KPBU-Availability Payment: Salah Satu Opsi Penyediaan dan Pembiayaan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) di Kawasan Perkotaan?


Latar belakang : Tempat Tinggal Merupakan Hak Warga Negara

Rumah, merupakan kebutuhan dasar setiap orang, sehingga banyak cara dilakukan orang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai bentuk tanggung jawab negara akan kebutuhan tersebut, negara juga telah mengambil porsi yang besar dalam membantu warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan rumah. Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pada UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan/atau Pemda harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Selain kedua UU tersebut, tanggung jawab negara atas kebutuhan tempat tinggal bagi warganya juga termuat dalam UU 20/2011 tentang Rumah Susun dan UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Pemerintah telah membuat kebijakan pembangunan yang salah satunya tercantum dalam RPJM 2015-2019. Adapun terkait dengan perumahan, kebijakan Pemerintah adalah meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung penyediaan prasarana, sarana dan utilitas yang memadai. Berdasarkan RPJM 2015-2019, kebutuhan pendanaan infrastruktur diperkirakan sebesar Rp4.796 triliun, sedangkan kebutuhan sektor perumahan sebesar Rp328 triliun atau sekitar 7% dari seluruh kebutuhan pendanaan infrastruktur nasional). Kebutuhan dana tersebut ditujukan untuk penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau untuk 2,2 juta rumah tangga dan peningkatan kualitas rumah tidak layak huni untuk 1,5 juta rumah tangga, di mana sebagian dana tersebut harus disediakan melalui APBN/APBD. Jumlah kebutuhan dana tersebut dapat juga bertambah apabila pemenuhan target pada tahun yang bersangkutan tidak tercapai atau adanya peningkatan kebutuhan karena pertumbuhan jumlah penduduk.

Dalam memenuhi kebutuhan rumah tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemda mengambil porsi yang cukup besar dalam pembiayaan perumahan, yaitu sekitar Rp228 triliun atau 69% dari seluruh kebutuhan pembiayaan perumahan.

Mengingat masih besarnya financing gap di luar porsi Pemerintah tersebut, perlu strategi agar pembiayaan tersebut dapat menghasilkan lebih banyak rumah dalam mengatasi kebutuhan rumah baru, baik yang disebabkan pertumbuhan populasi, mengatasi backlog tahun-tahun sebelumnya, dan menjawab tantangan kebutuhan perumahan/kawasan permukiman untuk kalangan milenial serta dalam rangka penataan kawasan kumuh di wilayah perkotaan.

KPBU-AP

Backlog Penyediaan Perumahan

Berdasarkan bahan paparan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)/PT SMF – merupakan BUMN pembiayaan sekunder perumahan, kebutuhan perumahan baru adalah sebesar 1,46 juta unit rumah per tahun. Adapun rincian angka tersebut adalah yang pertama berasal dari backlog perumahan tahun sebelunya sekitar 580 ribu unit dan kebutuhan perumahan baru (sebagai dampak kenaikan populasi penduduk) sebesar 880 ribu unit. Dari jumlah 1,46 juta unit, kemampuan pengembang dalam menyediakan rumah sekitar 440 ribu unit, sehingga masih terdapat kekurangan sekitar 1 juta unit rumah. Banyak pertimbangan mengapa pengembang hanya mampu memenuhi hanya sekitar 30% kebutuhan, seperti kekurangan modal, administrasi perijinan yang memakan waktu lama, mahalnya biaya pengadaan tanah dan lain sebagainya.

KPBU-AP

Jika dilihat dari jenis pembiayaan untuk membangun 400 ribu unit rumah, mayoritas melibatkan lembaga keuangan (khususnya bank) dengan menggunakan fasilitas kredit (KPR) yaitu sebesar 77%, selanjutnya hard cash sebesar 7% dan sumber pembiayaan lainnya sebesar 16%. Dapat dikatakan bahwa KPR masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam membiayai kepemilikan rumahnya.

