan bahan ramah lingkungan, dan pengurangan produk sekali pakai. Regulasi ini juga mempromosikan penggunaan barang tahan lama untuk mengurangi jumlah barang yang dibuang. Pendekatan ini menciptakan sistem yang lebih efisien dalam meminimalkan limbah pada tahap awal produksi dan konsumsi.

Prinsip Penggunaan Kembali (Reuse)

Regulasi ini mendorong produsen untuk merancang produk dan kemasan yang dapat digunakan kembali, sekaligus memberikan insentif kepada masyarakat untuk mengadopsi kebiasaan menggunakan barang-barang yang masih layak pakai. Dengan demikian, siklus barang menjadi lebih panjang dan limbah yang dihasilkan dapat dikurangi secara signifikan.

Prinsip Daur Ulang (Recycle)

Permen LHK No. 75 Tahun 2019 juga mendorong produsen untuk menghasilkan produk dengan kemasan yang dapat didaur ulang. Regulasi ini memfasilitasi kegiatan pengumpulan dan penyerahan kembali sampah untuk diolah menjadi barang bernilai tambah. Hal ini memperkuat konsep ekonomi sirkular dengan memanfaatkan limbah sebagai sumber daya.

2. Arah Kebijakan Waste to Energy Sebagai Solusi Pengelolaan Sampah di Indonesia

Waste-to-Energy (WtE) merupakan solusi inovatif untuk mengatasi permasalahan sampah sekaligus menghasilkan energi. WtE menjadi bagian dari ekonomi sirkular dengan tiga metode utama: pencernaan anaerobik (biogas), limbah panas menjadi energi, dan bahan bakar hayati. Teknologi ini memberikan manfaat ganda berupa pengurangan sampah dan suplai energi alternatif, tetapi memerlukan dukungan regulasi, kelembagaan, serta pemahaman pasar yang matang. Di tingkat global, berbagai negara telah mengembangkan kebijakan yang mendukung implementasi WtE untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.

Di Indonesia, kebijakan terkait WtE masih dalam tahap pengembangan. Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik menjadi dasar regulasi yang ada, tetapi pelaksanaannya menghadapi tantangan besar, seperti penentuan tipping fee yang belum optimal dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Indonesia juga menetapkan WtE sebagai Program Strategis Nasional melalui Perpres No. 58 Tahun 2017, dengan pembangunan fasilitas WtE di 12 kota besar, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Denpasar. Namun, implementasi WtE memerlukan reformasi sistemik di berbagai aspek pengelolaan sampah.

Lebih lanjut, di Indonesia kebijakan waste to energy belum diatur dalam regulasi. Kementerian Bappenas telah melakukan analisis implementasi waste to energy dalam pengelolaan sampah di Indonesia dengan terdapat 5 (lima) aspek permasalahan utama yang masih mengemuka meliputi pembiayaan, kelembagaan, peraturan, teknis, dan sosial budaya hal mana secara garis besar sebagai berikut:

  1. Pembiayaan menjadi salah satu hambatan utama dalam implementasi WtE di Indonesia. Skema Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik dan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) yang diatur oleh pemerintah pusat belum sepenuhnya menarik bagi investor. Selain itu, ada kesenjangan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait mekanisme pembiayaan ini. Dari sisi kelembagaan, masih banyak pemerintah daerah yang memegang peran sebagai regulator sekaligus operator dalam pengelolaan sampah, sehingga mengurangi efektivitas layanan. Restrukturisasi kelembagaan menjadi langkah penting untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah dan penerapan teknologi WtE.
  2. Dari sisi regulasi, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk pengelolaan sampah berbasis WtE belum disusun secara rinci, termasuk standar untuk by-product seperti fly ash dan bottom ash. Hal ini menyebabkan potensi pencemaran lingkungan yang belum sepenuhnya tertangani. Secara teknis, karakteristik sampah di Indonesia, seperti kadar air yang tinggi, menjadi kendala dalam proses pengolahan dengan teknologi WtE. Selain itu, sistem pengumpulan dan pemisahan sampah yang buruk memperumit proses pre-treatment yang diperlukan. Dalam aspek sosial budaya, ada tantangan dalam mengedukasi masyarakat untuk menerima teknologi WtE, terutama karena teknologi ini dinilai bertentangan dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Agar implementasi WtE dapat berjalan sukses, diperlukan berbagai langkah strategis. Pemerintah perlu mereformasi sistem pengelolaan sampah di tingkat daerah, termasuk penetapan tipping fee yang wajar, peningkatan sistem retribusi sampah, dan edukasi masyarakat. Penyusunan NSPK yang jelas untuk produk sampingan WtE dan pengembangan infrastruktur pengawasan lingkungan juga menjadi prioritas. Selain itu, penerapan kebijakan Feed-in Tariff (FiT) untuk harga jual listrik dari WtE dapat menarik minat investor. Dengan reformasi menyeluruh di aspek pembiayaan, kelembagaan, regulasi, teknis, dan sosial budaya, WtE dapat menjadi solusi pengelolaan sampah yang efektif di Indonesia.

