Peningkatan Kualitas Pengelolaan Dampak Fiskal melalui Penerapan PPP Fiscal Risk Assessment Model (PFRAM)


Mengacu kepada kebutuhan pendanaan dan pembiayaan infrastruktur yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024, sebesar 42% dari total nilai kebutuhan Rp 6.445 triliun, diharapkan dapat dipenuhi melalui pembiayaan swasta. Angka tersebut merupakan angka yang besar dan diperlukan langkah-langkah ekstra untuk dapat mewujudkannya. Skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha(KPBU) diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi yang signifikan untuk memenuhi porsi tersebut sehingga diperlukan langkah-langkah perbaikan dalam implementasi maupun pengelolaan dampak yang dihasilkan oleh skema ini.

Per September 2020, tercatat 21 proyek KPBU senilai Rp173,42 Triliun telah dikerjasamakan berdasarkan Perjanjian Kerja Sama KPBU. Perjanjian ini utamanya mengatur hak dan kewajiban para pihak yaitu pihak pemerintah (atau sisi publik) dengan pihak Badan Usaha (atau pihak swasta). Hak dan kewajiban tersebut ada yang bersifat pasti dan dapat diukur dengan jelas (non-kontinjensi) misalnya kewajiban pemerintah dalam skema “Availability Payment” untuk membayar kepada pihak Badan Usaha atas layanan infrastruktur yang dihasilkan dan ada juga yang keterjadiannya masih merupakan kemungkinan (probabilitas) dan bersifat kontinjensi. Untuk jenis yang kedua tersebut , tetap diusahakan agar hak dan kewajiban dimaksud tetap dapat diukur misalnya kewajiban pemerintah untuk memberikan kompensasi apabila terjadi perubahan regulasi yang berdampak kepada menurunnya pendapatan proyek. Pembagian hak dan kewajiban ini dilakukan berdasarkan prinsip alokasi risiko, hal mana risiko akan dialokasikan kepada pihak yang dianggap lebih mampu mengelola faktor-faktor penyebab risiko tersebut terjadi.

Dalam hal terdapat kondisi yang akan memicu terjadinya risiko, maka pihak pengelola risiko perlu melakukan usaha (mitigasi risiko) agar risiko tersebut tidak terjadi. Namun apabila risiko tersebut tetap terjadi dan memberikan dampak negatif atas keberlangsungan proyek, maka pihak yang mendapatkan alokasi risiko perlu memberikan kompensasi dan kompensasi tersebut biasanya dapat dinilai (atau dapat dimonetisasi).

Dari penjelasan tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Perjanjian KPBU memberikan dampak bagi kedua belah pihak baik pihak pemerintah maupun badan usaha. Dampak tersebut memiliki nilai yang dapat diprediksikan dan perlu dikelola dengan baik terutama untuk dampak yang bersifat negatif. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman global dalam menerapkan skema Public Private Partnership (PPP), World Bank dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan sebuah Model yang disebut PPP Fiscal Risk Assessment Model atau biasa disebut PFRAM.

PFRAM pertama kali diperkenalkan pada bulan April 2016, sebagai sebuah alat analisis untuk menilai potensi biaya dan risiko fiskal yang muncul dari proyek proyek PPP (International Monetary Fund and World Bank Group, 2016). PFRAM disusun untuk memberikan pemahaman yang lebih baik bahwa PPP perlu diadakan dengan tetap memperhatikan kemampuan pemerintah dalam mengelola biaya dan risiko yang muncul agar tidak memberikan beban fiskal yang melebihi kemampuan di masa yang akan datang. Model ini telah disempurnakan sehingga namanya diubah menjadi PFRAM 2.0 hal mana manual penggunanya diterbitkan pada bulan September tahun 2019.

