Yang Utama, tapi Seringkali Terlupa: Bankability


Oleh: Aulia Ihsanin

Para pembaca tentu sudah sangat familiar dengan fasilitas pinjaman/kredit perbankan. Sebagai individu yang memiliki rencana dan masa depan, adakalanya kebutuhan kita tidak dapat terpenuhi dengan kemampuan kita sekarang. Dan yang umum dilakukan adalah memilih untuk meminjam ke lembaga keuangan (sebut saja bank).

Sekarang coba kita pikirkan ketika peminjam (debitur) datang ke bank dan menyatakan ingin mengajukan pinjaman: apakah bank akan memberikan begitu saja pinjaman hanya dengan debitur menyerahkan dan menunjukkan kartu identitas? Jawabnya jelas, tidak. Bank akan melihat profil debitur (tentunya profil finansialnya), kemungkinan meminta jaminan, dan informasi/dokumen tambahan lain yang dapat menguatkan keyakinan bank, bahwa debitur layak diberi pinjaman.

Kesemua hal yang diminta bank tersebut tidak lain dalam rangka memastikan bahwa pinjaman yang dikucurkan, akan dikembalikan secara penuh (beserta margin/bunga yang dikenakan). Ketika bank willing atau mau memberikan pinjaman, dapat diartikan bahwa orang atau proyek tertentu tersebut bankable.

Bankability

Ilustrasi Bankability

Bankability dalam pembiayaan infrastruktur dengan skema KPBU

Kejadian seperti ilustrasi di atas juga berlaku dalam konteks penyediaan infrastruktur oleh Pemerintah, terutama jika penyediaan infrastrukturnya dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Mengapa jika skema penyediaan infrastrukturnya KPBU, Pemerintah perlu lebih banyak memperhatikan aspek bankability proyek?

Pada dasarnya jika melihat nature struktur proyeknya, KPBU merupakan bentuk pelaksanaan konsep project finance. Dalam project finance, untuk memperoleh tingkat biaya modal yang optimal, umumnya porsi pinjaman dari kreditur mendominasi (bahkan dapat mencapai 80%). Dengan karakter seperti itu, dalam menyiapkan sebuah proyek KPBU, Pemerintah (dalah hal ini Penanggung Jawab Proyek Kerjasama atau PJPK) harus memperhatikan kondisi yang dalam pandangan pemberi pinjaman bahwa proyek tersebut bankable.

Lalu, apa saja hal-hal apa saja yag menjadikan proyek KPBU bankable?

Hampir serupa dengan ilustrasi di awal, lender/financier akan melihat profil keuangan peminjam, yang dalam hal ini, adalah proyek (karena dalam KPBU, pemenang lelang akan membentuk badan usaha baru, terlepas dari perusahaan induk para peserta konsorsium). Karena proyeknya sendiri belum terlaksana, maka lender mengandalkan pada proyeksi pendapatan proyek masa depan. Dalam proses lelang, kehandalan pendapatan masa depan akan dilihat, paling tidak, dari kejelasan mengenai kebijakan tarif (jika skema pengembalian investasi dalam proyeknya adalah pengguna membayar) atau sudah adanya konfirmasi kepastian pembayaran dari pemerintah (baik berupa konfirmasi final maupun persetujuan DPRD untuk pemerintah daerah) jika skemanya adalah availability payment. Mengapa kejelasan pendapatan? Seperti halnya dalam ilustrasi awal, lender perlu memastikan bahwa uang yang dipinjamkan dapat dikembalikan.

Kedua, lender juga akan memperhatikan alokasi risiko proyek. Alokasi risiko yang terlalu eksesif kepada badan usaha, terutama apabila risikonya seharusnya ditanggung oleh pemerintah, akan mempengaruhi persepsi lender mengenai bankability suatu proyek. Risiko politik, perubahan kebijakan, keterlambatan/tidak diambilnya kebijakan, pengadaan tanah, dan penyesuaian tarif adalah contoh-contoh dari risiko yang seharusnya dialokasikan kepada pemerintah.