3. Studi Kasus: Success Story Penerapan WtE di Jepang

Jepang telah sukses menerapkan teknologi gasifikasi dan peleburan langsung (direct melting system) sebagai solusi inovatif dalam pengelolaan sampah. Teknologi ini tidak hanya mampu mengolah berbagai jenis limbah, termasuk sampah rumah tangga dan medis, tetapi juga mengurangi volume sampah hingga 97,5%. Dengan kapasitas pengolahan antara 10.000 hingga 230.000 ton per tahun, sistem ini menghasilkan gas sintesis yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Produk sampingannya berupa slag dan logam dapat didaur ulang sepenuhnya, mendukung konsep ekonomi sirkular. Teknologi ini juga menggunakan batu kapur dalam proses gasifikasi untuk menekan emisi polutan seperti hidrogen klorida dan sulfur dioksida, sekaligus meminimalkan pembentukan dioksin dan furan.

Dampak lingkungan yang dihasilkan dari penerapan teknologi ini sangat signifikan. Pengurangan volume sampah yang drastis mengurangi kebutuhan lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA), sehingga membantu melestarikan ekosistem lokal. Selain itu, teknologi ini memberikan kontribusi besar pada peningkatan kualitas udara dengan menekan emisi berbahaya yang biasa dihasilkan dari metode pembakaran konvensional. Keberhasilan ini juga mendorong pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan memanfaatkan energi panas dari gas sintesis, menciptakan sumber energi alternatif yang lebih bersih.

Penerapan teknologi ini tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat Jepang terhadap pentingnya pengelolaan sampah. Keberhasilan teknologi ini telah menjadi model yang menginspirasi negara lain, termasuk Indonesia, untuk mengadopsi pendekatan yang serupa. Dengan keberhasilan mengintegrasikan teknologi canggih ini ke dalam sistem pengelolaan limbahnya, Jepang telah membuktikan bahwa pengelolaan sampah dapat menjadi pilar penting dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan.

4. Tantangan Penerapan Kebijakan Waste to Energy di Indonesia: Belajar dari Proyek TPPAS Regional Legok Nangka

Dampak Risiko APBN dalam Skema WtE dengan FiT

Penerapan teknologi WtE di Indonesia, termasuk proyek TPAS Legok Nangka, menawarkan solusi inovatif untuk pengelolaan sampah berkelanjutan sekaligus menghasilkan energi. Namun, skema Feed-in Tariff (FiT) yang dijamin dalam Perpres No. 35/2018 menimbulkan risiko finansial terhadap APBN. Harga jual listrik yang lebih tinggi dari rata-rata biaya produksi listrik konvensional memerlukan subsidi tambahan dari pemerintah untuk menutup selisih biaya yang harus dibayar PLN. Hal ini berpotensi membebani anggaran negara, terutama jika jumlah proyek WtE meningkat tanpa diimbangi oleh efisiensi operasional dan manajemen keuangan yang baik.

Kelebihan Pasokan Listrik sebagai Tantangan Tambahan

Proyek WtE seperti Legok Nangka yang direncanakan untuk mengolah hingga 1.800-2.100 tph sampah per hari dengan teknologi insinerasi, berkontribusi pada penyediaan energi terbarukan di wilayah Jawa Barat. Namun, Jawa dan Bali saat ini menghadapi kondisi kelebihan pasokan (over supply) listrik, yang membuat penerapan FiT pada proyek WtE menjadi kurang optimal. Kelebihan pasokan ini meningkatkan risiko pemborosan sumber daya dan subsidi tambahan dari APBN untuk mendukung infrastruktur listrik yang tidak sepenuhnya termanfaatkan.