Berdasarkan jenis rumah, terdapat dua jenis yaitu rumah tapak (landed house) dan rumah vertikal (rumah susun). Pengembang/ Pemerintah telah membagi target pembangunan rumah menjadi dua jenis tersebut di beberapa masterplan pembangunan perumahan/kawasan pemukiman, meskipun target pembangunan masih didominasi rumah tapak.

Pertumbuhan Populasi pada Daerah Urban (Perkotaan) di Indonesia

Merujuk data yang dipublikasikan oleh United Nations pada tahun 2016, selama periode 20 tahun terakhir (1995-2015) populasi penduduk di daerah urban di Indonesia tumbuh sekitar 3,37% per tahun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan populasi daerah urban dunia (2,16%), Asia (2,78%) bahkan di Asia Tenggara (2,92%). Pertumbuhan ini juga lebih besar dari Thailand (3,20%), Myanmar (2,34%), Filipina (1,48%). Adapun di Amerika Serikat sebesar 1,24%, Tiongkok sebesar 3,55%, dan India sebesar 2,51%.

KPBU-AP

Dengan tingkat pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi diharapkan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena terjadi perkembangan di perkotaan. Namun, dalam kenyataanya tidak demikian, karena untuk kasus di Indonesia, setiap 1% pertumbuhan urbanisasi hanya memperoleh 4% peningkatan PDB per kapita, bandingkan saja dengan yang terjadi di India yang mencapai 13%, China sebesar 10%, dan Thailand sebesar 7%. Kontribusi urbanisasi yang kecil terhadap kenaikan PDB ini dikarenakan maraknya kemacetan, polusi, dan risiko bencana akibat investasi infrastruktur yang kurang memadai.

Dengan peningkatan populasi di daerah perkotaan maka pemerintah harus mempunyai strategi/kebijakan agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Adapun strategi yang perlu mendapat perhatian adalah terkait dengan perumahan. Hal ini tentunya dilandasi ketika mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah atau menempati rumah yang layak maka akan menimbulkan daerah kumuh (slum area) di perkotaan. Tantangan pembangunan perumahan akan semakin besar mengingat ketersediaan lahan yang semakin sedikit, sehingga opsi-opsi untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul juga semakin terbatas.

Strategi Pemenuhan Penyediaan dan Pembiayaan Perumahan Rakyat

Untuk memenuhi target pemenuhan penyediaan perumahan tersebut, Kementerian PUPR telah mempunyai berbagai strategi dan kebijakan, antara lain melalui kebijakan seperti pembangunan fisik perumahan oleh Kementerian PUPR, pembangunan perumahan oleh pengembang dengan subsidi pemerintah dan pembangunan perumahan oleh pengembang tanpa subsidi pemerintah dengan berbagai bentuk bantuan yang disediakan pemerintah. Target penyediaan perumahan terebut selanjutnya didistribusikan kepada Pemerintah Pusat (Kementerian PUPR dan K/L lainnya), Pemerintahan Daerah (PEMDA), Pengembang, Perusahaan (CSR) dan masyarakat itu sendiri (pembangunan rumah swadaya). Berikut ringkasan strategi dan program dalam rangka pemenuhan target penyediaan perumahan.

KPBU-AP

Rusunawa sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Perumahan

Sebagaimana disebut pada tabel di halaman 22, salah satu strategi untuk memenuhi penyediaan perumahan adalah melalui penyediaan rumah susun sewa (rusunawa) yang pembiayaannya dilakukan melalui alokasi anggaran di Kementerian PUPR. Berdasarkan rencana strategis Direktorat Rumah Susun Tahun 2015- 2019, jumlah rusunawa yang akan dibangun sebanyak 550.000 unit dengan kebutuhan dana sekitar Rp129,6 triliun (biaya konstruksi). Strategi rusunawa cocok untuk mengatasi masalah terutama untuk perumahan di perkotaan (urban area) untuk mengatasi tingkat pertumbuhan urbanisasi yang tinggi, disisi lain terkendala pada kesediaan lahan yang terbatas untuk pembangunan rumah tapak. Selain itu, kebutuhan kaum milenial dimana kecenderungan untuk memiliki rumah menjadi berkurang, karena lebih fokus pada menempati rumah dengan fasilitas yang baik dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.

