Partisipasi DJPPR dalam Forum 2021 OECD Blended Finance and Impact Week


Oleh: Tarias

Pada awal Februari ini, OECD menyelenggarakan kegiatan tahunan Private Finance for Sustainable Development Conference yang mengundang high-level speakers dan policy makers serta melibatkan investor, perusahaan, development finance institutions, Lembaga riset, foundations dan komunitas sosial lainnya. Tahun ini, OECD mengusung tema Blended Finance and Impact dan mengundang Kementerian Keuangan dalam salah satu event. Kementerian Keuangan, diwakili oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Dirjen PPR), turut menjadi panelis dalam salah satu panel diskusi yang dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2021. Dirjen PPR menjadi panelis bersama dengan perwakilan UK, Luxemburg, Korea Selatan, Green Climate Fund dan OECD. dengan tema diskusi mengenai Blended Finance for Climate Action.

Saat ini isu mengenai blended finance sedang menjadi perhatian dunia, dimana skema ini digaungkan dapat menjembatani kesenjangan investasi yang diperlebar oleh krisis COVID-19. Kondisi pandemi global memicu kemunduran besar dalam pembiayaan pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang, di mana tingkat pembiayaan domestik maupun eksternal tidak dapat memenuhi kebutuhan pengeluaran untuk mencapai SDG dan climate goals yang sudah ditargetkan sebelum krisis (OECD, 2020). Dengan waktu tersisa kurang dari 10 tahun untuk mencapai target global pengurangan emisi CO2 sebesar 45% dan membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, mobilisasi climate financing mungkin merupakan tantangan yang cukup menantang, terutama bagi negara-negara berkembang yang tengah berjuang untuk keluar dari krisis Pandemi Covid-19. Indonesia sendiri menargetkan untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% di tahun 2030 dengan skenario self-financing, namun dalam skenario adanya dukungan internasional dalam pembiayaan maka ditargetkan mencapai 41% di tahun 2030.

Dalam panel diskusi Blended Finance for Climate Action, beberapa hal yang disampaikan sebagai bagian dari kebijakan Kementerian Keuangan dalam penanganan isu dimaksud, antara lain meliputi:

  1. Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam menanggapi perubahan iklim dan juga mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana akibat iklim. Hal ini telah menjadi prioritas Pemerintah yang ditetapkan dalam Sembilan Prioritas Agenda (Nawacita).
  2. Indonesia telah melakukan banyak upaya untuk mendanai dan menangani isu perubahan iklim tersebut, yaitu melalui:
    1. Pengembangan Green Bond dan Green Sukuk Framework pada tahun 2018, yang rencananya akan digunakan untuk financing dan/atau re-financing eligible Green Projects. Framework ini telah mendapat second opinion dari Center for International Climate Research (CICERO) dan mendapatkan penghargaan medium green shading. Shading ini menunjukkan bahwa proyek yang terdaftar telah memenuhi syarat sekaligus mewakili upaya negara menuju visi jangka panjang dalam pengurangan emisi karbon. Dalam hal green financing, Indonesia telah berhasil menerbitkan 3 Green Sukuk di tahun 2018 yang berhasil membukukan penawaran sebesar USD USD 1,25 miliar, tahun 2019 dan 2020 sebesar USD 750 juta serta Savings Retail Green Sukuk pertama di dunia pada tahun 2019 sebesar USD 36,7 juta. Semua hal ini menunjukkan keseriusan komitmen Pemerintah Indonesia dalam climate action.
    2. Geothermal - Indonesia sebenarnya sangat kaya akan sumber daya panas bumi dan didorong untuk membuka potensi tersebut dengan mengembangkan skema pembiayaan sektor ini. Saat ini kami sedang menyiapkan fasilitas yang disebut Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi yang melibatkan dana pemerintah dan multilateral seperti GREM dari Bank Dunia serta Dana Teknologi Iklim (CTF) dan Fasilitas Lingkungan Global (GEF).
    3. Pengembangan skema Blended Finance antara pembiayaan swasta, donor dan Pemerintah dalam membiayai proyek SDGs, salah satunya melalui pengembangan Proyek Pengelolaan Sampah Legok Nangka di Provinsi Jawa Barat.
    4. Pendirian platform SDG Indonesia One (SIO) yang bertujuan untuk mengintegrasikan dan menggabungkan pendanaan publik dan keuangan swasta, kemudian menyalurkan dana tersebut ke proyek-proyek yang mendukung SDGs. SIO akan berfokus pada sektor energi terbarukan, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur perkotaan (transportasi, air minum dan penanganan limbah).

Pandemi Covid-10 memberi kita banyak pelajaran. Pembangunan nasional harus dilanjutkan namun harus disesuaikan dengan kondisi “new normal”. Dalam mendorong climate blended finance, Kementerian Keuangan berupaya untuk terus berkontribusi dalam kebijakan tingkat nasional atau internasional, antara lain melalui langkah:

  1. Penetapan Undang-Undang Omnibus Law. Dalam UU ini, pemerintah kembali menegaskan komitmen untuk mempromosikan keberlanjutan ekonomi, dengan memprioritaskan inisiatif perubahan iklim dan sustainable development goals melalui penguatan kualifikasi dan penegakan izin lingkungan untuk setiap investasi atau bisnis yang dilakukan di Indonesia. Izin usaha akan mewajibkan investor untuk melakukan penilaian dampak lingkungan dengan pendekatan berbasis risiko dan secara ilmiah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, termasuk masyarakat sekitar proyek. Kegagalan dalam melakukan penilaian tersebut akan mengakibatkan pencabutan izin usaha.
  2. Rencana penerbitan obligasi pemerintah, SDG Bond, dalam kategori Environmental, Social and Governance (ESG) dalam pipeline pembiayaan proyek. SDGs Bond ini dimaksudkan juga untuk memperluas basis Government Debt Securities, khususnya Socially Responsible Investors.
  3. Dalam project financing, Pemerintah akan melanjutkan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan kerangka blended financing dengan menggunakan skema PPP sebagai backbone dan pengembangan skema pembiayaan kreatif dan inovatif sebagai landasan yang kuat untuk mengundang lebih banyak partisipasi dari mitra lain termasuk sektor swasta, filantropis, dan lembaga pembangunan.

No id judul isi image