Atas risiko-risiko yang disebutkan tadi, dua risiko yang seharusnya sudah dikurangi probabilitas keterjadiannya, adalah ketersediaan lahan dan penyesuaian tarif (telah disebutkan di bagian sebelumnya).  Kepastian ketersediaan lahan merupakan informasi yang penting untuk mengetahui apakah Pemerintah sudah mengantongi kejelasan kepemilikan dan/atau akses ke lahan/lokasi proyek, sehingga pada saat badan usaha sudah terpilih, proyek dapat segera dilakukan. Lender juga mencermati apakah risiko-risiko terkait kejelasan/kepastian hukum dan perijinan yang dialokasikan kepada Pemerintah telah dipenuhi (atau setidaknya diproses) agar proyek dapat dilakukan.

Bankability: beyond feasibility

Mungkin pembaca sering mendengar pernyataan seperti berikut: “yang penting proyeknya feasible, bisa langsung dilelang” atau “proyeknya feasible, sudah siap dilelang”. Dalam konteks proyek KPBU, apakah pernyataan tersebut bisa diterima?

Jika tujuan pemilik proyek adalah memperoleh pemenang lelang, pernyataan tersebut bisa jadi benar. Namun, jika tujuan pemilik proyek adalah infrastrukturnya tersedia dan dapat memberikan layanan, pernyataan tersebut perlu dilihat kembali.

Feasibility atau kelayakan proyek pada intinya berfokus pada bagaimana sebuah proyek dapat memberikan pengembalian yang cukup kepada investor. Dalam konsep yang ekstrem, feasibility berkaitan dnegan keberhasilan suatu proyek dilaksanakan. Dengan demikian, feasibility secara garis besar akan mencoba menyelesaikan dua hal: bagaimana proyek dibiayai selama masa konstruksi dan bagaimana proyek bisa menghasilkan pendapatan di masa operasi (untuk menutup pembiayaan masa konstruksi ditambah margin).

Dalam konteks KPBU yang menerapkan project finance halmana porsi pinjaman dari lender sangat besar, proyek layak (feasible) adalah keharusan. Tetapi proyek layak saja tidak cukup, proyek juga harus bisa menarik lender untuk memberi pinjaman. Tanpa adanya lender yang bersedia memberi pinjaman, proyek tidak akan dapat dilakukan. Jadi proyek KPBU (selain) harus layak (feasible) dan (juga) harus bankable. Dalam beberapa kasus, dukungan Pemerintah menjadi salah satu faktor yang dapat menjadikan suatu proyek menjadi feasible dan akhirnya bankable.

Baca juga: Feasibility Study Atau Prafeasibility Study Bukan Business Case

Faktor yang mempengaruhi bankability selain yang bersumber dari proyek

Di negara-negara yang telah lebih dahulu menerapkan skema KPBU, seringkali ditemui bahwa pada saat pra-kualifikasi, para bidder sudah membawa lender masing-masing. Hal ini (salah satunya) karena sejak awal penyiapan proyek, PJPK telah memperhatikan masukan dan pandangan pemberi pinjaman, sehingga pada saat lelang dilakukan, lender sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai proyek dan/atau dapat menilai apakah sponsor tertentu melaksanakan proyek .

Di Indonesia, project finance masih dalam tahap awal implementasi. Lenders lokal yang menerapkan project finance bisa dikatakan masih sangat sedikit, sehingga praktik seperti di negara-negara maju, belum dapat sepenuhnya dilakukan. Karena keterbatasan ini, dalam melihat proyek apakah “bankable”, pemberi pinjaman masih dipengaruhi oleh aspek di luar proyek, yaitu sponsor (pertanyaan mengenai siapa badan usaha pelaksananya) proyek. Selain itu, pelibatan potensial lender (selain karena lender untuk project finance yang terbatas), lebih awal di masa penyiapan layaknya pelibatan calon bidder, masih perlu ditingkatkan.

Bankability dalam KPBU adalah hal yang unik, yang bergantung pada karakteristik dan keadaan proyek. Oleh karenanya, hal itu harus dikembangkan bersama oleh pihak publik dan swasta dan harus dituangkan secara jelas dalam klausul perjanjian kerjasama. Pemberi pinjaman pada dasarnya akan mengambil porsi terbesar dari pembiayaan proyek, sehingga perlu memastikan bahwa keputusannya untuk memberikan pinjaman adalah tepat: tidak akan menanggung risiko yang tidak seharusnya, dan malah akan menerima keamanan yang cukup, baik dari Pemerintah (sebagai pemilik proyek) dan sektor swasta (sponsor) .