KPBU-AP

Dengan kebutuhan pembiayaan dana yang mencapai Rp129,6 triliun, angka tersebut tergolong angka yang besar apabila harus ditanggung seluruhnya oleh APBN, sehingga apabila kita mulai melakukan shifting pendanaan dan fokus pada ketersediaan layanan perumahan maka hal tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha. Dengan adanya shifting dana dari kebutuhan pembangunan tersebut, maka paling tidak mencapai 2 tujuan penting dapat tercapai yaitu anggaran dapat digunakan untuk pembiayaan yang lain atau dapat dihemat (mengurangi anggaran belanja secara total pada tahun yang bersangkutan) dan yang kedua layanan ketersediaan perumahan menjadi lebih efektif, karena kualitas layanan yang baik/memuaskan pemerintah dan pengguna. Mengapa rumah yang menjadi prioritas untuk dikerjasamakan antara Pemerintah dengan Badan Usaha adalah rusunawa dengan target adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)? Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal ini dilandasi 3 pertimbangan pokok. Pertama, salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lahan di daerah perkotaan dan harga yang semakin mahal. Kedua, kemudahan implementasi dibandingkan dengan rumah tapak (lazim diterapkan di beberapa negara). Terakhir, sesuai kebutuhan dan kemampuan membayar pengguna (baik masyarakat maupun tenant).

KPBU-AP Sebagai Salah Satu Opsi Penyediaan dan Pembiayaan Perumahan Rakyat untuk MBR

Pada dasarnya terdapat dua jenis struktur KPBU, yaitu struktur berbasis-penggunaan layanan (usage-based PPP) dan struktur berbasis ketersediaan layanan (availability-based PPP). Dalam struktur usage-based PPP, lingkup penyediaan yang dikerjasamakan meliputi seluruh peran yang sebelumnya menjadi tanggung jawab sektor publik (Pemerintah). Dalam struktur ini, pemerintah lebih berperan sebagai regulator, sementara Badan Usaha secara langsung menyediakan layanan kepada pengguna retail/ akhir beserta dan menerima pembayaran dari pengguna tersebut. Dari sisi ini, Badan Usaha akan menanggung demand risk ketika layanan sudah dapat dimanfaatkan/ beroperasi.

KPBU-AP

Sedangkan struktur availability-based PPP, lingkup penyediaan yang dikerjasamakan hanya meliputi sebagian dari seluruh peran yang sebelumnya menjadi tanggung jawab sektor publik (Pemerintah). Dalam struktur ini, Badan Usaha menyediakan layanan yang akan digunakan pengguna akhir, tetapi sumber pembayaran tidak berasal dari pengguna akhir tersebut melainkan berasal dari PJPK berdasarkan kinerja (kualitas) layanan yang disediakan tersebut. Oleh karena itu, Badan Usaha tidak menanggung demand risk karena sudah diserap PJPK.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, KPBU-AP merupakan salah satu struktur KPBU dimana pembayaran secara berkala oleh PJPK (Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah) kepada Badan Usaha pelaksana atas ketersediaan layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria yang telah ditentukan dalam perjanjian KPBU. Dalam skema ini, dibutuhkan komitmen Pemerintah (penanggung jawab proyek) untuk mengalokasikan pembayaran dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Mengingat yang menjadi fokus PJPK adalah ketersediaan layanan, maka risiko atas konstruksi maupun operasi dan pemeliharaan atas aset tersebut menjadi tanggung jawab badan usaha. Adapun besaran pembayaran berkala tersebut terdiri dari komponen biaya konstruksi (capital expenditurecapex), operasi dan pemeliharaan (operating expenditure-opex) dan margin keuntungan yang wajar (return on investment-ROI). Jika dilihat pentahapannya, proyek yang akan dikerjasamakan membutuhkan waktu yang relatif panjang, mulai dari perencanaan sampai dengan pembayaran ketersediaan layanan. Adapun alur skema AP dan timeline KPBU lihat gambar 3.