PFRAM 2.0 didesain guna memberikan pendampingan kepada pemerintah untuk menilai dampak fiskal dari proyek PPP dan juga mengelola proyek dengan lebih proaktif. (IMF and World Bank Group, 2019). Dalam manualnya, terdapat beberapa alasan mengapa PFRAM perlu diaplikasikan oleh negara yang melaksanakan skema PPP, yaitu sebagai berikut:

  • PPP dapat meningkatkan efisiensi dari investasi publik, namun dampak fiskal yang ditimbulkan tetap dapat diperkirakan dan dikelola dengan baik
  • Terdapat risiko berupa asumsi bahwa PPP berarti penyediaan infrastruktur secara gratis, dan pemerintah dapat melaksanakan PPP tanpa menyadari dan memahami dampak fiskal yang ditimbulkan
  • PFRAM 2.0 dibangun untuk mendukung pemerintah melakukan penilaian dan pengelolaan terhadap biaya dan risiko fiskal dari skema PPP dan untuk menekankan pengambilan keputusan atau kebijakan terkait infrastruktur yang didasarkan pada pertimbangan biaya dan risiko yang telah dinilai (diperkirakan)
  • PFRAM 2.0 dibangun untuk memfasilitasi komunikasi antar insitusi pemerintah dan meningkatkan tranparansi fiskal

Lebih lanjut, dalam manualnya dijelaskan pula mengenai ruang lingkup hal apa saja yang dapat dilakukan PFRAM untuk mewujudkan tujuan penggunaannya. Yang tidak kalah penting, disoroti beberapa manfaat dari PFRAM 2.0 sebagai berikut:

    1. Membantu pemerintah untuk melihat dari perspektif badan usaha/pihak swasta dengan melakukan estimasi terhadap annual cash flow dari masing masing proyek sehingga memberikan pengetahuan mengenai kelayakan finansial proyek PPP
    2. Membantu pemerintah menilai dampak fiskal pada beberapa tahapan pada proyek yaitu saat melakukan desain (penyiapan) dan pengadaan proyek, pada saat seleksi proyek, maupun pada saat proyek tersebut telah diimplementasikan.
    3. Alat untuk memperkirakan dampak fiskal atas sebuah proyek PPP maupun dampak fiskal bagi keseluruhan portofolio PPP.
    4. Menghasilkan matriks risiko fiskal.
    5. Mendukung sensitivity analysis
    6. Memberikan simulasi terkait terminasi kontrak  

Merujuk kepada manfaat yang bisa didapat dari PFRAM 2.0, Direktorat PDPPI, DJPPR menjajaki kemungkinan untuk penggunaan PFRAM 2.0 untuk mengelola dampak fiskal proyek-proyek KPBU di Indonesia. Saat ini sedang dilakukan diskusi dengan IMF dan World Bank mengenai bentuk asistensi yang akan diberikan untuk menggunakan PFRAM 2.0 sebagai sebuah alat bantu dalam mengelola dampak fiskal Proyek KPBU maupun membuat kebijakan yang lebih makro terkait dampak tersebut. Ke depannya diharapkan terdapat sinergi antar unit di Kementerian Keuangan yang terlibat seperti Ditjen Anggaran, Ditjen Perimbangan Keuangan, Ditjen Kekayaan Negara, Badan Kebijakan Fiskal dan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk membangun dan menyempurnaan penerapan model PFRAM di Indonesia.

Usaha untuk mengaplikasikan PFRAM 2.0 merupakan salah satu usaha ekstra yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi semakin tingginya kebutuhan pembiayaan infrastruktur oleh swasta. Namun, sebagai pengelola fiskal, Kementerian Keuangan perlu memastikan bahwa dampak dari transaksi infrastruktur tersebut dapat dikelola dan ditangani secara memadai. Di sisi lain, dengan diterapkannya model PFRAM 2.0, diharapkan kepercayaan pihak swasta meningkat sehingga investasi swasta untuk pembiayaan infrastruktur dapat meningkat signifikan.

Tags
No id judul isi image