Pendekatan untuk Memitigasi Risiko Fiskal

Untuk mengurangi tekanan terhadap APBN, skema pembiayaan proyek seperti Legok Nangka perlu didesain secara hati-hati. Penggunaan mekanisme KPBU dapat membantu mengalihkan sebagian risiko ke pihak swasta. Selain itu, pengelolaan tipping fee yang transparan dan adil menjadi faktor kunci. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa besaran tipping fee yang diberikan kepada operator proyek dapat mendukung kelangsungan operasional tanpa bergantung sepenuhnya pada subsidi pemerintah pusat.

Potensi untuk Menyeimbangkan Insentif dan Efisiensi

Pengembangan WtE di Legok Nangka dapat menjadi contoh bagaimana insentif yang tepat, efisiensi teknologi, dan pengelolaan risiko finansial dapat diintegrasikan. Dengan teknologi insinerasi modern yang menghasilkan listrik secara efisien dan meminimalkan emisi, proyek ini dapat menunjukkan manfaat ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Namun, perlu ada strategi untuk memastikan bahwa listrik yang dihasilkan diarahkan ke sektor yang membutuhkan, seperti industri lokal, sehingga memberikan nilai tambah langsung kepada masyarakat tanpa membebani APBN secara berlebihan.

Penutup

Prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) menjadi fondasi utama dalam pengelolaan sampah untuk mencapai keberlanjutan lingkungan. Dengan fokus pada pengurangan timbulan sampah dari sumbernya, pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan melalui pembatasan konsumsi produk sekali pakai, mempromosikan penggunaan barang tahan lama, dan mendukung daur ulang material. Regulasi seperti Permen LHK No. 75/2019 di Indonesia mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam kebijakan pengelolaan sampah.

Namun, implementasi kebijakan pengelolaan sampah tidak lepas dari berbagai tantangan, termasuk kebutuhan pembiayaan yang memadai, kelembagaan yang efektif, teknologi yang sesuai, serta dukungan sosial budaya yang luas. Kerjasama lintas sektor, melibatkan pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang bersih dan berkelanjutan. Melalui kolaborasi ini, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang mendukung adopsi teknologi dan praktik pengelolaan sampah yang modern.

Sebagai langkah strategis, kerangka acuan regulasi Waste to Energy (WtE) perlu menawarkan panduan komprehensif yang mencakup aspek energi, lingkungan, ekonomi, sosio-politik, hingga persyaratan teknis. Dengan pendekatan ini, pemerintah Indonesia diharapkan dapat menyusun kebijakan yang efektif untuk mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya berkontribusi pada pengurangan limbah, tetapi juga mendukung transisi menuju ekonomi sirkular yang lebih ramah lingkungan.

Daftar Pustaka:

  1. Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69. Jakarta: Sekretariat Negara.
  2. Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
  3. Aretha Aprilia, Waste Management in Indonesia and Jakarta: Challeges and Way Forward, ASEFSU23 Background Paper, 2021, 2
  4. Green Network. (n.d.). Mengubah Sampah Menjadi Listrik dengan Teknologi Waste-to-Energy. Diakses pada 30 Desember 2024, dari https://greennetwork.id/ikhtisar/mengubah-sampah-menjadi-listrik-dengan-teknologi-waste-to-energy 
  5. Climate Adaptation Platform. (n.d.). Can Japan’s Waste-to-Energy Technology Shape Global Waste Management?. Diakses pada 30 Desember 2024, dari https://climateadaptationplatform.com/can-japans-waste-to-energy-technology-shape-global-waste-management 
  6. Breaking Asia. (n.d.). Japan Leading the Way to Turn Waste into Energy. Diakses pada 30 Desember 2024, dari https://www.breakingasia.com/japan/japan-leading-the-way-to-turn-waste-into-energy

Diterbitkan pada tanggal 31 Desember 2024