KPBU-AP

Mengapa menggunakan skema KPBU-AP dengan target adalah MBR? Hal ini dikarenakan kemampuan membayar MBR sangat terbatas, sehingga tanggung jawab Pemerintah agar warganya dapat tinggal di rumah yang layak. MBR tidak harus memiliki rumah, tetapi tetap dapat menempati/tinggal di rumah yang layak, karena ketika orang memiliki rumah terdapat kebutuhan biaya perawatan/pemeliharaan yang tidak sedikit.

Manfaat KPBU AP Sektor Perumahan

Beberapa manfaat yang diperoleh Pemerintah antara lain; 1) lebih fleksibel dan mendorong inovasi layanan; 2) keunggulan dari pendekatan biaya yang menyeluruh (whole life cycle costing); 3) tidak ada pembayaran sampai dengan layanan tersedia penuh; 4) mendorong kepastian penyelesaian proyek.

Lebih fleksibel dan mendorong inovasi layanan

Fokus Pemerintah adalah bagaimana layanan tersedia, sehingga bagi Badan Usaha Pelaksana (BUP) akan memberikan fleksibilitas dan mendorong inovasi dalam spesifikasi output. Pihak BUP memiliki ruang untuk berinovasi pada spesifikasi aset sepanjang dapat memenuhi hasil kualitas layanan yang sama atau lebih baik. Bagi Pemerintah, fokusnya tidak hanya menekankan pada terbangunnya unit rumah, tetapi lebih kepada fungsi atau ketersediaan layanannya. Atas ketersediaan layanan tersebut, maka Pemerintah akan membayar sejumlah tertentu yang dikaitkan dengan pemenuhan indikator kinerja sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam perjanjian/kontrak. Contoh indikator kinerja antara lain adalah:

KPBU-AP

Karena pembayaran dilakukan berdasarkan kinerja BUP atas ketersediaan layanan, maka hal ini akan memberikan insentif bagi swasta untuk memonitor dan menjaga kinerja layanan infrastrukturnya secara maksimal karena semakin maksimal kinerja yang diberikan akan akan semakin maksimal jumlah penerimaannya (pembayaran dari Pemerintah).

Keunggulan dari pendekatan analisis biaya yang menyeluruh (whole life cycle costing)

Analisis biaya yang diperhitungkan dalam KPBU AP meliputi biaya seluruh umur proyek (whole life cycle costing), baik pada tahap konstruksi sampai dengan operasi dan pemeliharaan. Pada metode pengadaan tradisional, Pemerintah fokus pada pemilihan kontraktor konstruksi yang menawarkan harga yang paling rendah, sedangkan pada KPBU-AP, Pemerintah fokus pada pemilihan badan usaha yang memberikan kombinasi biaya konstruksi, biaya perawatan dan biaya modal paling rendah sepanjang umur proyek. Dengan demikian, secara tidak langsung Pemerintah telah menghasilkan efisiensi disamping juga mentransfer sebagian dari risiko kepada BUP, misalnya risiko konstruksi, risiko operasi, dan risiko pendanaan. Selama masa konstruksi pembiayaannya menjadi tanggung jawab BUP sepenuhnya atau dengan kata lain Pemerintah tidak akan membayar selama masa konstruksi. Oleh karena itu, BUP akan mencari sumber dana internal maupun eksternal. Sumber internal dapat dilakukan melalui modal yang ditempatkan investor (equity financing), sedangkan sumber dana eksternal dapat melalui pinjaman atau penerbitan obligasi (debt financing). Inilah titik krusial dalam kerjasama pemerintah dengan badan usaha, yaitu tercapainya financial close (tersedianya sumber dana atau komitmen sumber dana) untuk membiayai proyek pada tahap konstruksi.

Tidak ada pembayaran sampai dengan layanan tersedia penuh

Dalam KPBU-AP, pembayaran pemerintah akan dibayarkan setelah layanan tersedia selama masa kontrak. Komponen pembayaran terdiri dari biaya konstruksi, operasi dan pemeliharaan, dan margin keuntungan wajar BUP. Satu hal yang krusial adalah dalam penentuan marjin yang wajar. Secara tidak langsung, karena dibayarkan selama masa kontrak maka akan menimbulkan mandatory spending bagi PJPK (ruang fiskal akan semakin kecil). Tetapi satu hal yang menjadi perhatian adalah value for money atas pengeluaran Pemerintah yang dilakukan selama masa kontrak. Karena pembayaran dikaitkan dengan kinerja layanan yang tersedia, maka diharapkan setiap pengeluaran yang dilakukan memang mempunyai manfaat yang maksimal bagi pengguna layanan (masyarakat dan penyewa ruangan/ tenant).

Sebagai akibat pembayaran kepada BUP disebar selama masa kontrak, maka dari uang yang semua dianggarkan untuk membangun 1 atau 2 proyek, dapat digunakan untuk pembayaran/kegiatan yang lain, atau dengan kata lain lebih banyak kontrak yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

KPBU-AP

Mendorong Kepastian Penyelesaian Proyek

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa risiko konstruksi menjadi tanggung jawab BUP maka dengan KPBU-AP akan lebih mendorong kepastian penyelesaian proyek yang lebih cepat atau tepat waktu sesuai jadwal karena swasta (BUP) baru akan menerima pembayaran dari Pemerintah bilamana aset yang disyaratkan telah beroperasi. Risiko kenaikan biaya konstruksi maupun risiko proyek mangkrak tidak lagi ditanggung oleh Pemerintah.

Tantangan dalam Implementasi KPBU AP Sektor Perumahan

Peningkatan pemahaman mengenai KPBU

Pemahaman skema KPBU di Indonesia masih terbilang relatif awam baik di kalangan pemerintah, badan usaha, lembaga keuangan dan lainnya. Oleh karena itu peningkatan pemahaman akan pentingnya, manfaat dan tentunya risiko yang perlu dimitigasi harus dimiliki oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Di kalangan pemerintah, skema ini baru dipahami hanya di beberapa Kementerian/Lembaga (K/L), misalnya yang sudah mengimplementasikan di Kemenkominfo, Kementerian PUPR belum mayoritas/seluruh K/L. Begitu pula dengan Pemda, baru sedikit (Pemprov Jawa Timur dan Pemkot Bandar Lampung) yang telah mengimplementasikan skema KPBU ini. Pemahaman yang memadai akan menjadi kunci sukses keberhasilan kerjasama ini, mengingat mulai dari awal, yaitu perencanaan sampai dengan pembayaran layanan, dapat dipersiapkan dengan baik.

Proses yang Panjang dan Desain Struktur Kerja Sama yang Menarik Minat Badan Usaha

Paling tidak terdapat 4 tahap pokok dalam KPBU, yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan transaksi dan tahap operasi dan pembayaran AP. Proses yang panjang tersebut harus dipersiapkan dan diidentifikasi risiko setiap tahapan serta direncanakan mitigasinya, agar kerjasama tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga kedua belah pihak sama-sama menerima manfaat/ keuntungan. Jika badan usaha ukuran manfaatnya dapat dikalkulasikan dalam ukuran finansial, sedangkan untuk pemerintah (PJPK) manfaatnya dapat bersifat lebih luas, baik ukuran finansial, ekonomi dan sosial.

Komitmen PJPK untuk menganggarkan pembayaran atas ketersediaan layanan selama masa kontrak

Sebagaimana diketahui bahwa kapasitas fiskal, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemda, cukup terbatas. Dengan komitmen untuk menganggarkan pembayaran atas ketersediaan layanan setiap tahun selama masa kontrak maka membuat kepastian bagi badan usaha untuk melakukan kerjasama ini. Di sisi lain Pemerintah dapat merasakan kualitas layanan yang dinikmati oleh pengguna (MBR dan tenant). Mengingat kerjasama ini berlangsung relatif lama (bisa mencapai 15 s.d. 25 tahun bahkan lebih) maka dibutuhkan pemahaman dan komitmen PJPK (Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah) yang tinggi.

Koordinasi PJPK dengan stakeholder yang lain

Dalam pengembangan perumahan/kawasan pemukiman banyak stakeholder yang terlibat baik di pemerintah pusat maupun Pemda. Di Pemerintah Pusat tentunya koordinasi yang erat harus terjalin antara rencana pengembangan perumahan, rencana pengembangan transportasi (mempermudah akses transportasi publik), rencana pengembangan fasilitas umum (pendidikan, kesehatan dan lainnya) dan rencana tata ruang dan wilayah nasional. Sedangkan di Pemda juga demikian dalam lingkup propinsi maupun kabupaten/kota (kesehatan, pendidikan, transportasi, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dan lainnya).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain:

  1. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya khususnya perumahan ditengah berbagai kondisi yang terjadi di masyarakat;
  2. Pembangunan rumah susun (vertical house) menjadi salah satu opsi dalam rangka menyelesaikan permasalahan perumahan di daerah perkotaan (urban area) di tengah peningkatan urbanisasi yang tinggi (populasi penduduk yang terus meningkat) dan ketersediaan lahan yang semakin terbatas;
  3. Penyediaan dan pengelolaan perumahan (rumah susun) merupakan salah satu sektor yang dapat dikerjasamakan antara pemerintah dengan badan usaha (KPBU) yang berbasis ketersediaan layanan dengan target pengguna akhir adalah masyarakat berpenghasilan rendah;
  4. Implementasi KPBU-AP memberikan manfaat dikedua belah pihak, baik Badan Usaha maupun Pemerintah (PJPK). Bagi badan usaha dapat menerima pembayaran atas ketersediaan layanan yang tidak menanggung risiko permintaan yang dapat ditentukan dengan indikator keuangan, sedangkan manfaat bagi pemerintah dapat berupa manfaat keuangan, ekonomi, sosial. KPBU-AP dapat menjadi solusi, baik dari sisi demand maupun supply untuk sektor perumahan.

 

Daftar Pustaka

  1. Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan. 2015. Rencana Strategis Direktorat Rumah Susun Tahun 2015-2019.
  2. Direktorat Bina Investasi Infrastruktur Direktorat Jenderal Bina Konstruksi. 2017. Pedoman Pelaksanaan KPBU dengan Mekanisme Pembayaran Ketersediaan Layanan (availability payment) Bidang PUPR.
  3. Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2015. Rencana Strategis Tahun 2015-2019.
  4. http://www.worldbank.org/ in/news/feature/2016/06/14/ indonesia-urban-story
  5. https://www.iif.co.id/images/ourbusiness/policy-brief/02.pdf
  6. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2017. Presentasi Kebijakan dan Program Pembiayaan Perumahan Dalam Rangka Mendukung Program Sejuta Rumah.
  7. PT SMF (Persero). Bahan Presentasi FGD Peluang Multifinance dalam Penyaluran KPR: 16 November 2017.
  8. PT PII (Persero). 2017. Acuan Alokasi Risiko Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di Indonesia. Edisi Maret 2017.
  9. United Nation Human Settlements Programme. 2016. World Cities Report 2016-Urbanization and Development : Emerging Futures.